Posted in #30HariMenulisSuratCinta

Waktu

Kepada hal yang kadang ingin kuhentikan–agar segala dalam pelukan tak terlepas–tak jarang, ku juga ingin mematikanmu. Sebab, apa-apa terasa begitu menyakitkan.

Kau sahabat, sekaligus musuh terbesar bagiku. Aku ingin kau selalu ada, tapi di saat yang bersamaan, aku ingin membunuhmu segera.

Tanpa sadar, dalam diam, kau yang membuatku menua tanpa makna.

Aku kerap berdiam, sembari berharap cita dan cinta datang tanpa pernah kuupayakan.

Mustahil memang.

Apa kau tahu, berapa lama lagi kita dapat bersama, atau mungkin Tuhan, juga merahasiakan hal ini darimu?

Beberapa hal bersamamu, tak dapat kulupa, meski sudah kuusahakan seluruh dan penuh.

Tapi beberapa lainnya terasa sulit untuk kuingat, meski sudah tercatat, baik dalam ingatan, kertas, atau kening tak beralas.

Selain pada Tuhan, padamulah, aku sepenuhnya jujur.

Meski ada beberapa hal yang tak ingin kubagi, kau, tetap dapat mengetahuinya dengan jelas.

Aku begitu bersyukur, Tuhan, memberimu padaku, sampai detik ini.

Meski kadang, aku begitu kurang ajar, karena memintamu segera pergi, agar duniaku berakhir.

Tapi masa-masa itu tak pernah berlangsung lama. Sebab, kau selalu bisa membuatku merasa terlahir kembali.

Apa kau masih sanggup bermain dalam durasi panjang bersamaku?

Aku masih ingin mengajakmu bercerita pada mereka yang ku cinta. Tentang cita dan segala yang sedang kuupayakan; semoga menjadi nyata di masa depan.

Esok, lusa, atau entah kapan… yang jelas, aku yakin untuk mendapatkan yang satu itu.

Sebab, kutahu, yakin saja tak cukup. Maka aku, akan terus menguatkan usahaku, demi mengobati segala lelah, agar tak berakhir dengan menyerah.

#30HariMenulisSuratCinta
#HariKedua

Posted in #30HariMenulisSuratCinta

Pemilik Rindu Nomor Satu

Sebelumnya, jarak begitu memisahkan. Aku dengan sengaja berjalan menjauh, melakukan hal-hal yang kutahu sama sekali tak Ia, sukai.

Seumur hidup, aku tak pernah lupa dengan-Nya, hanya saja, aku kerap kali terlalu berani meninggalkan-Nya.

Mencari kesenangan dunia. Mengejar tawa hingga mulut berbusa. Mencipta bahagia tanpa sedikitpun meluangkan waktu untuk berbincang dengan-Nya.

Aku merasa kaya di balik hidup yang sederhana. Sebab, keluarga selalu ada.

Mereka memang bukan tempat yang selalu membuatku bahagia. Namun, kehilangan mereka adalah hal yang tak sama sekali ku ingin.

Ia Maha Baik. Memberiku rupiah secukupnya. Membiarkan badanku remuk tergerus jalanan yang kian hari kian kejam.

Tetapi tetap mendekatkanku dengan manusia-manusia yang memanusiakan manusia.

Dalam skenario-Nya, aku ‘kan tumbuh di tengah keluarga yang tak sempurna, tapi luar biasa indah. Membuatku begitu jatuh cinta pada rumah.

Ia, tahu segalaku, meski belum sedikitpun ku ceritakan.

Ia, tahu niat baikku. Tahu bagaimana pikiran buruk coba merasuk dan memengaruhi hidupku.

Ia, tahu ke mana saja kumelangkah… ke arah cahaya datang, atau kelamnya kehidupan nan kejam.

Ia, mengetahui kesalahan terbesar yang membuat batinku perang dingin dengan batasan-batasan.

Aku terpenjara, melepas apa yang begitu ku cinta, demi Dia.

Ia, sosok yang selalu ku rindu, entah sejak kapan. Ia, yang selalu ku cinta dan tak pernah sedikitpun ku benci.

Ia, yang menjadi alasanku terus ingin berdekatan dengan kebaikan, agar langkahku yang keluar jalur, dapat kembali merapat, dan berada di atas jalan yang tepat.

Ia, sutradara dan segala apa yang ku utamakan dalam hidup.

Bagiku, setiap orang bebas memiliki panggilan kesayangan untuk-Nya.

Semoga Ia, senantiasa menguatkan. Aku masih yakin untuk meneruskan, meski sungguh tak ringan.

Semoga, Ia, menjauhkanku dari berbagai keluhan murahan yang tak jarang muncul tanpa mengenal jam.

Kututup dengan salam sayang.

#30HariMenulisSuratCinta
#HariPertama

Posted in Tentang Cinta

Ketika Hatiku Memilihmu, Maka Kau dapat Melihat Segalaku

Kau yang kucari pertama kali saat bahagia, menghadiahkan hidupku begitu banyak tawa. Bukan sekadar senyum.

Kau, bahkan dapat melihatku tertawa sebebas merpati, tanpa pernah takut kehilangan jalan pulang.

Kau, dapat menyaksikan bagaimana mataku mengecil, wajahku merona, dan ranum senyumku melukiskan bahagia.

Luka, tak dapat menyelip dengan angkuhnya.

Kau, yang kucari pertama kali saat rapuh.

Seketika dadamu kujadikan sandaran segala keluh, kubasahi dengan air mata, entah berapa banyaknya.

Pelukan demi pelukan kuraih dari tubuhmu, sebagai penenang gundah yang datang dengan begitu semena-mena.

Kau, dapat melihat bagaimana air mataku mengalir deras. Wajahku memerah, begitu pun telinga dan hidungku.

Kau, dapat mendengar suaraku yang sesenggukan, menikmati pilu tanpa perlu canggung dan malu dalam dekapmu.

Kau, yang kucari pertama kali, saat diri butuh teman untuk beradu argumen.

Mendengarkan pernyataanmu. Menjelaskan pernyataanku. Menghargai pendapatmu. Menyampaikan pendapatku.

Kita tak harus selalu sependapat, tak perlu juga saling hujat usai berdebat.

Sebab, akhirnya kita sepakat, bahwa dua kepala bukan harus menyatu, melainkan serasi.

Telingamu adalah pendengar segalaku. Mulai dari ocehan payah, cerita-cerita yang menurutku seru, hingga lantunan lagu-lagu kesukaanku.

Kau, tersenyum bahkan tertawa bahagia, tiap kali aku melakukan itu.

Meski kita sama-sama tahu, bahwa suaraku, jauh dari merdu.

Padamu, aku tak perlu malu. Kuceritakan apa adanya hidupku, termasuk masa lalu.

Bukan bermaksud membuka kembali pintu kenangan, sama sekali bukan.

Namun, untuk sekadar bercerita apa-apa saja yang pernah kualami, kulewati, sebelum bersamamu.

Aku, juga ingin mendengar hal yang sama darimu. Penuh, utuh, tanpa takut kau jatuh dan merindu masa lalu.

Sebab, aku yakin mampu membahagiakanmu lebih jauh.

Kau, teman pun musuh terbaik. Pendukung sekaligus pasangan terhebat. Sahabat suka duka. Teman segala waktu. Kau, tempatku pulang, berbagi tawa, mengusap luka, bahagia.

Kau, tempatku melingkarkan pelukan hangat. Berdiri tanpa takut jatuh. Sebab, kau senantiasa membuatku percaya, bahwa bangkit ‘kan selalu ada.

Kau, teman yang mengingatkan bahwa tali sepatuku belum terikat, bukan mengikatkannya.

Kau, biarkan aku nikmati satu dua detik untuk mengikatnya sendiri.

Teman yang mengingatkanku untuk tak pernah lupa minum air putih. Sebab, kau tahu aku lebih suka minuman berwarna.

Teman yang turut serta menjaga kesehatanku.

Teman yang begitu menyebalkan, tapi juga sangat mudah membuatku rindu, meski sedang bersama.

Kau, teman yang tak ingin kutukar dengan apa pun, termasuk dengan aktor idolaku.

Sebab, segalamu sudah semesta bagiku.

Posted in Tentang Cinta

Kemarin, Hari Ini, Esok, dan Selamanya

Pada 29 Mei 1993 lalu, wanita kecintaanku, tak sama sekali ragu untuk mempertaruhkan nyawanya, demi melahirkanku. Anak ketiga, sekaligus terakhir; perempuan satu-satunya, di keluarga kecil kita.

Aku, benar-benar keluar dari rahim Mama, sesaat setelah azan Subuh selesai dikumandangkan. Mungkin, itu salah satu sebab, aku begitu damai tiap kali menatap segala yang ada saat dini hari.

Ketika matahari belum muncul di sekeliling pandang. Sebab, ia masih bertugas di belahan dunia lainnya.

Saat embun masih dicari orang tua untuk menjejakan kaki-kaki mungil milik buah hati mereka.

Ketika kabut tebal membuatku dan keluarga semakin hangat dalam sebuah pelukan, meski tanpa keringat, kita begitu lekat.

Aku, terlahir saat Papa, berusia 33 tahun, sedangkan Mama, empat tahun lebih muda dari Papa.

Mama, mengandungku saat usia pernikahannya dengan Papa, memasuki tahun kelima.

Aku lahir, ketika Mas, hampir berusia lima tahun, sedangkan Abang, dua tahun di bawah Mas.

Papa cerita pada keluarganya, tentang Mama, yang tak pernah sedikitpun mengeluh kerepotan, meski Mas, Abang, dan aku, jarak tumbuhnya berdekatan.

Mama, menjalani tugasnya sebagai ibu rumah tangga, dengan sangat baik.

Aku, Abang, dan Mas, tak pernah merasa kekurangan perhatian. Mungkin, waktu kecil, beberapa dari kami pernah menyakiti hati Mama, dengan berkata polos, ‘Mama pilih kasih’.

Namun, beranjak dewasa, kami menyesal pernah mengatakan itu, karena Mama, tak pernah sedikitpun membedakan Mas, Abang, pun aku.

Kita bertiga sama-sama mutiara baginya. Mama, menjaga kami dengan begitu luar biasa.

Tak peduli tanggal sedang berwarna merah di kalender rumah, Mama, tetap membanjiri keluarga kecil kami dengan kasih sayangnya.

Sejak kecil, remaja, hingga dewasa, tak pernah sedetik pun aku, merasa ingin hidup tanpa mereka; Papa, Mama, Mas, dan Abang.

Peluk mereka adalah rumah bagiku. Sebab, sejauh apa pun aku berkelana, senakal apa pun aku bermain di luar sana, pelukan mereka, tak pernah merenggang, hangatnya tetap sama.

Bahkan, dengan bertambahnya waktu, kehangatan itu semakin kudapat dalam dekap.

Doa yang tak pernah putus.

Aku yakin, doa mereka, salah satu alasan terbesar Tuhan, menjagaku dengan begitu luar biasa.

Meski harus berada dalam perjalanan saat perempuan lain sudah terlelap, aku, merasa aman. Sebab aku punya Tuhan, dan bekal; doa dari keempat manusia tersayang.

Ketika aku salah jalan, entah bagaimana cara Tuhan melukiskan mereka dalam pikiran.

Seketika, bayangan itu membuatku ingin pulang, menghentikan petualangan yang tak bermakna.

Meski menyesal, setidaknya jejak-jejak keliru itu mendewasakanku.

Mengajarkanku mana yang baik dan buruk. Menyadarkan betapa aku menyayangi mereka.

Rasa sayang yang tak ingin kutukar keberadaannya, meskipun aku dilahirkan kembali.

Aku, tetap menginginkan mereka; Mama, Papa, Mas, dan Abang.

Meski hujan mengering, meski matahari semakin dekat dengan kepala, kasih mereka, tak akan pernah kuabaikan.

Mengasihi mereka pun, tak akan pernah kutanggalkan.

Aku, menyayangi mereka, selamanya.