Posted in #SatuHariSatuTarian

Serah Kalian Ajalah

Sejak mengakhiri kisah kasih dengan mantan terakhir gue dua tahun lalu, entah kenapa gue merasa berat buat buka hati lagi.

Alasan pertama, memang karena gue yang belum bisa move on dari rasa itu, tapi lama-lama gue jadi makin yakin buat gak buka pintu ke mereka yang coba mengetuk, kemudian izin masuk, dan akhirnya cuma sekadar mampir.

Gue merasa sudah cukup, deh, melewati masa yang namanya pacaran. Sudah cukup mencoba jalin hubungan yang kita semua tahu, kalau pacar kita belum tentu jodoh kita. Sudah cukup ‘sayang-sayangan’ untuk akhirnya patah hati.

Bukan, gue bukan trauma dengan yang namanya pacaran, gue cuma merasa sudah cukup saja ada di masa itu.

Gue pengin stop menambah beban dosa bokap gue. Bukan merasa paling bersih atau paling alim, sih. Gue cuma selalu terbayang saja, gimana sedihnya bokap nanti pas diminta tanggung jawab atas dosa yang sengaja gue buat dengan berpacaran.

Sebenarnya gue merasa aneh, sih, buat menulis ini, karena gue yang sekarang pun masih suka ‘gila’ sendiri, bercanda teriak-teriak, dan lain-lain. Rada aneh memang kalau gue memutuskan untuk berprinsip seperti ini. Namun, kemauan hati gue kuat banget buat yang satu ini.

Bohong saja kalau gue gak melewati fase kesepian, terus bikin gue merasa pengin dekat lagi sama cowok, pas lihat teman sebaya gue pada sayang-sayangan sama pasangannya.

Bohong kalau keyakinan gue yang satu ini berjalan mulus, karena sejujurnya gak gampang buat yakin sama diri gue sendiri.

Syukurnya, karena kemauan hati sudah mengontrol pikiran gue, alhamdulillah, kuat sampai detik ini.

Gak peduli deh sama pikiran orang, mau bilang gue aneh, naif, atau apa pun.

Ada yang tanya, “Kenapa hari gini gak mau pacaran? Pacaran gak apa-apa, asal gak ngapa-ngapain”, katanya.

Ada yang bilang, “Gimana mau ketemu jodoh, kalau sehari-hari cuma di rumah? Gak akan ada jodoh dari luar sana yang tiba-tiba datang ke rumah”.

Terus? Gue jawab santai. Gue bilang ke mereka tentang Allah yang tahu alamat rumah gue di mana. Allah bisa memberi petunjuk jalan ke rumah gue, buat si jodoh itu.

Naif gak sih? Serah deh, tapi gue percaya kalau semua itu mungkin, karena memang gak ada yang gak mungkin di tangan Allah.

Terus katanya, gimana gue bisa dapat yang terbaik, kalau gue gak usaha? Gak mencari?

Kalau yang ini gue setuju, gue tahu, gue memang mesti usaha, tapi takaran usaha gue bukannya mencari, tapi terus belajar memperbaiki dan memantaskan diri untuk sosok yang selalu gue jabarkan dalam doa.

Gue gak peduli orang mau bilang alasan gue klasik. Gak sedikit juga yang nge-judge ini cuma alasan gue yang belum move on, atau tipu-tipu doang, padahal di balik sana gue menyimpan nama seseorang.

Terserah, yang penting Allah, tahu jelas isi dan maksud hati gue, karena gue gak akan pernah bisa bohong sama Allah. Allah Maha Segala.

Klise katanya, hari gini mau nikah tanpa pacaran, padahal kalau Allah mau? Ya, bisa saja detik berikutnya gue nikah sama orang yang gak pernah jadi pacar gue sebelumnya. Orang yang memang Allah kirim buat jadi jodoh gue.

Gue percaya banget, kalau gak ada yang gak mungkin di tangan Allah.

Maksud gue apa tulis ini? Sama sekali gak bermaksud menyerang atau biar kelihatan ‘membersihkan’ diri, karena gue sadar, gue masih banyak dosa.

Gue juga gak merasa paling benar sendiri, insyaAllah, seterusnya akan tetap seperti ini.

Gue cuma mau berbagi saja tentang pemikiran gue yang satu ini, yang terkesan aneh, tapi nyata. Asli tanpa bahan kimia.

Gue gak pernah capek jawab kalau ada yang tanya, “Kenapa gak mau pacaran? Pacarnya mana? Kapan nikah?”, atau pertanyaan-pertanyaan lain yang biasanya menakutkan dan menyebalkan buat kebanyakan perempuan.

Gue akan jawab dengan cara gue, gue gak akan marah, tapi jangan salahin gue juga kalau di akhir jawaban, biasanya gue minta orang yang bertanya itu turut mendoakan kelancaran hidup gue. Haha.

Mereka ‘kan sudah bertanya, jadi mereka juga mesti menyumbang doa! Enak saja! Haha.

Intinya, gue bahagia, karena sekarang bisa fokus di rumah, mengerjakan pekerjaan rumah yang bisa gue lakuin, masakin orang rumah.

Bahagia saja, gitu. Melihat mereka makan hasil masakan gue yang kadang masih suka gagal di rasa, cuma mereka gak kapok buat terus mencicipi, sampai akhirnya habis juga, haha.

Senang bisa menemani papa, mama, dan nenek, menua. Lucu melihat tingkah mereka yang pelan-pelan kayak anak kecil lagi.

Gemas sama manjanya mereka yang gak masuk akal, tapi pas dipikir lagi, ya, masuk akal. Nah, lo, bingung-bingung situ. Haha.

Kadang merasa capek dan pengin balik kerja, cuma perasaan itu, ya, adanya sebentar doang. Habis itu, ya, biasa lagi. Betah lagi, dan insyaAllah, ikhlas.

Gak pernah merasa beban buat gantian jaga orang tua, karena tahu banget bagaimana dulu mereka merawat gue.

Rada gak nyambung, ya? Dari bahas gak mau pacaran lagi, sampe ke mengurus orang tua. Haha. Gak apa-apa, deh. Toh, kalian juga masih terus baca sampai sini. Thanks, btw.

Mudah-mudahan semua yang gue kenal, yang masih pacaran atau apa pun lah statusnya, bisa diringankan jalannya buat jadi sepasang yang halal.

Terus pas kalian kelar baca ini, jangan lupa juga doanya, supaya gue bisa tetap sama prinsip gue yang satu ini. Aamiin.

Sampai ketemu lagi.

#PenariJemari
#SatuHariSatuTarian
#NgomonginJodoh

Posted in #SatuHariSatuTarian, Puisi

Mempersiapkan Kepulangan

Melupa jika aku tak bisa bersembunyi, sekalipun dalam gelap nan sunyi.
Dengan sengaja kuabaikan segala, seolah napas adalah hal yang pasti untuk esok hari.
Nanti, nanti, dan nanti.
Menyegerakan urusan dunia, namun sengaja menjadikan akhirat sebagai hal penting setelahnya.

Tak peduli seberapa sering Tuhan menegur.
Kurekam dalam ingatan tentang Ia yang Maha Pemaaf.
Dan kujadikan alasan untuk bebas mengulang kesalahan serupa tanpa takut Ia murka.
Entah seberapa pekat sudah dosa, ragaku tak sanggup meski sekadar membayangkan.

Tuhan begitu baik; memberiku waktu untuk bersiap.
Tuhan begitu penyayang; merangkul diri yang sedang mengakui kekeliruan.
Tuhan begitu sabar; menghadapi salahku yang masih berputar di satu lingkaran.
Tuhan begitu luar biasa; masih memberikan kebahagiaan meski banyak sudah hati yang kubuat terluka.

Mengingat putihnya kafan.
Membayangkan tempat istirahat terakhir.
Menerka seberapa banyak yang kan mengantar.
Dan mulai menyesali waktu yang sudah kusiakan.

Tak lagi kubermain, sejak jiwa bertekad untuk pindah.
Tak lagi kucoba bersembunyi, sebab pandangan-Nya yang kini kucari.
Tak lagi kubuang detik demi detik yang masih Ia berikan.
Aku berjalan dalam entah, berharap perjalananku berakhir dengan indah.

Mungkin saja ini tulisan terakhirku.
Bisa jadi malam ini terakhir kali aku dapat terlelap.
Atau barangkali tak pernah lagi dapat kusapa pagi.
Ada harapan terakhir selama kupersiapkan kepulangan.

Semoga raga yang kan kaku nanti berada dekat dengan orang terkasih.
Semoga jiwa yang kan melayang nanti tak perlu ditangisi.
Semoga perjalanan pulangku nanti dipenuhi dengan doa-doa baik.
Dan semoga segala salah yang pernah kucetak termaafkan dari dalamnya lubuk hati.

Aamiin.

Bahagianya aku, jika kita bersama-sama mempersiapkan kepulangan; sebab datangnya kematian tak pernah dapat dipesan.

 

#PenariJemari
#SatuHariSatuTarian
#MempersiapkanKepulangan
#SebabKematianTakPernahDapatDipesan