Sejak ada #KaosNay, gue udah antusias banget sama karya Mbak Djenar yang satu ini, dan gue ngerasa beruntung karena pemesanan kaus itu diperpanjang, jadi gue yang baru punya duit, masih punya kesempatan buat beli kausnya.
Kaus udah berkali-kali gue pakai, dan akhirnya Mbak Djenar, ngumumin tanggal rilis #FilmNay. Gue girang lagi, karena film yang gak biasa ini, akhirnya rampung, dan gue langsung gak sabar buat nonton.
Masalahnya adalah? Gue tipe orang yang gak bisa nonton sendirian, tapi juga gak bisa nonton sama sembarang orang, jadilah gue nanya ke sahabat-sahabat gue, apa ada yang bisa nemenin gue nonton Nay?
Syukurnya, ada. Si Lusi (Uci). Dia bersedia nemenin gue nonton Nay, Ahad, 22 November kemarin, hari keempat rilisnya film tersebut.
Masalah kelar dong? Gue bisa nonton film Nay dengan tenang, iya ‘kan? Nyatanya enggak, haha. Gue yang tinggal di daerah Citayam, biasa nonton di Cibinong, Depok, atau Bogor.
Tapi Nay, gak ada di bioskop terdekat dari rumah gue. Gue sama Uci mikir, satu-satunya tempat yang paling mungkin kita datangin buat nonton–karena rutenya gampang–ya, cuma Taman Ismail Marzuki (TIM).
Sebelumnya gue gak pernah bela-belain pergi jauh-jauh cuma buat nonton, terus pulang, tapi karena film Nay, gue ikhlas, gue pengin banget nonton ini film, dan syukurnya si Uci nawarin diri, “Adanya di Jakarta, Nu, mau ke sana?”, akhirnya, kita ke sana, ke TIM.
Singkat cerita, setelah naik motor, kereta, dan bajaj, gue sampai di TIM; jam satu siang lewat dikit. Gak ikhlas kalau harus nonton pemutaran yang jam 13.15, karena filmnya udah mulai, otomatis gue ambil tiket yang jam 15.15, gue sama Uci nunggu sambil makan, minum, foto-foto, dan ngobrol.
Pas pesan tiket, baru gue sama Uci doang yang mau nonton film Nay, tapi pas masuk studio, Alhamdulillah, total ada sembilan orang.
Gue, Uci, tiga pasang pemuda yang sedang dimabuk cinta, dan seorang perempuan.
Film dimulai. Ssssssssstt… jangan berisik, gue juga mau mulai review, okay? Okay!
Jujur, gue terpesona sama sajian di film ini, dari awal, dan gue merinding pas nama Mbak Djenar muncul, ‘a Djenar Maesa Ayu film’, jeng jeng.
Dengan budget yang gak sebesar film-film pada umumnya, gak berlebihan rasanya kalau gue bilang film ini KEREN!
Sosok Nay yang diperankan oleh Mbak Sha Ine Febriyanti, berhasil bikin perasaan gue campur aduk.
Dari awal dia nyetir mobil, sampai dia ngobrol sama halusinasinya, perbincangan dia di telepon, dan semua yang dia lakuin di film itu, berhasil bikin gue ketawa, haru, pengin nangis; semua perasaan yang nonton diacak-acak segitu mudahnya sama dia.
Ini film monolog pertama yang gue tonton, dan Mbak Djenar, punya keberanian hebat buat nurunin film ini ke tengah masyarakat Indonesia yang kebanyakan muja-muja film luar negeri, yang mungkin emang bagus, tapi mereka gak ngeh kalau negaranya sendiri punya film sebagus Nay.
Kalau bukan Mbak Ine, mungkin Nay, gak sekeren ini. Duet Mbak Djenar dan mbak Ine, menyempurnakan kerja keras semua yang terlibat di film ini.
Jadi, lo cukup duduk santai, nikmatin filmnya, gak usah banyak mikir, karena alur film ini benar-benar mudah dicerna.
Mungkin di awal lo bakal bingung, ini kenapa sih, ini karena apa sih, tapi nanti semuanya akan jelas, dan lo akan bawa pulang cerita, pelajaran, plus makna dari film ini.
Bayangin, Nay bisa bikin gue bertahan, takjub dengan akting Mbak Ine di film ini yang cuma sendirian, selama 80 menit. Iya, dia main sendirian.
Lainnya? Ya, cuma ikut bersuara aja, tapi ada kejutan-kejutan yang gak bisa gue ceritain, karena sampai sekarang gue pun masih tergila-gila. Kalau bisa sih gue pengin banget nonton film ini lagi, bahkan kalo nanti Mbak Djenar buat Nay versi DVD, gue pengin banget beli. Hihi.
Nay adalah film kategori dewasa yang isinya gak melulu ciuman dan adegan ranjang, tapi makna filmnya yang mungkin terlalu berat kalau diserap anak usia di bawah 17 tahun.
Film ini benaran ngegambarin gimana pedulinya Mbak Djenar sama perempuan.
Sebagai seorang perempuan, Mbak Djenar luar biasa gak capek ngangkat isu-isu tentang perempuan. Gak banyak perempuan yang peduli sama kaumnya sendiri, tapi Mbak Djenar? Dia hebat!
Dia gak mentingin soal film ini bakal laku di pasar atau enggak, tapi dengan dirilisnya Nay, kelihatan, dia benaran punya niat baik.
Kita bisa belajar banyak, perihal gak perawan laginya seorang perempuan yang belum menikah. Tentang gimana sakitnya perempuan yang belum menikah, tapi udah gak perawan dan dihujat ‘bukan perempuan baik-baik’, tanpa para penghujat cari tau dulu, kenapa sih perempuan ini bisa gak perawan?
Karena gak selamanya perempuan kehilangan keperawanannya atas kemauan dirinya sendiri, banyak yang gak sadar, banyak yang gak ngerti kalau keperawanannya lagi coba direnggut, dan banyak lagi yang dipaksa. Pedih.
Di film ini juga kita bisa belajar, kalau anak butuh ruang untuk bicara, kalau anak butuh orang tua untuk mengasihi mereka. Bukan malah jadiin anak sebagai tempat melampiaskan emosi, main pukul sana dan sini.
Gue dibikin ngangguk-ngangguk selama nonton film ini, karena gue setuju.
Kalimat yang paling gue ingat dari film ini adalah, “I miss having a mother, mom, but i don’t miss you!”
Gue takjub sama Mbak Ine yang bisa ngamuk, sedih, kecewa, nangis, ketawa, dan meranin banyak perasaan lainnya dengan baik.
Dia bisa gonta-ganti raut wajah dengan begitu apik, dia bisa bikin gue nyesek pas lihat dia nangis, padahal dia gak berair mata, tapi gue bisa rasain tangisannya pecah di dalam hati, nyesek!
Gue bisa rasain gimana sakitnya ngetawain nasib sendiri, gimana pedihnya.
Ada anjing, bangsat, dan tai di film ini, tapi gue sama sekali gak risih dengarnya, sosok Nay yang ngucapin kata-kata itu emang dibentuk seperti itu.
Terus gimana bisa seorang anak perempuan ngomong sekasar itu? Cari akarnya, lihat akarnya, lo bakal ngerti kenapa seorang anak bisa terbentuk sedemikian baik pun buruk.
Di film ini juga perempuan diajarin buat gak percaya sama sembarang laki-laki, karena makin ke sini, makin banyak laki-laki yang jago jawab omongan orang, tapi makin gak bisa nanggung akibat dari apa yang dia omongin. Main ngoceh aja, berasa paling baik, padahal picik.
Gue bisa rasain gimana frustasi dan depresinya seorang Nay, gimana batinnya perang, antara bertahan dan jadi lebih baik dari ibunya, atau jadi pecundang dan lari dari masalah yang dia buat bareng pasangannya.
Terus Nay, pilih apa? Jawabannya ada di akhir film.
Hampir sepanjang film beradegan di dalam mobil, di jalanan, dengan suasana malam Jakarta yang indah, tapi menyimpan banyak kelam.
Intinya, Mbak Djenar, selamat, karena Nay udah lahir, dan saya benar-benar jatuh cinta, bukan karena ini karyamu, tapi karena ini karya yang memang layak dicinta, dan lahir dari seorang Djenar Maesa Ayu.
Yang bikin gue makin haru adalah di akhir film ini Mbak Djenar begitu romantis, dia manis banget!
Gue makin tau segimana dia sayang sama anak dan cucunya, dan gue makin ngerti kenapa Embun, sayang banget sama Eyangtinya.
Mbak Djenar, Mbak Ine, dan semua kru yang udah ikut ngebantu film Nay rampung, saya ucapin selamat, selamat, dan selamat.
Terima kasih, karena sudah menyajikan film yang benar-benar layak tonton.
Ah, sudahlah, saya terlalu dibuat jatuh cinta sama film ini.
Buat kalian juga yang mungkin baru tau ada film berjudul Nay, atau belum sempat nonton, segera berangkat ke bioskop yang memutar film Nay, sebelum filmnya turun layar, karena Indonesia, emang belum bisa ngasih cukup tempat buat film seberani Nay.
Nonton, daripada cuma bisa penasaran dan nyesel.
#SatuHariSatuTarian
#PenariJemari
#ReviewFilmNay
#FilmNay
#Nay
#FilmMonolog
#BanggaFilmIndonesia