Posted in Ketulusan Hati

Tak Akan Kuganggu Kau yang Sudah (Kembali) Bahagia

Hai, kamu yang pernah melengkapi aku hingga menjadi kita. Bagaimana dengan luka hatimu sepeninggalanku yang begitu tiba-tiba beberapa bulan lalu? Sudah mengering, atau bahkan makin menganga?

Harapku, sembuhlah sudah segala luka, usailah sudah segala duka, dan kau, dapat kembali bahagia.

Andai kau tahu, betapa aku larut dalam ketakutan di hari-hari kemarin.

Takut jika ada rasa benci yang kau bawa saat nanti kita berjumpa secara sengaja pun tidak.

Hai, kamu yang masih saja bisa membuatku tertawa sekaligus meringis.

Tertawa, karena kau memang selalu saja jenaka. Meringis, karena tawaku kini sendiri, tak ada lagi kamu di hadapan mata; yang kembali menertawakanku.

Mata yang mengecil, hidung yang tak mungkin kulupa bagaimana bentuknya, serta bagaimana bibirmu melukis bahagia.

Aku tak pernah menyesal telah mengenalmu, pun melepasmu.

Sebab, aku tahu, kelak Tuhan, ‘kan kirim ia yang akan bersedia membahagiakanmu, tanpa pernah mencipta sedih dengan sengaja.

Hai, kamu yang kini sudah tak pernah lagi menyapaku. Tahukah kau, jika aku takut menyapamu lebih dulu?

Takut kau benci, karena merusak segala yang telah kau susun rapi; hari-harimu yang tanpa aku.

Aku selalu segan menanyakan apa pun padamu. Takut jika lagi-lagi, harus mematahkan harapan-harapanmu padaku.

Jika saja bisa kusampaikan; rindu dan segala peduliku.

Aku belum kembali membuka hati, kulakukan secara sadar dan sengaja. Sebab, di sana masih jelas cerita tentang kita.

Tak adil rasanya, jika seseorang yang mencintaiku penuh, kusediakan tempat yang belum seluruhnya siap huni dan rapi.

Maka biarlah, kunikmati segala rasa sendiri; hilang, sepi, rindu, dan segala yang tak jarang membuatku bimbang untuk menyebutnya apa.

Kamu, bahagialah. Sesungguhnya aku sangat ingin melihatmu bahagia, meski aku pun pernah melukaimu tanpa permisi.

Harapku, tak pernah ada benci yang menyelip di tengah kita, karena aku tak sanggup bila kau benci.

Aku, tak sanggup menyaksikan kasih yang begitu dalam, menjadi sebuah permusuhan.

Kau tahu persis alasanku pergi, dan aku ingin kelak, kau, bisa ikhlas juga mengerti posisiku, yang jika saja Tuhan merestui kita, tak akan ada perpisahan seperih kemarin.

Dari aku yang menyayangimu, akan selalu menyayangimu, meski nanti kadar dan keadaannya pasti berubah. Sekali lagi, bahagialah.

Posted in Ketulusan Hati

Kecintaanku

Sebenarnya, tanpa 22 Desember pun, Ibu, akan tetap menjadi sosok yang luar biasa. Ia, layak mendapatkan peluk tanpa putus dari orang-orang terkasihnya.

Sebab, ia telah mempertaruhkan nyawa untuk manusia baru, meski sama sekali tak tahu seperti apa kelak dewasanya.

Sosok Ibu, dalam istana keluarga kecilku biasa dipanggil Mama, dan aku, anak terakhir yang membuatnya ikhlas bertaruh nyawa, meski belum tahu dewasaku seperti apa.

Ia, tak peduli jika kelak aku hanya bisa membuatnya menangis, karena yang ia tahu, dirinya sangat ingin putri kecilnya lahir ke dunia dengan tangisan di awal.

Setelahnya? Ia, ingin aku tertawa, berdansa bahagia dengan dunia.

Mama, jika saja mengucap ‘Aku sayang padamu’, mudah adanya, ‘kan ku ucap tiap kali ku rindu kamu–tiap waktu.

Nyatanya? Entah bagaimana caranya, haru jauh lebih menguasai, hingga bibirku kelu. Bahkan, menggerutu pun tak mampu.

Namun, pada Tuhan, aku bercerita. Tentang bagaimana aku mencintaimu tanpa tapi.

Tentang bagaimana aku, menerimamu lengkap dengan segala salah. Tentang segalamu yang ingin kujaga baik-baik.

Tentang apa pun yang sedang ku usahakan, demi membuat bahagiamu tak menemui kata sudah.

Aku, perempuan satu-satunya yang lahir dari rahimmu, dan kau, satu-satunya wanita yang tak pernah lewat untuk kusebut dalam tiap doa.

Mama, nikmati keromantisanku terhadapmu. Sebagai anak, aku merasa bahagia melakukan itu.

Mama, jika 22 Desember tak pernah ada, kau tak perlu khawatir. Sebab, Mama tetap bisa menikmati hari-hari bersamaku, dengan penuh kata dan perasaan selamat.

Ini untukmu, wanita bernama lengkap Ida Riana Wity. Kuharap kau terus sabar.

Aku, anak perempuanmu, sedang berjalan menuju apa yang ku mau; demi membahagiakanmu dan Papa.

Posted in Cerita Pendek

Bukan Penunjuk Jalan, Melainkan Penuntun Kedua Tangan

Aku bukan wanita yang putih dari ujung kepala hingga jemari kaki. Perihal ahli dalam mencetak dosa, entah harus bangga atau memaki diri.

Jika gelap adalah langit malam, mungkin hidupku tak memiliki siang. Sebab, hitam jauh lebih dominan.

Satu dua lelaki datang dan pergi, silih berganti. Doa-doa kulayangkan, agar kelak, Tuhan kirimkan ‘ia’ padaku.

Seorang pria pemeluk agama yang sama denganku–jauh lebih mempelajari, dalam segi ilmu.

Bukan. Aku bukan mencari yang sempurna–sebab aku tak sedang menilai rasa–tetapi ia yang bisa menghapus atau setidaknya mengurangi kebiasaanku membuat jejak ke neraka.

Mengajakku melangkah, perlahan, tapi penuh kepastian, untuk mencapai surga.

Malam itu, entah bagaimana awalnya, yang jelas Tuhan, tahu maksud dari pertemuan singkatku dengannya, pria dengan usia tiga tahun di atasku.

Kumis tipis melengkapi wajahnya nan manis, pun ranum senyum.

Tak melulu berpenampilan agamis. Namun, selalu rapi, sopan, bersih, dan wangi; di setiap pertemuan.

Setelah beberapa kali bertemu, akhirnya kami berkenalan.

Pada satu kesempatan, ia yang lebih dari sekali kutemui di perpustakaan, mulai mencuri perhatian.

Diam-diam, entah sadar atau tidak, aku mengamati sepenuhnya, cara bicara, berjalan, duduk, dan lain sebagainya.

Hari berikutnya, ia kembali ada di tempat yang sama. Di hadapanku.

Lagi-lagi, rasa ingin tahuku membesar. Melihat sosoknya yang begitu mudah dicintai, meski ia, tak pernah bermaksud menarik perhatian sekitar.

Begitu tenang. Lupa diri sedikit, rasanya ingin kuminta ia membawaku pulang.

Kembali kumasuk ke alam bawah sadar. Kusentuh daun telinganya dengan suara berbuah pertanyaan, entah apa tujuannya, memecah keheningan atau memulai kedekatan jauh lebih dalam.

“Boleh aku tanya sesuatu?” singkatku, setelah tak bisa lagi membendung rasa penasaran; yang hanya membuahkan terkaan belum tentu benar.

“Tanyakan apa pun yang kau ingin tanya, selagi mampu, akan ku jawab.”

Lagi-lagi, ia tersenyum, saat bicara denganku. Tak pernah kulihat wajahnya carut-marut.

“Kau selalu tampak rapi, sopan, bersih, bahkan wangi, tapi aku tak melihat itu sebagai cara dirimu sengaja menjadi pusat perhatian. Lantas, untuk apa?”

“Oh, perihal penampilan?” jawabnya terkekeh sebentar.

Membuatku ingin lari dari pandangan matanya, dan menghilang. Wajahku merah jambu, karena malu sudah terlalu ingin tahu.

Namun, tentu saja aku hanya bisa tersipu, kemudian ia, melanjutkan pembicaraan.

“Aku melakukannya untuk mencari perhatian Tuhan. Aku rapi, agar tiap saat bisa bertemu dengan-Nya, membicarakan skenario hidupku yang telah Ia tulis dengan begitu luar biasa.”

“Aku sopan, karena aku tak ingin kehadiranku mengganggu sesama, setidaknya aku memilih untuk bersikap senyamannya hatiku.”

“Aku bersih, sebab aku suka, itu saja… dan aku wangi, karena indra penciumanku butuh penyegaran tiap waktu. Terima kasih atas penilaianmu yang luar biasa membahagiakan itu.”

“Untuk Tuhan dan dirimu sendiri?”

“Untuk Tuhan, diriku, dan sesama. Kamu, contohnya.”

Aku tertegun mendengar kalimat terakhir yang ia ucapkan sebagai jawaban.

Terlalu gugup. Membuatku bahkan tak sempat menanyakan maksud dari pernyataannya itu.

Pembicaraan tak bisa diteruskan, aku harus pamit pulang. Sebab, hari sudah semakin malam, Ayah dan Ibu, menungguku di rumah untuk menyantap hidangan sebelum tidur.

Sepanjang aku duduk di meja makan, pikiranku melayang, mengingat lagi apa yang tadi terjadi di perpustakaan.

Selesai makan malam, aku pamit, langsung masuk kamar. Kedua orang tuaku mengangguk dalam satu waktu.

Aku terlelap, sesaat setelah doa selesai dibaca satu per satu.

Paginya, Ibu, masuk kamarku yang memang biasa tak terkunci. Ia, membuka jendela kamar yang ada di sisi kiri tempat tidur.

Kemudian keningku mengernyit akibat sapaan mentari. Sinarnya mengecup mata tanpa permisi.

Ibu tersenyum, melihat anak gadisnya lupa salat Subuh.

“Kamu kesiangan lagi, ya?” tanya Ibu, seraya mengelus punggungku dengan tangannya yang penuh kasih.

Aku hanya menggangguk manja di pelukan Ibu.

“Besok-besok, Ibu, masuk kamar lebih pagi, ya. Jangan mau kalah sama matahari, dia saja pagi-pagi sudah menyapa bumi, masa kamu masih pelukan sama kasur.”

“Kalau terus-terusan sayang-sayangan sama kasur, kapan mau ketemu jodohnya? Bangun pagi, sapa duniamu, sayang.”

Kalimat Ibu kali ini menamparku, pelan. Namun, sangat dalam.

Tapi aku menerimanya dengan baik, karena aku yakin, maksud Ibu, pasti baik. Kutukar kalimatnya dengan merekatkan pelukan semakin hangat.

Satu dua jam terlewati. Setelah sarapan, langkahku beranjak lagi, menuju tempat di mana buku-buku rebah dengan rapi, dan aku… kembali melihatnya.

Namun, bukan di meja yang biasa kita tempati bersama. Siang itu, aku mendapati tubuh gagah dengan tinggi yang membuat kepalaku sejajar dengan pundaknya; sedang menggelar sajadah.

Air wudu masih menetes dengan syahdu, tepat di bagian dagu.

Aku menatapnya hingga rukuk, kemudian memutuskan untuk duduk dan menunggu.

Rakaat demi rakaat ia penuhi dengan hikmat, gerakannya tak terburu-buru.

Iya, aku masih memperhatikan. Kepalanya menoleh ke kanan, lalu kiri. Diusapnya kedua telapak tangan pada wajah, kemudian menengadah. Ia sedang berdoa.

Aku masih tertegun, di sana, lagi-lagi ia mencuri perhatianku.

“Hai, sudah lama sampai?” sapanya, sembari menghampiriku yang sudah memalingkan pandangan ke buku-buku pilihan.

“Baru kok, belum sampai 15 menit,” jawabku ramah, lengkap dengan senyum yang semoga mempesona.

“Kamu baru datang?” sambungku, seolah baru saja melihatnya.

“Aku udah satu jam di sini.”

“Oh gitu. Tadi duduk di mana? Kok gak kelihatan?”

“Di sini kok, cuma tadi ke belakang sebentar, sekalian nuntasin empat rakaat.”

Percakapanku dengannya, berlangsung hingga senja mengecup pintu perpustakaan malu-malu.

Sampai lupa jika rakaat demi rakaat sudah terlewat bagiku.

“Aku mau pulang, tapi sebelumnya mau cari makan dulu, lapar, mau ikut gak?” ujarnya, mengajakku dengan santun, sembari menutup buku.

“Lama gak? Aku gak mau pulang terlalu malam.”

“Enggak kok, aku empat rakaat sebentar, terus kita langsung cari makan, nanti aku antar kamu pulang sekalian, ya.”

Aku mengangguk, tanda setuju. Ia, berjalan ke arah di mana tadi siang aku terpesona melihatnya.

Kemudian aku mengikuti dari belakang, tanpa sepengetahuannya.

“Lho, kamu ngikutin aku?” tanya ia padaku, sesaat setelah mengambil wudu.

“Iya. Mau empat rakaat juga, tadi subuh sama dzuhur sudah lewat.”

Satu dua tiga dan empat rakaat berjalan hikmat. Aku baru saja merasakan bersujud tanpa memikirkan apa-apa, selain Tuhan Sang Maha Segala.

Aku, merasa berbicara langsung dalam pelukan Tuhan, sore itu.

Betapa lama sudah, aku tak duduk dan bersimpuh.

Setelah itu, ia, menepati janjinya. Mengajakku makan di waktu yang sudah terlalu petang untuk disebut makan siang.

Lalu mengantarku sampai di depan mata Ayah Ibu.

Ia, pamit pulang, setelah mengecup kedua telapak tangan orang tuaku.

Hari-hariku berikutnya, penuh dengan syukur. Sebab, rakaat demi rakaat sudah dapat kujalani tanpa perlu diingatkan lagi.

Aku menggelar sajadah, untuk ‘bertemu; dengan Tuhan, berbincang tentang apa saja yang ingin kuceritakan pada-Nya.

Meski Ia, pasti jauh lebih tahu, tanpa perlu kuberitahu.

Pria yang kutemui di perpustakaan itu, kerap datang ke rumah, meski aku sedang tak ada.

Ia, menemui orang tuaku, dan bicara banyak hal. Ayah Ibu, sudah jatuh cinta pada pribadinya yang memang luar biasa.

Sampai pada suatu malam, aku kembali menuntaskan rakaat demi rakaat, dan kuakhiri dengan doa tulus dari dalam dada.

Kuisi doa-doaku malam itu, dengan permintaan tentang jodoh.

Selesai berdoa, aku beranjak dari kamar menuju ruang keluarga.

Tak ada Ayah dan Ibu di sana, aku mencari di bagian rumah lainnya.

Kutemukan mereka, bersama pria itu, di ruang tamu.

Namun, mereka tak hanya bertiga. Ada dua orang lagi yang sebelumnya tak pernah kulihat.

Setelah duduk dan ikut tenggelam dalam pembicaraan malam itu, aku mengerti, bahwa Tuhan menjawab segala doa dalam waktu yang tepat. Selalu.

Sebab, setelah doa kulayangkan seusai sujud tadi, ia datang bersama kedua orang tuanya, bicara pada kedua orangtuaku, meminta restu, agar bisa menikmati sisa usia bersamaku.

Ia, memilihku menjadi istrinya, hingga akhir. Ia, memilihku menjadi ibu dari anak-anaknya kelak.

Aku? Tak pernah ingin menjauh dari Tuhan (lagi).

Posted in Cerita Pendek

Cara Mudah Melukis Sabit di Wajah Mama

Entah sejak kapan, wanita yang paling aku cinta ini menyukai minuman berwarna pekat. Satu dua cangkir, atau bahkan lebih, menemaninya jalani hari.

Meski kadang, ia, harus absen menenggak kopi, sebab asam lambungnya meninggi. Sementara aku? Bukan pencinta kopi seperti, Mama.

Namun, tak juga anti pada minuman kesukaannya, karena tidak jarang, cangkir yang awalnya penuh, seketika kosong.

Habis kutenggak, saat matanya sibuk berkedip; sembari menikmati senja di depan rumah.

Sebagai anak perempuan satu-satunya–sekaligus anak terakhir yang keluar dari rahimnya–aku menjadi penghuni rumah yang paling sering menikmati detik-detik bersama, Mama.

Membicarakan apa saja yang bisa dibicarakan. Mulai dari jatuh cinta, patah hati, hingga politik sekalipun.

Telinganya selalu siap mendengarkan celotehanku yang kadang lupa waktu.

Kala itu, pukul dua pagi, pasang mata lain telah terpejam, dan mungkin sudah mulai bermimpi.

Tapi aku tak kunjung dapat terlelap. Banyak hal lari-lari di kepala, yang kemudian menuntunku pada Mama, untuk kembali menikmati waktu berdua, dengan bercerita.

Matanya sudah berat, ia pasti mengantuk. Namun, masih saja menanggapi aku yang sedang asyik bicara.

Akhirnya kumelangkah ke dapur, menyapa dua cangkir, sebelum memisahkan mereka dari kumpulan sebelumnya.

Kuseduh sedikit air hingga mendidih, kutuang serbuk kopi ke dasar cangkir. Bersama air panas, mereka terpaksa lembur hingga dini hari.

Kuaduk merata, tapi tak kucampur dengan kenangan masa lalu.

Sampai di depan mata Mama, ia bahagia. Meski belum kusuguhkan, ia, jelas mampu menebak apa yang kubawa; karena yang aroma yang menggoda dengan santunnya.

Sejak itu, aku mencintai kopi. Sebab, kopi membuat hari-hari wanita kecintaanku bahagia.

Jika memang begitu caranya, mengapa harus ku batasi Mama, untuk mencium cangkir demi cangkir, tiap kali ia mau?

Seperti Mama, mencinta Papa, tanpa pernah ingin menemui sudah.

Sebuah tulisan tentang #DiBalikSecangkirKopi, kubuat dengan sepenuh hati. Selamat menikmati.