“Ini bukan hal yang mudah buat kamu. Aku tahu, Nit. Itu yang bikin aku makin kagum sama kamu. Berat, sulit, perih, luka, duka, mereka nyerang kamu bareng-bareng, tapi kamu berhasil bertahan dan menang.”
“Hampir kalah, Zu. Kamu ‘kan tahu, aku hampir nyerah. Semenjak aku enggak bisa cerita sama ibu, kamu jadi orang pertama yang bikin aku bangkit dan berjuang lagi. Menangnya aku hari ini, enggak lepas dari dukungan kamu.”
Saling untuk satu sama lain. Zura satu-satunya pria yang membuat Nitu, merasa tak perlu menutupi wajah saat tengah menangis sejadi-jadinya; sekaligus mampu mengembalikan senyumnya, tanpa butuh waktu lama.
Ada sakit yang begitu besar, berkali-kali berupaya menghabisi Nitu. Syukurnya, Zura, peka.
“Nit, beberapa tahun lalu, aku hampir habis. Tiba-tiba Tuhan kirim kamu ke hidup aku, padahal waktu itu hidup kamu juga penuh liku, tapi kamu berhasil bikin aku kuat lagi.”
“Aku enggak akan maksa kamu buat langsung bangun, Nit. Waktu aku jatuh, aku juga perlu waktu untuk duduk, sebelum akhirnya bisa berdiri dan jalan lagi. Jadi, yang perlu kamu simpan baik-baik dalam ingatan adalah aku, akan selalu di sini, di samping kamu.”
Tangis dan tawa bergantian, tetapi mereka tak saling meninggalkan; bukan lantaran ketelanjuran, Nitu dan Zura tumbuh bersama rasa yang nyata adanya.