Posted in #PenariJemari, #SatuHariSatuTarian

Ssssssssstt.. Coba Cek Masa Lalu!

Kadang, lo perlu nengok ke belakang. Nengok ke belakang gak melulu soal mantan, tapi juga soal masa kecil, remaja, sampai di titik lo sekarang.

Usia dewasa. Meski jiwa belom tentu ikutan dewasa. Hahahaha.

Santai, baca tulisan kayak gini gak boleh tegang. Ambil minum dulu gih, terus tarik napas, lepas pelan-pelan.

Mari kita mulai.

Kenapa tiba-tiba gue bahas masa lalu? Entah kenapa, belakangan ini gue resah, perasaan yang udah lama gak gue rasain, muncul lagi.

Dulu banget, gue pernah jadi orang yang aneh. Sampai ada satu teman gue yang blak-blak-an bilang “Nu, kenapa si lo aneh banget?”

Jujur, satu kalimat itu ngancurin hati gue, banget. Dibilang aneh, saat lo sendiri masih belom nemu jati diri lo.

Sampai sekarang gue inget itu, dan dia, ketemu gue yang udah nemuin jati diri, terus bilang “Sekarang Syanu jauh lebih asyik, ya.”

Namun, entah kenapa kalimat itu gak berpengaruh apa-apa buat gue. Memori gue justru nyimpen pernyataan lama dia.

Gak bagus sih emang, ngenang hal yang gak baik, tapi beneran, gue gak dendam.

Gue cuma gak ngerti gimana caranya ngelupain hal yang nyesek di dada gue.

Itu kenapa gue gak bisa buka pintu hati ke mereka yang dulu jelas-jelas mandang gue sebelah mata, dengar gue dengan telinga yang tertutup.

Balas dendam? Nope!

Gue cuma ngerasa, ada kepala dan hati lain, yang lebih pantes buat gue jadiin tempat berbagi, yang nerima gue dari awal, dari aneh, alay, sampai sekarang.

Dulu, jaman SMP, gue kayak lakik banget, mulai dari rambut dan segala penampilan.

Terus, masuk SMK, gaya rambut gue masih bondol, tapi entah kenapa ada aja yang nyoba bobol pertahanan hati gue.

Gue sadar, banyak banget yang udah gue sakitin dan kecewain hatinya, tapi ya, gimana? Hidup ‘kan pilihan, dan gak selamanya yang kita mau bisa kita dapat, ya ‘kan?

Setelah SMK, lakik jaman SMP mulai pada muncul nih, mulai nyelip, mau nyepik, tapi ya, boro-boro bisa modus, wong ditanggepin aja enggak.

Soalnya, ya, itu tadi, gue gak mau dekat sama orang yang ngincer fisik, itu bukan pertemanan yang natural.

Jadi buat apa buang-buang waktu? Kalau mereka yang nemenin gue dari jaman masih aneh dan alay sampai sekarang pun ada.

Maka dari itu gue suka nolak kalau diajak ketemu sama beberapa kelompok orang, gue gak bisa maksain diri gue ada di satu lingkup yang bikin gue gak nyaman.

Mutusin tali silaturahmi? Insya Allah enggak. Gue cuma mengurangi pertemuan yang gak terlalu perlu.

Pertemuan apa yang gak terlalu perlu?

Pertemuan yang kalau udah ketemu, mereka cuma mau tau lo sekarang kayak apa, udah sesukses apa, dan bla bla bla… 100 persen fisik dan masalah dunia doang.

Buat apa? Makin gede ‘kan pasti makin sibuk, jadi daripada nemuin yang gak perlu, mendingan nemuin mereka yang selama ini ada buat lo.

Mereka yang kalau ketemu lo nanyain a-z, dengar cerita manis dan pahit lo, dan proses lo menuju dewasa.

Terpenting, mereka gak pernah protes se-alay apa pun lo dulu.

Beberapa hari lalu, gue ngepoin media sosial media gue sendiri, dari awal gue mulai main medsos, dan? Gue sadar gue alay. Asli. A-L-A-Y.

Itu juga yang bikin gue jadi sadar, pas masih kerja penuh waktu, gue pernah ‘nyuekin’ teman dan sahabat gue.

Sengaja? Ya, enggaklah. Saking capeknya, jadi gitu.

Makanya sekarang gue ngerti, kenapa beberapa kepala kok berasa ngejauh? Ya, karena mereka sibuk.

Terlepas dari sengaja atau enggaknya mereka ngejauh, positif thinking-nya, ya, mereka lagi ngalamin fase yang pernah gue lewatin sebelumnya.

Gue lihat muka-muka mereka. Dari jaman gue masih alay banget, ketikan gue masih ‘Gy apz?’ yang artinya ‘Lagi ngapain?’.

Sampai sekarang gue udah 100 persen gak suka nyingkat tulisan.

Ada beberapa kepala yang setia banget di samping gue.

Mereka ada dari gue masih aneh, alay, remaja, sampai dewasa. Mereka ada saat gue ketawa, nangis, jatuh cinta, patah hati, move on, dan milih buat sendiri kayak sekarang.

Mereka ada. Sekalipun fisiknya jauh, doa mereka gak berhenti ngalir buat gue.

Tapi ada gak sih yang ngilang? Ya, namanya juga hidup. Datang dan pergi itu wajar. Ada ABCD yang hilang, Allah kirim EFGH buat nemenin gue.

Ada yang ngilang terus muncul lagi dan punya hubungan yang jauh lebih baik sama gue kayak sekarang.

Ada yang ngilang dan gak pernah balik lagi, karena gue sama dia saling gak mau nyari tau, gimana sih kabar kita satu sama lain? Hahahaha.

Allah Maha Adil. Selalu ada:

Tumbuh setelah patah;
Temu setelah hilang;
Peluk setelah lepas;
Selamat datang setelah selamat tinggal;
Bahagia setelah luka;
Hujan setelah kemarau;
Embun setelah debu;
Lembar baru setelah pamit.

Gue sadar, Allah Maha Baik. Satu keyakinan itu yang bikin akhirnya gue gak gampang nyerah.

Kalo ditanya pernah gak sih gue ngerasa pengin mati aja? Bodohnya gue harus ngaku, pernah.

Kenapa? Ya, karena gue ngerasa hidup gue paling nelangsa.

Terus gimana akhirnya gue bisa bertahan sampai sekarang?

Nah, bagian ini nih yang lucu.

Tuhan tuh selalu ngedeketin gue sama hal-hal yang bikin gue sadar kalo hidup gue belom boleh berakhir, gue belom boleh nyerah, dan belom waktunya gue mati.

Dengan cara? Tiba-tiba aja gitu gue dikasih lihat cerita hidup orang yang jauh lebih bikin nangis, tapi mereka kuat, dan tetap bersyukur.

Semudah itu gue bangkit lagi, malu udah ngeluh, ngingetin diri sendiri karena udah ‘cengeng’.

Abis itu, ya, ketawa lagi, maafin dan peluk sayang diri sendiri lagi.

Ya, walaupun bukan gak mungkin besok lusa gue down lagi, tapi seenggaknya, hari itu gue berhasil bertahan.

Gue yakin sih, semua hal yang bikin gue mampu bertahan, ya, karena campur tangan Allah.

Serusak-rusaknya orang, bohong ajalah kalo gak kepengin bahagia di surga mah.

Syukurnya Allah Maha Pemaaf. Bikin dosa hari ini, dikasih kesempatan buat berubah. Allah sabar banget nungguin kita sadar kalo Dia sayang banget sama kita.

Sekarang, gue malah ketawa-tawa sendiri. Ngetawain kebodohan gue di masa lalu.

Beberapa gue ceritain ke sahabat yang benar-benar gue percaya. Nangis karena hal-hal yang harusnya gak perlu sih gue lakuin.

Nyesel mah pasti, cuma kalo terus-terusan hidup dalam penyesalan? Kapan gue bisa makin tumbuh dan bersinar?

Duileh, sinar banget nih bahasanya. Meeeeeh ~

Gue juga percaya kalo tiap kepala, se-terbuka apa pun, pasti punya rahasia yang dia bagi cuma sama Tuhannya, karena emang cuma Tuhan yang nerima kita tanpa tapi.

Ssssssssstt.. udah ah, lain waktu kita cerita-cerita lagi.

Mudah-mudahan makin hari bisa jadi manusia yang makin baik dan terus memeluk kebenaran di jalan Allah.

See, yaa.

Posted in #PenariJemari, #SatuHariSatuTarian

Rahasia

Kau tak akan pernah tahu, apa yang terjadi. Sebab, segalaku menyembunyikannya dengan rapat dan rapi. Bagaimanapun kau mencari, tak akan kau dapati sebenar-benarnya jawaban hati.

Aku menari dengan anganku, berharap aku pergi lebih dulu. Bukan karena menyerah menjadi akhir lelah, tapi karena aku ingin nantinya kau baca semua.

Sebab, tulisan-tulisan yang sudah kubingkai, tak akan pernah sampai ke hadapan matamu, jika kau melayang sebelum aku; mendahuluiku.

Iya, pilihannya hanya dua; waktuku habis dan kau memeluk rahasia, atau kau tinggalkanku bersama dengan sesal yang tak akan pernah mengenal sudah.

Selasa, 26 September 2017 — MPL

Posted in #PenariJemari, #SatuHariSatuTarian, Puisi

Apa Jadinya …

Apa jadinya hidup tanpa rintangan? Rasanya tak akan pernah kita mengenal gagal. Sebab, Jika segala terasa mudah, untuk apa mengupayakan diri menjadi lebih baik lagi?

Apa jadinya semesta tanpa luka duka? Sepertinya kita tak akan menghargai bahagia. Tak pernah mengerti bagaimana rasanya berair mata. Dan, tak tahu cara mensyukuri berkah.

Apa jadinya akhir perjalanan tanpa neraka? Tiap kepala leluasa menari dengan begitu jahatnya, melantunkan caci dan maki hingga lekuk bibir tak lagi seperti semula. Dan, tak ada yang mendamba surga.

Apa jadinya skenario yang Tuhan tulis untukku tanpa adanya kamu? Ia akan menyamar bagai buku yang kehilangan selembar halaman, namun tetap menyematkan tamat; untuk menjadi teman saatku menutup cerita.

Minggu, 24 September 2017

Posted in #PenariJemari, #SatuHariSatuTarian, Puisi

Sayangnya, Jarum Jam Tak Bisa Berputar ke Arah Kiri

Berhenti berpura-pura, jangan tutupi lukamu yang jelas-jelas masih basah. Sebab, itu hanya akan membuatnya sembuh lebih lama.

Ingat bagaimana pertama kalinya dirimu menyapa semesta? Mungkin kau melupa, tapi ibumu? Tidak. Ia pasti mengingat segala dengan jelas; lahir sudah harapan barunya.

Bisa kau bayangkan berapa bulir keringat yang jatuh untukmu? Mungkin kau tak tahu, tapi ayahmu? Ia tahu benar untuk siapa ia bertahan; kamu, salah satu alasannya.

Entah sudah berapa langkah yang kau pijak. Ketahuilah, ada begitu banyak rindu yang tak bisa mereka suarakan dengan leluasa.

Bukan. Bukan karena mereka tak acuh pun tinggi hati. Namun, karena mereka ingin kau terus melaju dan tak menjadikan mereka sebagai penyebab hentinya langkahmu.

Nantinya, bagaimanapun kau tumbuh, menjadi seperti apa pun pribadimu, mereka akan selalu punya dekap untuk kepulanganmu.

Kau pun tak pernah lupa, bukan? Jika makin hari, usiamu semakin bertambah. Artinya? Semakin tua pula mereka.

Kulit yang mulai keriput. Rambut yang mulai memutih. Ingatan yang mulai melemah. Menjadi deretan bukti, jika mereka benar-benar sudah tak lagi muda.

Waktu semakin sedikit. Perpisahan kalian pun terasa kian dekat. Masihkah ingin membuat mereka bersedih?

Kalian bisa senantiasa memeluk semesta. Sebebas-bebasnya. Namun, jangan pernah lupa, jika tubuh-tubuh penuh cinta, selalu merindukan kepulanganmu.

Jangan pernah biarkan penyesalan hadir, saat kau mengabaikan jarum jam yang tak pernah berdiam. Ingat. Ia akan selalu bergerak ke arah kanan.

Sabtu, 23 September 2017 — 💚MP

Posted in #PenariJemari, #SatuHariSatuTarian, Puisi

Pulanglah, Kau Belum Terlambat

Isi kepala tak pernah sama
Mereka saling bicara
Menyuarakan lara dan bahagia
Sayangnya, bibir tak jua terbuka

Tatap mata tak selalu searah
Selatan dan utara
Berkelana hingga barat daya
Nyatanya, ia kembali pada titik semula

Kehidupan hati tak melulu luka duka
Ada harap dan bahagia
Patah dan gelisah
Akhirnya, indah yang hanya klise kan menjadi nyata

Pulanglah
Dadamu perlu degup wajarnya
Ratusan hari kau pergi
Ia tahu jika kakimu melangkah tanpa hati

Akhir pekan hampir tiba
Sudahkah kau berlabuh pada-Nya?

Jumat, 22 September 2017 — Pulanglah, Kau Belum Terlambat

Posted in #SatuHariSatuTarian, Hati yang Patah

Mereka Tak Pernah Meminta untuk Dicintai. Tapi, Bisakah untuk Sedikit Menghargai?

Sulit memang, mengajak manusia tuk mencintai hewan. Jika mereka belum jatuh hati dengan caranya sendiri. Manusia kerap mengatakan kalimat yang mungkin baginya sederhana, namun begitu luka untuk kami; yang mencintai mereka (hewan-hewan tak berdosa).

Alasannya beragam. Karena perilaku hewan yang tak pernah bisa ditebak. Entah saat mereka mencari makan dengan kesan mencuri. Merusak tanaman tanpa sengaja saat asik bermain. Atau yang paling sederhana namun juara, adalah saat mereka buang air tidak pada tempatnya.

Hati saya patah; bahkan hancur. Saat mendengar seorang ibu dengan mudahnya berkata “Saya paling gak suka sama kucing, pokoknya kalau ada yang datang ke rumah, sudah pasti langsung saya usir!” di depan saya, yang jelas-jelas dia tahu, saat itu saya sedang membeli makanan untuk kucing-kucing di rumah.

Atau saat seorang pedagang sayur mengacungkan pisaunya tinggi-tinggi, sesaat setelah seekor kucing mencuri ikan dagangannya. Ia berteriak dengan penuh rasa marah. Yang sama-sama kita tahu, jika marahnya tak akan pernah membuat kucing tersebut berjalan mundur dan mengembalikan ikan buruannya.

Pun, perlakuan-perlakuan lainnya, yang bagi saya sangat tidak manusiawi.

Ya, seperti yang saya katakan di awal. Sulit memang, mengajak manusia tuk mencintai hewan. Jika mereka belum jatuh hati dengan caranya sendiri.

Kami pun tidak memaksa kalian untuk ikut menyayangi hewan-hewan tak berdosa ini. Tapi, bisakah sedikit saja menghargai pola pikir kami yang menganggap mereka sudah seperti keluarga sendiri?

Entahlah. Semoga, suatu hari nanti, saya bisa punya satu tempat yang layak untuk hewan-hewan tak berdosa yang kurang beruntung. Pun memenuhi kebutuhan mereka tanpa tapi. Sehingga saya tak lagi perlu membuat kalian merasa terganggu, dengan kebersamaan kami.

Sekian dan sedang merasakan kehilangan. Kembali berbahagia di sana, ya. Jalu.

Posted in #SatuHariSatuTarian, Puisi

Sepasang yang Terus Menua; Bersama

Kerap menangkap dua pasang mata menatapku dalam diam. Mereka punya cara yang berbeda.

Entah karena apa dan bagaimana awalnya. Tatapan mereka begitu penuh cinta. Doa-doa juga mengalir dari sana.

Mereka punya pemikiran yang tak pernah kusangka sebelumnya. Mengagumiku yang hingga kini masih kerap mengeluh.

Seperti peluru, begitu cepat waktu melaju.

Dua jiwa; pemilik dua pasang mata. Dua manusia; pemilik cinta paling setia.

Bahagiaku adalah saat melihat kalian bahagia dengan hal-hal kecil yang bisa kita cipta bersama.

Menua dalam sehat, bahagia, penuh kasih, dan perbaikan-perbaikan lainnya. Semoga saja.

Aamiin.

Rabu, 20 September 2017

Posted in #SatuHariSatuTarian, Puisi

Penguat Masa

Daun perlu gugur, agar tahu siapa yang menginjak, dan siapa yang tidak; saat ia terjatuh.

Bunga perlu layu, agar tahu siapa yang mengabaikan, dan siapa yang menyimpan; sampai ia benar-benar mengering.

Laut perlu badai, agar tahu siapa yang bertahan, dan siapa yang memilih pulang; mengalah dengan ombak nakal.

Cerita perlu proses, agar tahu mana yang layak dijadikan kenangan, dan mana yang cukup begitu saja dilewatkan.

Tubuh dan hati perlu luka, agar tahu tangan dan segala mana yang senantiasa ikhlas mengobati; tanpa lelah dan pamrih.

Hidup perlu waktu, agar tahu detik mana yang telah seutuhnya mati, dan mana yang masih hidup dalam harapan.

Kamu? Perlu bangkit. Karena selamanya terjatuh bukanlah pilihan yang tepat. Sebab, hidupmu belum mencapai sudah. Berjalanlah.

Selasa, 19 September 2017 — PM

Posted in #SatuHariSatuTarian, Puisi

Air Mata Terakhir

Maaf

Seorang perempuan menundukkan kepalanya
Kemudian menatap ratusan hari di belakang
Mengubah langit malam menjadi tak berbintang
Angin dan hujan memamerkan kemesraan

Maaf

Seorang perempuan merebahkan tubuhnya
Bercengkrama dengan langit-langit rumah
Bercinta dengan tumpukkan luka yang menyamar
Kalimat tanya sederhana terlontar; apa kabar?

Maaf

Seorang perempuan menuliskan kisah hidupnya
Tentang hati yang pernah terluka pun melukai
Tentang jiwa yang senantiasa ingin bahagia
Tentang kata yang coba menerangkan segala

Hujan

Malam hari di jalan raya
Berpisah lewat kata
Merindu di kota yang berbeda
Kuyakin dan percaya semuanya usai sudah

Jangan menangis lagi
Berbahagialah

Dari Penari Jemari,
Untuk Penguat Masa.

Sabtu, 9 September 2017.