Posted in A-Z

Usia

Entah siapa yang pertama kali menjadikan usia sebagai patokan, kemudian menular, dan sulit untuk dipatahkan.

Bahkan, patokan-patokan itu juga dilayangkan ke bayi-bayi yang jelas enggak tahu apa-apa.

Enam bulan, harus bisa ini. Satu tahun, harus bisa itu. Tiga tahun, kenapa belum bisa ini? Lima tahun, kenapa belum bisa itu?

Terus dipertanyakan. Pertanyaan-pertanyaan yang muncul berdasarkan patokan asal, mulai dari keluarga besar, hingga mereka yang bahkan sama sekali enggak kita kenal.

Dua puluh dua tahun, harus lulus kuliah. Dua puluh tiga tahun, harus memulai kesuksesan. Dua puluh enam tahun, harus menikah. Empat puluh tahun, enggak boleh lagi punya anak.

Tuntutan yang sebenarnya enggak ada gunanya, karena penuntut enggak punya hak, dan yang dituntut juga enggak perlu memikirkan tuntutan-tuntutan tersebut.

Sayangnya, masih banyak manusia yang tumbuh di tengah patokan, dan enggak sedikit yang jadi stres, sakit, bahkan depresi.

Berbagai efek yang enggak pernah dipikirkan sama para penuntut.

Kalaupun tuntutan mereka terpenuhi, itu juga enggak bikin mereka puas, karena para penuntut bakal terus mencari hal lain yang bisa mereka tuntut.

Bicara soal patokan, saya pribadi bersyukur, karena terlahir dan tumbuh di tangan orang tua yang enggak pernah menuntut saya apa-apa.

Mama sama papa, enggak pernah menuntut anaknya harus sukses di usia sekian, harus menikah di usia sekian, harus ini dan itu; demi memuaskan diri atau memenuhi impian yang sebelumnya gagal diwujudkan oleh mereka saat muda.

Mama dan papa, punya salah. Mereka pernah melukai saya, tapi saya juga punya salah, dan saya juga pernah melukai keduanya.

Mama enggak sempurna, papa pun demikian, tapi kalau ditawarkan untuk menukar mereka dengan orang tua lain yang tampak sempurna, saya tetap enggak mau.

Saya tetap memilih untuk tumbuh sebagai anak bungsu mereka. Dua manusia yang punya tempat istimewa di hati dan hidup saya.

Sebagai orang tua, mama sama papa, pasti punya harapan terhadap anak-anaknya, termasuk saya. Namun, mereka enggak menjadikan itu sebagai patokan.

Mama dan papa, pasti pernah marah ke anak-anaknya, tapi mereka juga enggak keberatan kalau kita ajak debat. Mereka juga bakal mengaku salah, kalau kenyataannya, anak-anaknya memang benar.

Kita enggak terbiasa bilang sayang, maaf, atau terima kasih. Namun, saya pribadi yakin kalau kita saling sayang, saling memaafkan, dan senantiasa berterima kasih atas satu sama lain.

Lagi-lagi saya bersyukur, karena mama dan papa, kasih kepercayaan penuh untuk saya. Saat tudingan atau fitnah mengarah kepada saya, mereka tetap percaya sama saya.

Mereka juga membebaskan saya untuk bersikap. Enggak ada paksaan, karena mereka juga enggak mau saya melakukan apa pun atas dasar keterpaksaan.

Mungkin saat ini saya sudah kehilangan teman cerita terbaik; mama, karena mama sudah enggak bisa diajak mengobrol. Papa juga sudah enggak bisa membaca tulisan-tulisan yang saya tulis untuk mereka.

Namun, itu enggak akan bikin saya berhenti menulis tentang mereka.

Terima kasih untuk segala kasih. Terima kasih untuk segala rasa. Terima kasih, karena kalian enggak pernah berhenti berjuang, ya, Ma, Pa.

Semoga di sepanjang usia yang masih kita punya, kita enggak menyerah untuk terus berjuang, sampai akhirnya nanti kita kembali berkumpul di surga terbaik. Semoga.