Posted in A-Z

Trauma

Memperkenalkan rasa yang memaksa tinggal bersamaku. Hampir sembuh. Namun, lebih dahulu kambuh.

Aku ingin hidup tanpanya, tetapi dia justru mengaku nyaman duduk di samping, berlagak menjadi pendamping, padahal tujuannya memiting.

Dia benar-benar tak mengingat, atau sengaja melupa jika sebelumnya kita sudah sepakat berdamai?

Kala itu dia berjanji akan pergi dan tak ‘kan kembali.

Nyatanya? Dia masih di sini.

Bukan mudah bagiku untuk tetap tumbuh saat dia justru keras kepala menahan.

Memaafkan pun mengikhlaskan bahkan tak kuasa melawan.

Harus kuakui, dia masih menang.

Begitu banyak manusia yang gemar menghakimi. Tiap sudut mendadak penuh dengan meja hijau. Namun, kata adil tak hadir di sana. Timpang!

Menghela napas dan berdansa dengan keluh, kembali menjadi pilihan.

Menikmati waktu jatuh, kemudian mempersiapkan esok, lusa, dan seterusnya untuk menertawakan kebodohan di hari lalu.

Mereka yang gemar menghakimi, merasa ahli menilai dan menerka.

Mereka yang bertanya tanpa jeda, tak pernah mau tahu, tak juga peduli dengan apa yang ada di balik tirai kepedihan.

Kini, terserah, dia ingin menetap atau pergi. Aku tak lagi peduli.

Lelah sudah, berkali-kali mengusir; berkali-kali pula dia hadir.

Maka kuserahkan pada bahagia yang nyata, agar dia lenyap karenanya.

Kepada Trauma, silakan meneruskan segala keangkuhanmu. Aku hanya ingin mengabarkan agar kau dapat bersiap jika sewaktu-waktu kutendang; melayang, kemudian terkapar.