Posted in #PenariJemari, Puisi

Tinggal Tanggal

Entah sejak kapan
aku lihai mengingat tanggal
baik yang berisi bunga
ataupun air mata

Seperti malam ini
aku menulis karena terdadak rintik
jatuh dari langit
menyerap dan melilit

Hampir tak bernapas
telat sedikit tewas
sebelah bisa waswas
meski ada pula yang sanggup tertawa buas

“Ke mana?”

“Entah…”

Tiba-tiba pagi datang
membentak ingatan

“Mau sampai kapan?”

Malam ingin membela empunya
tapi kuasa sedang tak bersamanya

Pagi pun petentengan
tak acuh ia mengatakan

“Kapan mau sadar? Tanggal pasti tertinggal!”

Empunya malam mengiakan
beberapa memang tinggal tanggal
kenangan sekarat terpenggal

Apa kuat lanjut sebagai pejuang tunggal?

Posted in #PenariJemari, Puisi

Tertanam

Dua ribu hari lebih yang penuh dengan pesan
Uraian menjadi ulasan
Awan cerah pun hujan

Pilu tak pernah menang
Udara tenang menyelamatkan petang
Lebat rindang buahnya matang
Usang berusaha menghambat kuncup mekar riang
Hingga mengubah cara menanam karena tak ingin membuang

Tertanam, tumbuh, layu, hampir mati, dan selamat
Ukiran akar bersaing ketat
Janji pupuk satu berhasil membuat lebat
Upaya belum selesai karena usia belum tamat
Hanya Pemilik yang tahu seberapa baik doa-doa tersemat

Posted in #PenariJemari, Puisi

Eyang Boleh Pulang

Eyang boleh pulang
Bawa semua bekal
Kan selalu kami kenang
Sebab karyamu kekal

Terima kasih untuk setiap kata
Kami tahu benar
80 tahun yang Tuhan berikan
Tidak Eyang sia-siakan

20 Maret 1940 kau lahir
19 Juli 2020 kau kembali
Rabu ceritamu dimulai
Ahad kisahmu terbingkai

Jika kau punya Hujan Bulan Juni
Gerimis mata kami justru turun di bulan Juli
Entah sudah berapa kepala yang bertahan karena karyamu
Mereka mengangguk setuju

Perjalananmu luar biasa
Tak henti meski menua
Tak kalah dengan yang muda
Selamat jalan, Eyang, pulanglah dengan tenang

Posted in Puisi

Sesak dalam Lega

Aku menangis
Sejadi-jadinya air terjun dari mata
Tak kenal henti
Perih

Detik sebelumnya kunikmati luka mereka
Kubiarkan meresap dalam dada
Sembari memaki segala yang kuanggap salah
Tak apa

Detik berikutnya senyum kembali terbit
Dari dalam hati
Bukan sekadar topeng diri
Tapi benar kendaraan menuju pulih

Entah
Dulu sulit rasanya tuk menangis
Kini berbeda
Justru sangat mudah

Kubiarkan
Bahkan kubantu hingga titik didih tertinggi
Sesak… sesak… sesaaakkk
Begitu teriakan yang telingaku dengar dari batin

Syukurnya ada yang menyaut
Berasal dari kepala
Menguatkan
Meyakinkan

Semua berawal dari percaya
Janji luka tempo hari
Ketika mampu bangkit lagi
Meski sesak masih tersisa, setidaknya lega pun kurasa

Posted in #PenariJemari, #SatuHariSatuTarian, Puisi

Apa Jadinya …

Apa jadinya hidup tanpa rintangan? Rasanya tak akan pernah kita mengenal gagal. Sebab, Jika segala terasa mudah, untuk apa mengupayakan diri menjadi lebih baik lagi?

Apa jadinya semesta tanpa luka duka? Sepertinya kita tak akan menghargai bahagia. Tak pernah mengerti bagaimana rasanya berair mata. Dan, tak tahu cara mensyukuri berkah.

Apa jadinya akhir perjalanan tanpa neraka? Tiap kepala leluasa menari dengan begitu jahatnya, melantunkan caci dan maki hingga lekuk bibir tak lagi seperti semula. Dan, tak ada yang mendamba surga.

Apa jadinya skenario yang Tuhan tulis untukku tanpa adanya kamu? Ia akan menyamar bagai buku yang kehilangan selembar halaman, namun tetap menyematkan tamat; untuk menjadi teman saatku menutup cerita.

Minggu, 24 September 2017

Posted in #PenariJemari, #SatuHariSatuTarian, Puisi

Sayangnya, Jarum Jam Tak Bisa Berputar ke Arah Kiri

Berhenti berpura-pura, jangan tutupi lukamu yang jelas-jelas masih basah. Sebab, itu hanya akan membuatnya sembuh lebih lama.

Ingat bagaimana pertama kalinya dirimu menyapa semesta? Mungkin kau melupa, tapi ibumu? Tidak. Ia pasti mengingat segala dengan jelas; lahir sudah harapan barunya.

Bisa kau bayangkan berapa bulir keringat yang jatuh untukmu? Mungkin kau tak tahu, tapi ayahmu? Ia tahu benar untuk siapa ia bertahan; kamu, salah satu alasannya.

Entah sudah berapa langkah yang kau pijak. Ketahuilah, ada begitu banyak rindu yang tak bisa mereka suarakan dengan leluasa.

Bukan. Bukan karena mereka tak acuh pun tinggi hati. Namun, karena mereka ingin kau terus melaju dan tak menjadikan mereka sebagai penyebab hentinya langkahmu.

Nantinya, bagaimanapun kau tumbuh, menjadi seperti apa pun pribadimu, mereka akan selalu punya dekap untuk kepulanganmu.

Kau pun tak pernah lupa, bukan? Jika makin hari, usiamu semakin bertambah. Artinya? Semakin tua pula mereka.

Kulit yang mulai keriput. Rambut yang mulai memutih. Ingatan yang mulai melemah. Menjadi deretan bukti, jika mereka benar-benar sudah tak lagi muda.

Waktu semakin sedikit. Perpisahan kalian pun terasa kian dekat. Masihkah ingin membuat mereka bersedih?

Kalian bisa senantiasa memeluk semesta. Sebebas-bebasnya. Namun, jangan pernah lupa, jika tubuh-tubuh penuh cinta, selalu merindukan kepulanganmu.

Jangan pernah biarkan penyesalan hadir, saat kau mengabaikan jarum jam yang tak pernah berdiam. Ingat. Ia akan selalu bergerak ke arah kanan.

Sabtu, 23 September 2017 — 💚MP

Posted in #PenariJemari, #SatuHariSatuTarian, Puisi

Pulanglah, Kau Belum Terlambat

Isi kepala tak pernah sama
Mereka saling bicara
Menyuarakan lara dan bahagia
Sayangnya, bibir tak jua terbuka

Tatap mata tak selalu searah
Selatan dan utara
Berkelana hingga barat daya
Nyatanya, ia kembali pada titik semula

Kehidupan hati tak melulu luka duka
Ada harap dan bahagia
Patah dan gelisah
Akhirnya, indah yang hanya klise kan menjadi nyata

Pulanglah
Dadamu perlu degup wajarnya
Ratusan hari kau pergi
Ia tahu jika kakimu melangkah tanpa hati

Akhir pekan hampir tiba
Sudahkah kau berlabuh pada-Nya?

Jumat, 22 September 2017 — Pulanglah, Kau Belum Terlambat

Posted in #SatuHariSatuTarian, Puisi

Sepasang yang Terus Menua; Bersama

Kerap menangkap dua pasang mata menatapku dalam diam. Mereka punya cara yang berbeda.

Entah karena apa dan bagaimana awalnya. Tatapan mereka begitu penuh cinta. Doa-doa juga mengalir dari sana.

Mereka punya pemikiran yang tak pernah kusangka sebelumnya. Mengagumiku yang hingga kini masih kerap mengeluh.

Seperti peluru, begitu cepat waktu melaju.

Dua jiwa; pemilik dua pasang mata. Dua manusia; pemilik cinta paling setia.

Bahagiaku adalah saat melihat kalian bahagia dengan hal-hal kecil yang bisa kita cipta bersama.

Menua dalam sehat, bahagia, penuh kasih, dan perbaikan-perbaikan lainnya. Semoga saja.

Aamiin.

Rabu, 20 September 2017

Posted in #SatuHariSatuTarian, Puisi

Penguat Masa

Daun perlu gugur, agar tahu siapa yang menginjak, dan siapa yang tidak; saat ia terjatuh.

Bunga perlu layu, agar tahu siapa yang mengabaikan, dan siapa yang menyimpan; sampai ia benar-benar mengering.

Laut perlu badai, agar tahu siapa yang bertahan, dan siapa yang memilih pulang; mengalah dengan ombak nakal.

Cerita perlu proses, agar tahu mana yang layak dijadikan kenangan, dan mana yang cukup begitu saja dilewatkan.

Tubuh dan hati perlu luka, agar tahu tangan dan segala mana yang senantiasa ikhlas mengobati; tanpa lelah dan pamrih.

Hidup perlu waktu, agar tahu detik mana yang telah seutuhnya mati, dan mana yang masih hidup dalam harapan.

Kamu? Perlu bangkit. Karena selamanya terjatuh bukanlah pilihan yang tepat. Sebab, hidupmu belum mencapai sudah. Berjalanlah.

Selasa, 19 September 2017 — PM

Posted in #SatuHariSatuTarian, Puisi

Air Mata Terakhir

Maaf

Seorang perempuan menundukkan kepalanya
Kemudian menatap ratusan hari di belakang
Mengubah langit malam menjadi tak berbintang
Angin dan hujan memamerkan kemesraan

Maaf

Seorang perempuan merebahkan tubuhnya
Bercengkrama dengan langit-langit rumah
Bercinta dengan tumpukkan luka yang menyamar
Kalimat tanya sederhana terlontar; apa kabar?

Maaf

Seorang perempuan menuliskan kisah hidupnya
Tentang hati yang pernah terluka pun melukai
Tentang jiwa yang senantiasa ingin bahagia
Tentang kata yang coba menerangkan segala

Hujan

Malam hari di jalan raya
Berpisah lewat kata
Merindu di kota yang berbeda
Kuyakin dan percaya semuanya usai sudah

Jangan menangis lagi
Berbahagialah

Dari Penari Jemari,
Untuk Penguat Masa.

Sabtu, 9 September 2017.