Posted in #SatuHariSatuTarian, Ketulusan Hati, Tentang Cinta

Duka yang Dekat

Semuanya berawal dari bedanya sikapmu di hari Minggu, 16 Oktober 2016 kemarin. Biasanya kau selalu bahagia tiap kali menatap ikan sebagai lauk di meja makan, namun hari itu murung lebih menguasai raut wajahmu. Aku dan papa pun bingung, tentang apa yang sebenarnya sedang kau rasakan. Karena kau memilih kembali rebah di tempat tidurmu setelah makan hanya beberapa suap. Aku dan papa saling tatap, tak lama dari itu, papa menanyakan kenapa kau tak menghabiskan makananmu seperti biasanya, dan kau hanya menjawab jika tubuhmu terasa begitu lemas.

Hari kian malam, dan kau semakin tenggelam dalam sakit yang belum kita sadari bagaimana rasanya. Kamu yang biasanya gemar tersenyum, malam itu terus mengernyitkan kening, namun kau juga kesulitan untuk terlelap meski kantuk begitu melekat padamu. Maaf jika kita tak bisa lebih cepat menyadari jika yang kau rasakan bukan hanya pusing kepala biasa.

Hingga akhirnya papa membangunkan aku dan mas tepat pukul satu dini hari, karena kau beberapa kali muntah, dan tubuhmu semakin lunglai. Lagi-lagi, tak seperti biasanya, karena kau tak menjawab pertanyaanku dan mas, tentang apa yang kau rasakan. Kamu hanya diam, awalnya kupikir kau marah dengan salah satu dari kami, namun ternyata diam itu ada karena kau tak sanggup bercerita. Aku dan mas hanya bisa memberimu penghangat badan, dan kembali memintamu istirahat agar lekas pulih.

Namun kekhawatiranku belum berakhir, kantukku lenyap seketika, kuraih ponsel dan mulai mengetik huruf demi huruf untuk menceritakan hal yang baru saja terjadi pada adik perempuan mama. Singkat cerita, anak perempuanmu tiba di rumah kita pukul tiga dini hari, ia segera menghampirimu, dan kau masih mengenalinya, Alhamdulillah; ucapku dalam hati.

Beberapa hari sebelumnya kau memang selalu menanyakan anak-anakmu yang lain, bahkan malamnya pun kau sebut nama anak bungsumu, dan menanyakan rute untuk menuju rumahnya.

Tante Rita segera mengganti pakaianmu yang basah karena keringat dan air lainnya, memakaikanmu popok, dia begitu cekatan, mengajariku satu hal lagi tentang bagaimana caranya memperlakukan orangtua yang sedang sakit. Aku salut. Aku semakin yakin jika anak-anakmu memang bisa diandalkan dalam segala bidang, insya Allah.

Pukul tujuh pagi, kau masih sempat menyantap bubur buatanku, kita kembali bercerita dan bersyukur karena kondisimu membaik. Namun, saat tante Rita sedang memasak makanan untuk kita santap siang, kondisimu kembali menurun, bahkan sangat menurun, kau sudah tak dapat merespon sapaan dari kita, meski suara begitu dekat di telingamu. Hingga akhirnya anak-anakmu sepakat membawamu ke rumah sakit, dan kau langsung dilarikan ke IGD.

Ini pertama kalinya untukku, Nek. Pertama kalinya melihatmu jelas di hadapan mataku, rebah dan lemah. Bohong jika aku tak berair mata, namun aku pun tak boleh egois untuk terus bersedih, sebab sekelilingku perlu untuk saling dikuatkan.

Beberapa hal yang menimpa pasien lainnya di IGD semakin membuatku takut, aku takut jika duka yang mereka peluk tak lama kemudian akan memeluk keluarga kita, namun lagi-lagi aku harus percaya jika Allah punya cerita sendiri untuk kita, yang tak akan sama dengan cerita mereka.

Gula darahmu tinggi bukan main; 563. Maaf untuk kelalaian kami, Nek. Maaf jika kami lepas kontrol hingga gula darahmu melonjak dan melemahkan tubuhmu. Entahlah, yang kutahu hari itu, aku hanya ingin kau bertahan dan kembali tertawa bersama.

Singkat cerita, kau harus pindah rumah sakit, karena ada beberapa alat yang kau perlukan dan tidak tersedia di rumah sakit sebelumnya. Banyak proses yang harus kau lalui, dan banyak pula hasil pemeriksaanmu yang tak dokter jelaskan pada kami, mereka terlalu sibuk wara-wiri hingga tak sempat menemui kami, keluarga yang sedang menanti perkembangan kesehatanmu. Izinkan aku kecewa untuk hal itu.

Di ICCU,

“Nek, ini Puput.” Jelasku.

Kau hanya mengangguk, aku bersyukur kau masih mengenaliku, kau menatapku tajam dan tak kunjung lepas, aku tahu jika ada banyak kata yang ingin kau ucap, namun tak sanggup kau suarakan. Selanjutnya aku hanya bisa berbisik di telingamu, kalimat yang berisi harap, kalimat yang kuharap bisa menyemangatimu. Kuusap air mata yang hampir jatuh dari mata kananmu, aku tak ingin kau menangis dalam baringanmu itu.

Kurang lebih tiga hari setelah kau mendapatkan penanganan intens di ICCU, akhirnya kau dapat dipindahkan ke ruang perawatan, syukurku lagi-lagi. Hingga aku, mama, papa, mas, abang, kak Onie, dan mama kak Onie kembali datang untuk menjengukmu. Kondisimu semakin membaik, meski tangan dan kakimu membengkak karena infuse yang terus menemani tubuhmu. Aku ingat jelas segala yang terjadi hari itu. Mulai dari keluhanmu tentang bagian belakang tubuhmu yang sakit karena berhari-hari terbaring, sampai sapaan sederhana untuk tiap-tiap kami yang menatapmu.

Hari itu aku mengerti mengapa kau sangat menyayangi mas, karena harus kuakui jika mas satu-satunya cucu yang menyadari jika ada beberapa bagian tubuhmu yang perlu dibersihkan, bahkan ia lebih peka dari perawat-perawat yang biasa menanganimu. Aku belajar lagi dari mas, bagaimana cara untuk seratus persen memberi perhatian yang tulus.

Kabar baik demi kabar baik terus datang ke telinga kita, Nek. Tentang kesehatanmu yang berangsur pulih. Kau yang semula makan melalui selang, mulai bisa kembali menyantap bubur dan minum susu melalui mulut. Bohong jika kita tak bersyukur dalam kegembiraan. Namun, sayangnya kabar baik itu tak bertahan lama, karena tepat pukul setengah enam sore di hari Selasa, 25 Oktober 2016, tante Rita menelepon papa dan menceritakan keadaanmu yang kembali menurun, kau kembali tak sadarkan diri. Dan membuat dokter meminta keluarga untuk ikhlas pada apa pun yang terjadi nantinya.

Tak ada firasat apa pun, malam itu aku tertidur pada jam yang sama, namun kembali terbangun karena perutku sakit. Aku kesulitan untuk kembali tidur, mataku tak juga kembali bersedia merapat, hingga akhirnya om Alqod mengirim kabar yang entah harus kusebut apa.

“Put, nenek sudah …”

Pemberitahuan itu muncul di layar ponselku, dag-dig-dug. Badanku gemetar, menerka kata apa yang ada selanjutnya. Mau tak mau, dengan rasa yang tak bisa kujelaskan, kubuka pesan itu.

“Put, nenek sudah tidak ada.”

Innalillahi wa innailaihi rodji’uun. Badanku semakin gemetar, pandanganku gelap dalam beberapa detik, namun aku tak bisa diam saja, aku harus memberi tahu mama, papa, dan mas yang sedang tertidur. Dan, aku memilih untuk membangunkan papa terlebih dahulu, dan segera memberi kabar pada siapa saja keluarga yang bisa kukabari.

Mau tak mau aku dan papa juga harus membangunkan RT yang sedang istirahat, karena kabar itu datang tepat pukul satu. Rabu, 26 Oktober 2016 dini hari. Aku, papa, mas, dan mama duduk di depan rumah, menanti kedatanganmu sambil berharap jika kabar duka itu hanyalah lelucon dalam mimpiku saja. Namun sayangnya semua itu nyata, hingga akhirnya kau tiba di rumah kita.

Biar ingatanku merekam cerita tentangmu yang tak dapat kubagikan pada semesta. Dan, sampai pada waktunya untuk memandikan juga mengkafanimu. Ini pertama kali untukku. Pertama kali, Nek. Gugup. Gemetar. Karena jujur aku bingung harus berbuat apa, semua yang kutahu sebelumnya seolah buyar ketika sudah menatap rebahmu.

Namun, aku tak ingin kalah dengan rasa yang entah apa namanya ini, Nek. Aku tak ingin menyiakan kesempatan terakhir yang masih Allah beri, untuk ikut mengurusmu di waktu terakhir itu. Bersyukurnya aku karena aku cucu perempuanmu, Nek.

Beruntungnya aku karena abang menikahi kak Onie, karena mama kak Onie begitu membantu kita di hari kepulanganmu, Nek. Wajar jika anak-anakmu lunglai, wajar jika mereka berduka, wajar jika mereka kehilanganmu, Nek. Dan, saat seperti itu kita butuh sosok yang dapat menguatkan dan menyadarkan jika kau tak dapat menunggu lama, sebisa mungkin kita segera menyelesaikan perjalananmu di bumi ini, Nek.

Bukan kalimat hiburan, tapi ini kenyataan, tentang wajahmu yang terlihat tenang, tentang parasmu yang terlihat damai. Aku yakin jika ini yang terbaik dari Allah untukmu, Nek. Untuk menyudahi sakitmu, untuk meringankan langkahmu, untuk segala yang detik ini kita belum tahu, namun nanti pasti dapat kita pahami.

Kini, yang kau inginkan bukan lagi menyantap ikan asin dengan lalap, bukan lagi menyantap segala jenis ikan, bukan lagi menenggak susu, bukan lagi menikmati sayur asam, dan segala jenis makanan khas Sunda.

Kini, yang kau butuhkan bukan lagi handuk untuk mandi, bukan lagi dipakaikan daster saat sebelah sisi menyangkut, bukan lagi dipotongkan kuku, bukan lagi diajak berbincang, bukan lagi hal-hal lain yang biasanya kau ceritakan padaku, tentang rindumu pada anak dan cucumu.

Kini, yang kau ingin dan butuhkan hanyalah doa, dari anak-anak dan cucu-cucumu. Hanya kerukunan dari anak-anak dan cucu-cucumu. Untuk menerangi jalanmu, untuk meringankan langkahmu, untuk bahagianya kamu di sana.

Mama, Tante Rita, Tante Rika, Om Alqod, Om Alis ada di dekatmu, Nek. Mereka anak yang baik, insya Allah. Begitu juga dengan anak-anakmu yang lainnya. Anak-anakmu mengajariku banyak hal, mudah-mudahan ilmu baik yang kudapat bisa kugunakan dalam hidupku. Tentang bagaimana cinta anak untuk orangtuanya.

Nek, aku tahu benar jika perjalananmu masih sangat panjang, terlebih kita yang masih di sini. Jadi, selamat jalan ya, Nek. Mudah-mudahan kau kembali bertemu dengan kakek. Dengan yakin kukatakan jika kau adalah wanita yang kuat, mudah-mudahan doa yang tiada putus dapat menguatkan perjalanan panjangmu, di sana. Hingga insya Allah kau tiba di surga Allah yang Maha Indah.

Jangan lupa untuk terus tersenyum ya, Nek. Karena cepat atau lambat kita pun kan menyusulmu, meski entah kapan.

Salam sayang dari cucu perempuanmu, yang biasa kau panggil ‘Put’ dan lagi-lagi kukatakan jika aku mulai merindukan suaramu yang sedang memanggilku itu.

Lansia tercinta, alasan kita untuk Insya Allah terus bersatu dalam cinta.

 

#PenariJemari
#DukaYangDekat
#LansiaTercinta
#Nenek