Posted in #SatuHariSatuTarian

Dag Dig Dug

Aku kerap patah arah, tak jarang kesendirian membuatku ingin sekali kembali tuk memeluk masa lalu, namun tak bisa. Sebab, masa laluku telah bahagia dengan pasangannya yang baru. Sementara aku? Masih terombang-ambing ke tidak pastian.

Dia mendekat, kemudian berusaha memikat. Dan, gagal. Aku hanya tertarik sejenak, kemudian mundur sepenuhnya. Karena aku tahu jika ia sedang (berpura-pura) serius, berharap bisa menarikku dalam permainannya yang hitam.

Satu dua masa lalu. Satu dua rindu. Satu dua sepi. Sering kali mereka mengejek, tentang aku yang hampir kepala tiga namun belum juga punya rencana menikah. Namun tiba-tiba?

Lututku yang lemas, badanku yang nyeri, kepalaku yang pusing, dan segala lelah yang kupunya sebagai oleh-oleh dari luar kota, terbayar dengan hadiah dari Tuhan yang sangat tak kuduga. Aku berkenalan dengan seseorang di sana, di kota yang awalnya tak pernah kuduga jika kini menjadi tempat aku menemukan dia.

Lelaki berkacamata, memikatku dengan segala perhatian dan candanya, aku bercerita pada mereka, bagaimana bahagiaku mengenalnya, dan mereka mulai turut berdoa. Agar yang kali ini menjadi masa depanku, bukan hanya sekadar lewat dan melamar menjadi masa laluku.

Sampailah pada malam-malam paling menegangkan, di mana aku kesulitan memilih baju, badanku membesar karena terlalu senang dan banyak makan, syukurnya dia tak pernah mempermasalahkan pipiku yang begitu menguasai wajah, dan anggota tubuhku lainnya yang perlahan membuat pakaianku satu per satu mengundurkan diri dari tugasnya.

Ah, jantungku berdetak dengan sangat kencang, jika saja aku tak bisa menguasainya, ia sudah melompat keluar dari dadaku. Dia akan datang, bersama keluarganya, menemui keluargaku, dengan keseriusan, keyakinan, ia ingin meminta pada keluargaku, untuk sebuah restu, agar aku dan dia dapat sepenuhnya satu.

Dia melamarku. Dan aku diam membisu. Bukan karena tidak mau. Tapi, karena aku begitu bahagia dan haru. Bismillah. Aku akan jadi istri dan calon ibu dari anak-anak kita. Dan, kau akan jadi suami tercintaku, serta ayah terbaik bagi anak-anak kita kelak. Insya Allah. Terima kasih, Mas. Aku sayang kamu.

#SatuHariSatuTarian
#PenariJemari

Posted in #SatuHariSatuTarian, Puisi

Semestaku

Ibu
Lenganmu adalah lentera
Pencipta sinar dalam gelap
Pembangkit kehangatan

Aku kedinginan
Dan
Kita sedang berjauhan
Kemudian seketika waktu ada yang begitu menghangatkan

Ternyata?

Di seberang sana
Di tempat yang seutuhnya berbeda
Dalam rentang jarak dan waktu yang semena-mena
Kau sedang berdoa dalam sujud yang begitu tenang

Ayah
Tatapanmu adalah taman
Aku dapat melihat bagaimana bahagiaku kala bermain di sana
Jelas liar dan tak tahu aturan

Aku melangkah bebas
Hilang arah dan hampir patah
Kemudian kau ada di sudut sana
Menjemputku untuk kembali ke rumah

Amarah?

Wajahmu sama sekali tak memerah
Kau tangkap tubuhku dalam dekap
Kau belai rambutku dengan kasih
Kau berbisik pada telingaku tentang sayangmu padaku

Aku
Seorang anak yang bersyukur
Sebab pria pun wanitaku adalah semesta
Mereka setia menerima segalaku

Meski aku adalah kurang yang jauh dari kata sempurna
Dekap, dekat dan melekat
Hangat, nyaman, dan apa adanya
Kepada Ayah dan Ibu

Aku seutuhnya padamu

Posted in #SatuHariSatuTarian, Cerita Pendek

Suara yang Berbalik Arah

Angie berlari dari kamarnya, dan langsung menyalakan kendaraan roda dua kesayangannya, kemudian ia melaju dengan kecepatan tinggi, rumah Karin adalah tujuannya malam itu. Dalam perjalanannya, Angie ditemani kalut dan air mata, deras yang begitu penuh luka. Sedangkan Karin yang tak mengetahui apa-apa, sedang asik memetik gitar di teras rumahnya, menikmati malam yang berbintang, lengkap dengan purnama.

Satu dua lagu telah Karin mainkan dan ia meletakan gitarnya untuk kemudian menyeruput susu hangat yang sudah dingin, bersamaan dengan itu Angie tiba di hadapan matanya. Wajahnya lusuh, rambutnya berantakan, matanya sembab dan memerah. Karin terkejut dan langsung memeluk Angie meski ia belum mengetahui apa yang menjadi penyebab sahabatnya menangis.

“Lo kenapa, Ngie? Kok tumben malam-malam ke sini, segala bawa air mata banyak banget, muka kucel, rambut berantakan, mata sembab,  kenapa?” Tanya Karin pada Angie sembari mengajak sahabatnya duduk di bangku teras, ia mengusap pundak sahabatnya dengan penuh kasih, seusai melepaskan pelukan yang cukup menenangkan Angie.
“Agha, Rin.” Jawab Angie singkat namun dapat membuat Karin turut merasakan sesak di dada Angie.
“Kenapa sama si Agha? Coba cerita, gue gak mau nebak-nebak.”
“Gue sama Agha mesti pisah, Rin.” Angie masih menjawab dengan kalimat-kalimat singkat yang berhasil membuat Karin makin penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi.
“Kenapa mesti pisah?”
“Dua minggu lagi Agha mau nikah, Rin, tapi bukan sama gue.”
“Dia selingkuh? Dari kapan? Sama siapa?” Karin mulai emosi karena merasa sahabatnya dipermainkan, namun ia masih berusaha sabar menunggu Angie menjelaskan duduk permasalahannya hingga selesai.
“Gue gak ngerti, Rin, mendadak aja dia ke rumah gue, sama cewek, terus dengan entengnya dia bilang bakal nikah sama cewek itu, dan lo tau apa yang bikin gue lebih nyesek?”
“Apa?”
“Mereka datang ke rumah gue gak cuma berdua, tapi bertiga.”
“Sama siapa lagi?”
“Agha, cewek itu, plus anak di kandungannya. Agha udah hamilin cewek itu, Rin. Usia kandungannya udah masuk bulan kedua.” Tangis Angie kembali pecah, ia makin sesenggukan, badannya terkulai karena terlalu lelah menangis.
“Hamil? Dihamilin sama si Agha? Kok bisa? Brengsek!” Karin tak lagi dapat menahan emosinya, ia benar-benar marah dengan perlakuan Agha pada sahabatnya, namun kini giliran Angie yang meredam.
“Lo jangan nyalahin Agha, gue percaya dia gak brengsek, gue yakin cewek itu yang udah godain Agha sampai akhirnya mereka kayak sekarang.”
“Agha udah brengsek kayak gitu masih lo belain? Iya? Lo malah nyalahin cewek itu? Lo kira itu cewek bakal hamil tanpa ditidurin sama Agha? Lo pikir si Agha itu cowok baik-baik? Iya? Setelah dia ngelakuin semuanya ke lo?” Karin semakin emosi mendengar pernyataan bodoh sahabatnya.
“Agha cowok yang baik, Rin. Gue yakin cewek itu yang kegatelan, gangguin cowok gue, gue yakin Agha gak sengaja ngelakuin semuanya.”
“Lo tau bego gak, Ngie? Hah? Tau gak? Kalo lo gak tau bego itu apa, sekarang lo ngaca, lo lihat cermin, lo tatapin dalam-dalam, lo bakal lihat cewek bego di sana. Gue heran sama lo, lo cewek, sama kayak selingkuhannya si brengsek, tapi kenapa lo malah bela Agha dan nyalahin cewek itu? Malah lo ngejudge itu cewek yang gatel, lo gak takut?”
“Takut apa?”
“Lo juga cewek Ngie, gue juga cewek, malam ini kita bilang cewek itu gatel dan murahan, bisa jadi malam besok kita ada di posisi yang sama kayak cewek itu.”

Angie dan Karin masih melanjutkan perbincangan mereka sampai larut malam, dan Angie memutuskan untuk menginap di rumah Karin, mereka terus bertukar pikiran, Karin yang begitu marah dengan Agha pun Angie, tetap setia memeluk sahabatnya yang sedang berduka, Karin memang marah dan kecewa karena sahabatnya masih saja percaya pada lelaki yang sudah menyakiti hatinya macam Agha, tapi Karin tak serta merta mengacuhkan Angie, ia tetap ada di samping Angie, dan terus mendekap sahabatnya semalaman.

Keesokan harinya, saat Angie ingin pamit pulang pada Karin, mereka berdua dikejutkan oleh sosok yang ada di teras rumah Karin. Iya, Agha telah duduk di bangku teras dengan begitu santai dan tenang, seolah tak memiliki salah apa-apa.

“Brengsek! Mau ngapain lagi lo ke sini? Hah?” Tanya Karin pada Agha sembari menarik kerah baju Agha hingga ia terbangun dari duduknya, kemudian Karin mendorong Agha hingga terhimpit pada dinding rumahnya.
“Gue gak ada urusan sama lo, gue ke sini karena gue tau Angie ada di sini, gue mau ngomong sama dia.
“Lo mau ngomong apa? Ngomong di sini, di depan gue, atau lo gak perlu ngomong apa-apa sama Angie.” Karin benar-benar marah pada Agha, ia meminta Agha bicara di hadapan matanya, agar ia dapat memastikan Agha tidak lagi mempengaruhi Angie yang masih sangat menyayangi Agha.

Agha menjauh dari Karin dan perlahan mendekati Angie yang air mukanya kembali berawan. Agha hampir menggenggam tangan Angie, namun gagal karena Angie telah lebih dulu berhasil membaca keadaan dan menarik tangannya ke belakang. Agha sejenak terdiam, kemudian memulai pembicaraan.

“Sayang, maafin aku udah nyakitin plus ngecewain kamu, tapi sumpah, semua yang udah terjadi ini bukan sengaja aku lakuin, aku khilaf yang, waktu itu aku lagi banyak pikiran, aku gak tau mesti gimana, yang kepikiran cuma senang-senang sama dia, maafin aku yang.” Dengan mudah Agha mengatakan bahwa kehamilan perempuan itu adalah akibat kekhilafan mereka.
“Aku udah gak peduli, mau kamu bilang itu khilaf, atau apa pun, buat aku kamu udah khianatin kepercayaan aku, kamu udah nodain hubungan kita, awalnya aku emang masih mau pertahanin kamu dengan bikin kesimpulan kalo cewek itu yang salah karena udah bikin kamu tergoda dan mau nidurin dia, tapi akhirnya aku sadar, berkat Karin aku ngerti, kalo di sini yang salah bukan cuma kamu, bukan juga dia, tapi kalian. Karena kalian ngelakuin itu berdua, kalian harus tanggung segalanya berdua, gak usah bawa-bawa aku lagi ke masalah kalian, aku udah ikhlasin kamu, satu-satunya kesalahanku yang baru aja aku sadar sekarang adalah pernah jatuh cinta sama kamu, kamu yang sebenarnya aku tau gak pernah benar-benar sayang tulus ke aku, dan aku berdoa semoga ini kesalahan kalian yang pertama dan terakhir, semoga setelah ini kalian bisa hidup bahagia dan terus belajar untuk jadi lebih baik, buat anak kalian.” Jawab Angie tegas tanpa air mata, bahkan ia mulai bisa tersenyum, wajahnya kembali merona, lukanya seketika menghilang.
“Ngie, please, balik sama aku Ngie, aku sayangnya sama kamu, bukan sama dia, please percaya sama aku.”
“Gak bisa, Gha, kamu harus tanggung jawab, gak boleh ambil enaknya aja, kamu mesti ada buat dia selamanya, lagi pula buat aku kita udah selesai, aku udah maafin plus ikhlasin kamu.”
“Tapi aku maunya kamu, Ngie.”
“Lo ngerti bahasa manusia kan? Sahabat gue bilang dia udah ikhlasin lo sama cewek itu, terus ngapain lo masih di sini minta balik sama Angie? Lo bilang lo sayang Angie? Tapi ngapain lo nidurin cewek lain? Hah? Lo bilang lo khilaf? Khilaf kok sadarnya pas udah kelar enaknya? Brengsek!” Karin makin emosi mendengar pernyataan-pernyataan klise dari mulut Agha, mereka bertiga berbincang cukup lama, hingga akhirnya Agha pamit dan berjanji untuk menikahi perempuan yang telah ia hamili, Angie sudah jauh lebih membaik, dan Karin bersyukur sahabatnya hanya berpikir bodoh dalam semalam.

Angie tidak jadi pamit pulang, ia dan Karin kembali masuk ke rumah dan memutuskan untuk sarapan bersama, suap demi suap mereka selingi dengan pembicaraan.

“Ngie, gue salut lo bisa kayak tadi, tegas ke si Agha, dan gak ke makan omongan manisnya yang nol besar. Kalo ingat semalam lo nangis kayak gimana, jujur gue gak nyangka lo udah bisa senyum lagi.” Ucap Karin memulai pembicaraan.
“Semua berkat lo, Rin, lo udah banyak nyadarin gue, kalo di sini yang salah bukan cuma cewek itu, tapi juga Agha, dan gue gak boleh buta akan itu, gue makasih banget, lo bikin gue ngerasa gak salah pilih tempat cerita semalam, kalo aja semalam gue gak ke sini dan gak cerita sama lo, mungkin tadi gue udah ke makan omongannya Agha. Makasih banyak, Rin.”
“Ngie, maksud gue semalam ngomong gitu ke lo, bukan karena gue belain cewek itu, gue cuma gak mau lo nangisin laki-laki kayak Agha, gue gak mau lo ngomong sembarangan tentang cewek itu, gini Ngie, coba kita bayangin gimana sakitnya jadi cewek itu, hamil sebelum nikah, sama cowok yang gak beneran sayang sama dia, itu aja udah perih banget, masa iya dia masih harus kita hakimin? Selain itu, gue juga gak mau lo seenaknya ngomongin cewek itu, sementara kita gak tau kejadian sebenarnya kayak gimana, gue gak mau omongan lo tentang cewek itu balik ke diri lo sendiri, gue gak mau keburukan orang yang kita omongin nular ke kita, Ngie. Jadi, dari pada mesti nyalahin cewek itu dan tetap bertahan sama Agha, mendingan lo maafin cewek itu dan Agha, ikhlasin Agha, gue yakin Tuhan bakal kasih ganti yang jauh lebih baik dan tulus sayang sama lo. Ya, Ngie?”
“Rin, makasih karena lo udah ngingetin gue buat stop ngomongin keburukan orang, lo emang sahabat gue yang gak pernah sedikit pun mau gue ajak ngehakimin kesalahan orang, lo gak pernah mau nyari kesalahan orang, lo gak pernah mau jabarin keburukan orang, gue salut sama lo, Rin.”
“Ngie, yang jelek-jelek tuh cepat banget nularnya, gue gak mau semuanya berbalik ke gue, gue juga gak mau itu berbalik ke lo, makanya gue minta lo stop ngomong jelek, kita cukup tau aja, Ngie, kalo bisa ya doain biar mereka balik ke jalan yang benar, kita kan juga manusia, tempat salah dan segala kurang, jadi buat apa sibuk ngomongin kurangnya orang sementara kita masih jauh dari kata sempurna?”

Pembicaraan mereka pagi itu membuat mereka tidak sadar jika kegiatan sarapan sudah sampai pada suapan terakhir, usai membersihkan alat makan, mereka kembali berbincang, namun bukan lagi perihal Agha, pun perempuan itu, melainkan tentang kebaikan-kebaikan semesta yang tak akan pernah mengenal kata sudah jika ingin dijabarkan.

Karin benar, manusia ibarat sebuah ruang, ia dapat bersuara sesuka hati, entah tentang kebenaran atau kabar burung semata, entah tentang kebaikan pun keburukan, dan saat suara-suara itu dilayangkan, ia akan memenuhi ruang dan memantul, kemudian dapat merasuk ke dalam tubuh manusia, kapan saja Tuhan tentukan.

Tak ada manusia yang bersih hatinya, selama ia masih saja sibuk menghitung dosa orang lain, tak ada manusia yang suci hatinya, selama ia masih gemar membicarakan keburukan orang lain, dan tidak ada jaminan seseorang akan suci selamanya, jika masih saja ringan memandang orang lain jauh lebih rendah dari pribadinya.

#SatuHariSatuTarian
#PenariJemari

Posted in #SatuHariSatuTarian

Tak Ingin Sempurna

Aku tak ingin menjadi mawar yang selamanya mekar, sebab pada masanya aku ingin layu dan digantikan. Aku tak ingin terus dipandang ratusan pasang mata yang sedang berbahagia di taman tempat kutinggal. Aku ingin merasakan bagaimana menjadi layu, seperti yang temanku rasakan, mengering, dan diacuhkan. Aku ingin tahu, masihkah ada sosok yang bahagia ketika menerimaku dalam keadaan tak segar? Atau justru aku dibuang sebelum sempat tergenggam?

Aku tak ingin selamanya menjadi benar, seperti dua ditambah dua yang selamanya akan menjadi empat. Aku ingin merasakan bagaimana rasanya salah, bagaimana rasanya kecewa, bagaimana rasanya terombang-ambing pasang surut air laut. Aku ingin merasakan tenggelam, pun mengapung.

Aku tak ingin selamanya lurus, aku butuh liku, aku butuh naik turun dalam hidupku. Menjadi kuat sudah kudapat, melawan ombak yang berusaha menjatuhkan tubuh pada tepian, kemudian berharap kuhanyut ke tengah lautan, dan nyatanya gagal, sebab aku mampu bertahan. Namun, aku pun ingin merasa kalah, aku ingin merasakan pahitnya ditolak, aku tak mau selamanya menjadi biru, aku butuh kelabu agar bisa merasakan rindu.

Aku tak ingin selamanya bersih, aku butuh noda, agar aku tak arogan pada semesta. Aku tak ingin merendahkan sesama dengan merasa jauh lebih di atasnya. Aku tak ingin merasa lebih bersih dari mereka yang terlihat kotor. Sementara kenyataannya? Mereka yang terlihat bernoda jauh lebih indah hatinya.

Aku tak ingin menghakimi hidup orang lain, aku tak ingin seenaknya menganggap keputusan orang lain adalah salah jika tak sepaham denganku, aku tak ingin menjadi dinding pembatas bagi gerak-gerik sekitarku. Aku bukan penjara yang akan dengan sengaja mencari kesalahan agar dapat lebih lama bersama dan berkuasa.

Aku heran, mengapa ada pasang mata yang bahagia ketika melihat orang lain bersedih? Pun orang yang merasa bangga atas kemenangannya yang begitu mengada-ada?

Bisakah kita duduk semeja? Aku ingin bertanya, pada sosok yang begitu memiliki iman, apa Tuhan mengizinkanmu menjadikan akhlak baik sebagai alat merendahkan sesama? Atau bahkan alat untuk menyalahkan orang yang kau anggap tak sepaham denganmu?

Aku juga ingin bertanya, pada sosok yang tak pernah absen menjalani perintah Tuhan, apa dengan begitu kau yakin jika kau mempunyai jaminan masuk surga? Sementara kau masih saja sibuk menilai orang lain dan selalu merasa kau jauh lebih putih, jauh lebih bersih, dan jauh lebih bersahaja dari mereka?

Terakhir, aku ingin bertanya, apa kau nyaman meletakan pijakan pada ketinggian? Sehingga tanpa sadar kau melupa, kamu masih berada di bumi, bukan di langit, lantas mengapa kau merasa begitu  tahu dengan apa-apa saja yang akan Tuhan putuskan? Atau jangan-jangan kau sudah tahu ke mana akhirnya kau akan pulang? Ke surga? Semoga saja.

Apa enaknya menjadi sempurna? Aku sama sekali tidak tertarik. Sebab, kesempurnaan akan memenjarakan diri kita, membatasi gerak kita. Kita tak akan lagi haus akan ilmu, kita tak akan lagi berlomba mendekat pada Tuhan, kita tak akan lagi merasa salah, apa enaknya hidup dalam datar? Tuhan sempurna, karena Ia memang Maha Segala, dan aku sangat percaya akan itu, aku sangat mencintai dan mengagumi-Nya, sementara kita? Hanyalah umat yang seharusnya terus mensyukuri waktu yang masih Tuhan beri, untuk terus memperbaiki diri. Memperbaiki diri, bukan merasa lebih baik dari orang lain, tapi merasa lebih baik dari diri kita di masa lampau. Mengajak sesama untuk ikut memperbaiki diri, bukan menghakimi mereka-mereka yang terlihat salah. Mengingatkan sesama untuk kembali ke jalur yang semestinya, bukan malah membuat jarak dan meninggalkan mereka yang sedang tersesat.

Tuhan beri kita petunjuk, ada yang dengan mudah dapat membaca, ada yang perlu waktu untuk mengartikannya, dan tak sedikit pula yang salah menerjemahkan petunjuk-petunjuk Tuhan. Tuhan beri kita tangan, bisakah kita saling menggenggam dalam kebaikan? Tuhan beri kita kaki, bisakah kita melangkah bersama tanpa perlu berusaha menjatuhkan mereka yang ada di sisi agar kita dapat lebih dulu sampai? Tuhan beri kita mata dan meletakannya pada wajah, bisakah kita gunakan untuk memandang secara sejajar bukan dengan pandangan yang merendahkan? Tuhan beri kita kata, bisakah pilih mana yang sejuk didengar? Bukan malah berlomba mendapatkan kesempatan tuk berucap bak jagoan.

Akulah perempuan yang kerap salah, dan bukan sedang berbangga atas kekeliruan yang kupunya, aku hanya ingin bercerita, siapa tahu dengan aku menceritakan kesalahanku, kalian dapat belajar tanpa perlu melakukan kesalahan yang serupa denganku. Aku masih perlu banyak belajar, dan akan terus belajar.

Aku masih terlalu kelabu untuk mengaku suci, aku masih terlalu salah untuk bersikap seolah paling benar sendiri. Dan, aku tak ingin setara dengan Tuhan, aku hanya ingin kelak dapat duduk tenang di pangkuan-Nya, tempat paling damai.

#TakInginSempurna
#SatuHariSatuTarian
#PenariJemari

Posted in #SatuHariSatuTarian

Pindah?

Dari kecil gue udah sering banget ngalamin perpindahan, dan pindahan gue selalu lengkap dengan tangisan, entah gue yang nangis atau malah mereka yang gue tinggal ikutan berair mata. Sebenarnya sih perpindahan itu gak selalu tentang perpisahan, gue masih berhubungan baik sama teman SD gue yang udah nyaksiin kepindahan gue dua belas tahun yang lalu.

Seperti kepindahan gue yang pertama, waktu umur gue masih enam tahun, saat duduk di kelas satu SD, gue harus pindah karena keluarga gue mutusin buat pindah rumah, dari Depok ke Pasar Minggu Baru. Saat itu gue belum ngerti banyak hal, jadi kepindahan itu buat gue cuma sekadar ganti tempat tinggal, dari rumah kontrakan ke rumah peninggalan oma yang luasnya lumayan bikin gue selalu pengin lari-larian.

Sampai akhirnya gue kenal sama teman baru, dan makin semangat sekolah, mereka seru banget, kita punya banyak permainan di sela waktu belajar. Entah itu main dokter-dokteran yang sempat bikin salah satu teman gue pingsan (beneran), atau main benteng, pun main tak jongkok pas lagi hujan, terus salah satu teman gue jatuh, bajunya kotor karena kena lapangan yang becek, plus? Bikin nyokapnya datang ke sekolah buat marahin dia, terus dia? Ya, nangis!

Dan setelah gue mulai gede, gue udah harus pindah lagi, kali ini gue mulai ngerti gak enaknya pindahan. Iya, gue udah ngerti gimana capeknya pindahan dan perihnya perpisahan. Walaupun gue belum sampai di titik nangisin keadaan sih. Waktu itu umur gue masih sepuluh tahun, gue mesti pindah karena rumah peninggalan oma dijual, dan bokap beli rumah baru di daerah yang sama sekali gue gak tau, asli, gue marah plus sedih, rasanya gak mau banget ngadepin pindahan kali ini, tapi lagi-lagi gue emang mesti pindah, keluarga yang gue sayang udah mutusin buat pindah ke Citayam. Yap, tempat tinggal yang malah berhasil bikin gue betah di rumah sekarang.

Teman sekelas gue nangis, mereka gak mau gue pindah, dan gue ikutan nangis karena lihat mereka nangis. Sampai salah satu guru di sekolah gue bilang ke nyokap, buat nitipin gue di rumahnya, supaya gue gak perlu pindah sekolah. Tapi, nyokap gak mungkin nitipin gue sama orang lain, nyokap benar-benar orangtua yang ngurus anaknya dengan penuh waktu.

Singkat cerita gue udah pindah ke CItayam, pindah dari rumah yang luasnya bukan main, ke rumah yang luas tanahnya masih lumayan, tapi dengan bangunan seadanya. Rumah tipe 21, dengan satu kamar, satu ruang keluarga, satu kamar mandi di luar, dan selebihnya? Tanah. Gue, nyokap bokap gue, plus dua kakak gue, istirahat di satu kamar kecil sama-sama, satu kamar yang diisi tiga ranjang, gue sama nyokap, bokap sama abang, mas sendiri.

Nyokap bokap gak pernah ngajarin gue buat belagu, dengan keadaan rumah yang seadanya, gue gak pernah ngerasa gak beruntung, gue selalu suka ada di rumah kecil itu sama orangtua plus dua kakak laki-laki gue. Gue gak pernah nuntut buat punya kamar sendiri, meskipun gue pengin, gue gak pernah marah ke orangtua gue saat keadaan rumah udah parah, meskipun gue sedih, karena kalo hujan rumah gue bocor bukan main. Tapi? Tuhan Maha segala, sekarang semua keadaan udah jauh lebih baik. Sayangnya? Bokap sama satu kakak laki-laki gue udah jarang di rumah. Bokap sering dinas di luar, jadi mau gak mau jarang pulang, kakak laki-laki yang gue panggil abang udah nikah, jadi dia tinggal sama istrinya. Itulah hidup, saat keluarga gue cuma punya ruang kecil, kita bisa ngumpul lengkap, tapi saat keluarga gue dikasih ruang yang lebih luas? Satu dua anggota harus absen di tengah hangatnya obrolan keluarga. Kebersamaan kita seolah jadi taruhannya.

Udah cukup, di sini gue dan keluarga udah ngerasa nyaman, gak mau lagi pindah rumah, kalo pun harus punya rumah di tempat lain, rumah yang sekarang gak akan gue biarin pindah ke tangan orang lain. Sampai akhirnya gue beranjak remaja, masuk SMK dan tiba-tiba aja nyokap bilang, kalo gue mau mulai kenal lawan jenis, dia bolehin. Kenal dalam artian? Yap, pacaran.

Karena ini pengalaman pertama buat gue, hati gue hampir salah pilih, sampai akhirnya gue yakin buat milih si Uda buat jadi pacar pertama gue. Jujur, dulu gue tergolong anak yang drama, gue berkhayal kalo gue bisa pacaran cuma sekali buat seumur hidup, gue berharap pacar pertama gue ya pacar terakhir gue, yang otomatis harusnya jadi suami gue, tapi? Namanya juga drama, apalagi drama anak remaja, harapan gue buat happy ending, kenyataannya? Sad ending. Gue sama Uda putus, setelah kita hampir 10 bulan pacaran, Uda gak kuat sama sikap gue yang dingin abis. Gue emang cuek parah, karena gue yang sebenarnya romantis berubah jadi cuek, bukan karena gak sayang, tapi karena gue gak tau mesti bersikap gimana ke pacar. Maklum, ini yang pertama.

Gue patah hati, khayalan gue yang pengin pacaran cuma sama satu orang seumur hidup, pupus. Susah banget buat ikhlas, tapi gue sadar, ternyata bukannya gue gak bisa ikhlasin Uda, tapi gue belum bisa nerima kenyataan bahwa khayalan gue udah pupus. Akhirnya gue ikhlas, dan gue sama Uda berhasil berteman baik sampai sekarang.

Dan, sampailah gue pada hari di mana gue mesti pindahan lagi, kali ini hati gue yang mesti pindah, tempat lamanya udah mutusin buat nutup pintu, gue mesti bangun tempat baru, pelan-pelan banget, sampai akhirnya gue nemu tempat yang cocok.

Satu dua dan beberapa kali gue pindah dari hati yang satu ke hati yang lain, sampai akhirnya sekarang gue ngerasa nyaman dalam kesendirian, ini bukan kalimat untuk menghibur diri, tapi emang gue beneran nyaman dengan kesendirian gue saat ini, gue gak pernah panik tiap kali orang nanya ‘Syanu, pacarnya mana?’ dan gue juga gak pernah sakit hati tiap kali orang nanya ‘Syanu, kapan mau nikah?’ gue selalu santai dan cuek, karena itu tadi, gue beneran bahagia sama kesendirian gue saat ini, gue beneran belum mau buka hati lagi, gue beneran belum mau nyari pendamping lagi, bahkan belakangan ini gue makin yakin buat gak akan pernah pacaran lagi, meskipun gue gak bisa arogan tentang yang satu ini, gue gak menutup kemungkinan buat punya pasangan lagi a.k.a pacar, tapi gue punya keinginan buat langsung nikah aja, gak usah segala pacaran dulu, nanti, begitu gue ketemu sama sosok yang bisa bikin gue yakin seratus persen tanpa sedikit pun ragu.

Pindah itu gak gampang, pindah itu pasti selalu lengkap sama luka dan duka, pindah itu bikin kita terus gak berhenti ngandung kenangan, pindah itu guru paling hebat dalam ilmu ikhlas, pindah itu hidup. Pindah dari detik sekarang, ke detik berikutnya. Pindah itu, dari hidup, mati, ke hidup kembali.

Gue bukan robot, gue pernah nangis karena kepindahan-kepindahan yang berat, tapi begitu udah ikhlas, giliran gue ngetawain diri gue sendiri, dan mikir kenapa dulu gue bisa sebodoh itu, nangisin perpindahan yang sekarang justru bikin gue sadar itu adalah perjalanan yang nganter gue buat bahagia kayak sekarang, kayak hari ini.

Terus sekarang gue lagi nginget, siapa-siapa aja yang ngilang dari hidup gue karena perpindahan, dan mana-mana aja sosok yang masih dengan begitu setia memeluk gue. Gue senyum-senyum sendiri, gue tau siapa aja yang lagi gue kangenin malam ini, nama mereka udah gue sebut semua pas empat rakaat terakhir hari ini.

Intinya, gue gak pernah takut buat pindah (lagi) kalo emang gue harus pindah, tapi kalo boleh milih, perjalanan gue saat ini mau gue akhirin di tempat yang bisa bikin gue menetap selamanya, tanpa perpindahan yang mengakibatkan perpisahan. Sekali pun mesti pisah di dunia, gue mau bisa ketemu lagi di kehidupan yang kekal nanti.

Dan, akhirnya? Tulisan malam ini berakhir dengan aamiin yang begitu tulus, dari hati gue.

#Pindah
#SatuHariSatuTarian
#PenariJemari
#BerdansaDenganKenangan

Posted in #SatuHariSatuTarian

Malaikat Berkaki Empat

Hari ini gue mau cerita tentang Reby, si kecil yang gak kerasa udah sebesar ini sekarang, si kecil yang bawel, doyan makan, lincah, dan baik hati banget. Yap, Reby adalah salah satu kucing yang gue rawat di rumah. Ceritanya berawal dari perjalanan pulang gue dan nyokap yang hobi banget ke pasar, di sisi kiri jalan, tepatnya di perumahan kosong yang masih dalam proses pembangunan, gue lihat Reby duduk sendirian, dia kayak senyum gitu, mukanya ramah banget, sebelumnya gue gak pernah berani bawa kucing dari jalan ke rumah, karena gue tau, nyokap alergi banget sama bulu kucing, kucing yang di rumah aja udah cukup ganggu pernapasan nyokap, tapi pas ketemu Reby, gue enteng aja ngomong ke nyokap,

“Ma, itu anak kucing lucu banget, matanya biru, sendirian, kasian.”
“Terus? Kamu mau bawa pulang?”
“Emang boleh? Lucu sih, mau banget, tapi bawanya gimana? Kan kita naik motor?”
“Ya udah kalo mau mama pegangin, tapi kamu bawa motornya pelan-pelan.”

Terus kita sepakat bawa dia pulang, nyokap nyamperin Reby dan langsung gendong dia ke motor, dan? Jeng-jeng. Entah gimana caranya, ternyata pandangan gue terhipnotis, Reby yang awalnya gue lihat matanya biru, ternyata matanya sama kayak kucing biasa, bahkan badannya yang kelihatan mulus? Ternyata penuh sama bekas luka. Terus gue ngomong lagi sama nyokap,

“Ma, tadi puput lihat matanya biru, lho, tapi ternyata enggak, banyak lukanya lagi, ma.”
“Terus gimana? Gak jadi bawa pulang?”
“Ya, jadi atuh, udah mama pangku, ya. Kita jalan sekarang.”

Gue lanjut jalan, dan akhirnya sampe di rumah. Pas gue taro di teras rumah, dia langsung pecicilan, gak bisa diem, lincah parah, bawel banget begitu lihat gue ngaduk makanan yang emang gue bikin buat mereka, kucing-kucing gue. Dia meong-meong kenceng dan terus-terusan, pas makan? Dia yang masih kecil sampe masuk ke wadah saking lapernya. Bahkan pas kucing rumah yang lain udah kelar makan, dia masih sibuk ngabisin makanan dia plus makanan sisa teman-temannya.

Hari pertama Reby sampai di rumah.
Hari pertama Reby sampai di rumah.

Kucing pertama yang dekat banget sama gue itu namanya Ayang, ayang kayak gak ikhlas gitu gue bawa Reby ke rumah, dia cemburu, tapi Reby sabar banget dekatin Ayang sampe akhirnya sekarang mereka justru akur banget jadi kakak adik beda induk. Iya, Ayang sama Reby sama-sama jantan. Tapi, mereka romantis banget, saling sayang, gue aja kadang takjub sama akurnya mereka.

Akurnya Ayang sama Reby.
Akurnya Ayang sama Reby.

Begitu ada Reby, rumah yang gak pernah ada kotoran kucing jadi langganan tempat Reby buang air besar pun kecil. Mama yang alergi sempat emosi sama gue, tapi gue tanggung jawab, gue yang mau rawat, ya gue juga yang bersihin kotorannya, dan ini bukan masalah. Malah, lama kelamaan mama sama mas gue pun mau turut  bantu bersihin kotoran kucing, karena mereka tau itu gak bagus buat gue; perempuan yang belum punya anak.

Lambat laun Reby yang terbilang kotor jadi bersih, dia ketularan kebiasaan baik Ayang yang rajin mandi, lukanya mengering, dan jauh lebih mulus plus wangi. Cuma Reby juga gampang sakit, sama kayak gue, dia sering banget diare, dan itu hal yang paling sering nyokap keluhin. Rumah gak pernah bersih, karena Reby diare gak berhenti-berhenti.

Terus? Masih banyak deh cerita Reby sakit, karena emang dia sering sakit. Entah Reby yang lemah, atau gue yang gak bisa ngerawat dia dengan baik. Sekarang dia udah gede, ukurannya udah sama kayak Ayang, dia kucing yang paling bikin gue semangat ngasih makan mereka, karena Reby kalo makan selalu abis. Kalo yang lain, makan sedikit langsung udahan, nanti balik lagi kalo makanannya udah kering. Bahkan gak jarang pas yang lain balik, makanannya udah abis disikat sama Reby.

Sekarang, Reby lagi sakit, sakit (lagi). Lehernya gak bisa bebas nengok ke arah kanan, dan gue yang gak ngerti urat? Gak bisa apa-apa selain terus melukin dan nyayangin dia pelan-pelan. Reby kalo sakit jadi gak nafsu makan, dia cuma minum air putih aja, terus banyak tidur deh, bahkan dia tiduran meski gak merem, karena gue yakin lehernya sakit banget. Kalo kata urang Sunda mah nyeuri kitu.

Ini pas Reby sakit.
Ini pas Reby sakit.

Reby selalu nemenin gue, bahkan pas gue lagi masak, dia rebahan dekat gue, terus nemenin sampe gue kelar masak, kalo gue panggil dia pasti nyamperin, dia paling suka gue pangku, dan tidur di sana; di pangkuan gue. Dia manja, manis, baik hati banget. Dia gak pernah marah sama Ayang pun Titam (kucing kecil di rumah gue) meskipun Ayang sama Titam jahilnya bukan main. Reby tetap sabar dan manis ke adik plus kakaknya.

Gue sedih banget tiap kali kucing gue sakit, apalagi Reby, dia gak pernah bawel kalo sakit, diem aja gitu, dia rasain sendiri sakitnya. Gue sayang banget sama Reby, Ayang, pun Titam. Mereka tuh pelipur lara, selalu bisa bikin gue semangat walaupun hari gue kelabu abis.

Gue nulis ini karena emang gue pengin berbagi cerita tentang Reby, gue pengin cerita bahwa ngerawat kucing bukan cuma mereka yang lucu aja, tapi yang dari jalanan, yang gak bersih, dan lain-lain itu juga perlu kasih sayang. Mereka butuh kita, mereka bakal sayang banget sama kita, kalo kita pun tulus sayang ke mereka.

Intinya, gue pengin kalian semua yang baca tulisan gue kali ini, doain kucing-kucing gue biar terus sehat, dan terus bisa bareng sama gue. Betapa bahagianya gue, karena sekarang nyokap, kakak gue, pun nenek, udah ikutan sayang sama kucing-kucing gue. Gue bahasain kucing gue itu anak, dan nyokap ikutan bahasain kucing gue itu cucunya. Hahahahahaha, gue bersyukur banget keluarga gue bisa sayang sama apa yang gue sayang.

Dan, buat Reby, cepet sembuh ya sayang, mama kangen lihat kamu yang doyan makan dan pecicilan. Kamu itu kayak malaikat, baiiik banget, gak pernah marah, selalu nurut, dan nyenengin. Makasih ya, udah setia duduk di samping mama, selama mama nulis cerita hari ini. Mama, nenek, om, uyut, ayang, titam, sayang banget sama kamu. Loveyou, By.

Reby.
Reby.

#Reby
#SatuHariSatuTarian
#PenariJemari

Posted in #SatuHariSatuTarian

Pasang Surut.

Bagai pantai, ombak tinggi menggulung, kemudian tenang, menugaskan udara tuk menyapa tiap pori tubuh manusia dengan begitu syahdu. Lekat, meski tak dapat mendekap.

Ada bahagia yang membuatku terbahak, hingga baris gigiku yang tak rapih seutuhnya terlihat, kemudian mataku terpejam, hingga tawaku lahir tanpa suara. Aku begitu angkuh, seolah bahagia tak akan pernah berakhir. Dalam hidupku, ada pula saat senyum mengambil bagian, menyungging pada wajah yang sebelumnya terlihat dingin, menjadi jauh lebih hangat dan bersahabat.

Kemudian pertanyaan klise mulai berdatangan:

‘Lo pernah nangis gak sih?’

Aku hanya tertawa dan berlalu begitu saja. Aku tak pernah ingin menjawab pertanyaan yang sesungguhnya sudah dapat diketahui jawabannya.

Akulah kenari yang gemar berkicau dan menari, namun ada kalanya aku berdiam diri, menikmati dunia yang tak selamanya indah. Sebab, akulah gadis kecil yang mudah berair mata, semudah mereka dapat melihat aku berbagi tawa.

Pada udara aku berdansa di bawah bahagia, pada ruang pribadi kubagi segala resah di atas alas sederhana namun dapat membuatku begitu nyaman dan jujur seutuhnya. Satu dua bulir air mata menetes, tanganku sedang ingin beristirahat, maka tak ada aliran yang terusap, hingga ia mengering dengan sendirinya.

Apa aku adalah mawar yang paling layu? Atau akulah mawar hitam tak berduri? Tidak. Tidak separah itu. Aku tetap mawar putih yang berduri, hanya saja terkadang merasa lelah dengan cuaca yang berganti seenaknya. Ah, aku baru saja menyalahkan Tuhan.

Pada tepian yang sedang mengering, siapkah kau menyambut basah yang dalam hitungan detik akan datang? Siapkah kau kehilangan segala jejak yang sebelumnya begitu jelas tertinggal? Siapkah kau menerima pijakan yang begitu tiba-tiba karena seret ombak nan kuat datang tanpa permisi? Yang jelas, siap atau tidaknya dirimu, segalanya tetap akan terjadi, kau hanya dapat memilih, untuk memeluk Tuhan atau menua dengan cara menyalahkan keadaan?

Akulah barat yang menanti matahari pulang, tetap setia menanti matahari pulang meski aku sadar ia lebih memilih timur untuk menghabiskan waktu bersama, namun aku dapat berbangga, sebab di ujung waktu nanti, akulah tempat matahari sebentar pamit untuk terbit.

Pada bibir yang tak berhenti bicara, telingaku setia mendengar. Pada tubuh yang demikian rapuh, pelukku senantiasa sanggup menguatkan. Pada segala yang terbuang sia, akulah perawat yang tak dapat menjanjikan kesembuhan, namun setidaknya aku dapat meyakinkanmu, jika aku tak akan menelantarkanmu, seperti apa yang telah ia lakukan; sebelumnya.

#SatuHariSatuTarian
#PenariJemari