Kepada hal yang kadang ingin kuhentikan–agar segala dalam pelukan tak terlepas–tak jarang, ku juga ingin mematikanmu. Sebab, apa-apa terasa begitu menyakitkan.
Kau sahabat, sekaligus musuh terbesar bagiku. Aku ingin kau selalu ada, tapi di saat yang bersamaan, aku ingin membunuhmu segera.
Tanpa sadar, dalam diam, kau yang membuatku menua tanpa makna.
Aku kerap berdiam, sembari berharap cita dan cinta datang tanpa pernah kuupayakan.
Mustahil memang.
Apa kau tahu, berapa lama lagi kita dapat bersama, atau mungkin Tuhan, juga merahasiakan hal ini darimu?
Beberapa hal bersamamu, tak dapat kulupa, meski sudah kuusahakan seluruh dan penuh.
Tapi beberapa lainnya terasa sulit untuk kuingat, meski sudah tercatat, baik dalam ingatan, kertas, atau kening tak beralas.
Selain pada Tuhan, padamulah, aku sepenuhnya jujur.
Meski ada beberapa hal yang tak ingin kubagi, kau, tetap dapat mengetahuinya dengan jelas.
Aku begitu bersyukur, Tuhan, memberimu padaku, sampai detik ini.
Meski kadang, aku begitu kurang ajar, karena memintamu segera pergi, agar duniaku berakhir.
Tapi masa-masa itu tak pernah berlangsung lama. Sebab, kau selalu bisa membuatku merasa terlahir kembali.
Apa kau masih sanggup bermain dalam durasi panjang bersamaku?
Aku masih ingin mengajakmu bercerita pada mereka yang ku cinta. Tentang cita dan segala yang sedang kuupayakan; semoga menjadi nyata di masa depan.
Esok, lusa, atau entah kapan… yang jelas, aku yakin untuk mendapatkan yang satu itu.
Sebab, kutahu, yakin saja tak cukup. Maka aku, akan terus menguatkan usahaku, demi mengobati segala lelah, agar tak berakhir dengan menyerah.
#30HariMenulisSuratCinta
#HariKedua