Posted in Hati yang Patah

Ketika Tanggung Jawab Menanti di Tengah Patah Hati

Manusia mana yang ingin hatinya sengaja patah? Entah. Namun, yang jelas kalaupun ada, itu bukan aku. Enggan rasanya terluka; menangisi lara.

Tetapi mau bagaimana lagi? Rasa sudah berkuasa.

Sebentar. Para Hakim kehidupan, mohon jangan lanjutkan. Tahu rasanya di-adili saat air mata hendak membuncah? Bayangkan. Kumohon jangan ciptakan keadaan demikian.

Pagi tadi, dua mata ini kembali memandang sosok yang hampir sebulan luntang-lantung di jalan. Iya, dia salah satu kesayangan.

Pergi begitu saja, lari dari rumah, Ahad, 29 September lalu. Marah? Iya. Tapi mau marah sama siapa?

Sebab, ia lari di atas kakinya sendiri. Hingga akhirnya tak kunjung kembali. Sampai detik ini.

Lho, tadi katanya sudah kembali memandang, tapi mengapa ia tak kunjung pulang?

Ya, karena larinya justru semakin kencang, saat aku berusaha memeluk datang. Kecewa tergambar dari tatap, lengkap dengan kekhawatiran yang memuncak.

Tak tahu apa. Aku tak bisa baca pikiran. Semua sekadar penilaian. Satu yang jelas, kalau sudah sayang, aku ingin dia pulang; hingga lupa, ia hanya titipan.

Lemas, sesak, tak berdaya. Ingin rasanya mengurung diri. Namun, apakah tanggung jawab bisa mengerti? Sepatah apa pun hati, ia tetap menuntut tuk diselesaikan.

Akhirnya diri pergi. Singgah sebentar ke tempatnya terakhir lari. Hasilnya? Masih sama. Ia tak terlihat lagi.

Tunggu, sebenarnya sedang menulis apa aku ini?

Sudah. Biar kusudahi saja. Namun, sebelumnya, aku ingin sampaikan kepadamu yang membaca hingga akhir; mohon jangan kesal, karena aku pun tak paham.

Sekian.