Posted in Hati yang Patah

Luka Menggerus Jagat Maya Lewat Kisah Layangan Putus

Sejak beberapa hari lalu, kisah Layangan Putus, terus meramaikan jagat maya. Berawal dari media sosial Facebook, hingga akhirnya merambah ke Twitter. Sederhananya, cerita yang dibagikan oleh Mommi ASF itu, membuat para pembaca turut merasakan luka.

Berbagai asumsi pun lahir. Perbedaan pendapat terus menyeruak. Kelompok A merasa benar dengan pendapatnya, begitupun dengan sekumpulan manusia B.

Kisah ini menyeret tiga nama, si empunya cerita; Mommi ASF, sang mantan suami yang ia sebut ‘Mas Arif’, dan wanita kedua yang dinikahinya tanpa sepengetahuan istri pertama.

Sampai di sini, luka sudah terasa? Tahan dulu. Cerita masih panjang. Telusuri perlahan, jangan undur diri di tengah jalan, agar tak salah paham.

Februari 2018 menjadi bulan penuh tanya bagi Mommi, karena pria yang menikahinya tahun 2011 lalu, menghilang tanpa kabar.

Bukan sehari dua hari, melainkan 12 hari. Beragam pikiran terus memenuhi kepala Mommi. Sebab, baik pesan maupun teleponnya, tak juga mendapat respons.

Hebatnya, tak ada sedikitpun prasangka buruk. Mommi percaya, pria yang juga merupakan ayah dari kelima anaknya itu, adalah sosok yang baik.

Arif, kata Mommi, mengerti benar jika menyentuh lawan jenis adalah haram.

Bahkan, pria yang dicintainya itu tahu benar, jika menundukkan pandangan dari wanita non mahrom adalah kewajiban.

Tetapi Mommi tak bisa sembunyikan resah, ia terus bertanya, ke mana pria yang saat itu masih menjadi suaminya?

Hari berlalu, akhirnya Arif kembali.

Mommi menjemput Arif di bandara. Mereka berada dalam mobil yang sama, hingga akhirnya tiba di rumah.

Keempat anaknya—si bungsu meninggal saat dilahirkan, empat bulan lalu—pun menyambut sang ayah dengan pelukan rindu.

Sayangnya, Mommi belum mendapatkan kejelasan secara utuh, tentang ke mana menghilangnya Arif selama 12 hari?

“Kamu dari mana?” ia mengulangi pertanyaan itu terus-menerus.

Merasa belum damai, Mommi memberanikan diri untuk memeriksa gawai milik Arif. Lantas, apa yang ia temui di sana?

Pematah.

Gawai yang disembunyikan di atas rak buku itu, menyimpan ratusan foto Arif, dengan wanita lain.

Tumpah.

Air mata Mommi tak lagi dapat terbendung.

Kecemasannya selama 12 hari, dibayar dengan kemesraan yang begitu menyakitkan.

Iya, ternyata selama 12 bulan itu, Arif berbulan madu dengan istri kedua yang ia nikahi tanpa sepengetahuan Mommi.

Pedihnya lagi, mereka mendatangi tempat yang selama ini Arif tahu, Mommi ingin sekali datangi.

Tagihan listrik, biaya les, dan lain sebagainya yang sulit untuk dilunasi, hanya sebagian beban.

Sebab ternyata, pria yang selama ini ia berikan rasa percaya, telah meracik luka sedemikian rupa.

“Berbagai kekhawatiran melintas di pikiran. Seperti layangan putus, rasanya badan ini pengin oleng, mengikuti ke mana angin bertiup,” tutur Mommi.

Singkat cerita, meski Mommi tak mengungkap sosok nyata yang ada di balik ceritanya, para pembaca kisah Layangan Putus, menyeret tiga nama.

Tiga nama yang mereka dapatkan, dari hasil penelusuran sendiri.

Si pria adalah pemilik kanal YouTube lumayan terkenal;
Mommi ASF sendiri; serta
Wanita yang hadir di tengah pernikahan mereka.

Benar atau tidaknya, kalian bisa cari tahu sendiri. Kalian bisa menilai sendiri. Berdirilah di atas asumsi masing-masing.

Satu hal yang jelas. Mommi yang memaksa bangun dari lamunannya, tersadar jika ia tak sendiri.

“Astaghfirullah wa atubu ilaih,” ucapnya.

Mommi sadar. Ada sosok yang tak akan pernah meninggalkannya. Tempatnya bersandar, meminta, dan memohon; Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Ada pula empat ‘malaikat’ tak bersayap, yang Allah titipkan padanya. Maka, sesakit apa pun luka, Mommi bangkit.

Kini, meski telah resmi bercerai, serta tak lagi terikat sebagai istri, Mommi masih terus menyelipkan nama Arif dalam doa; untuk kesehatan hingga kelancarannya dalam segala urusan.

“Bukan saatnya memaki. Sampai kapanpun, aku tak boleh bermusuhan. Dia adalah ayah anak-anakku,” tulisnya.

Hidup dan mati, hanya ia pasrahkan pada Allah, pemilik alam semesta.

Apa yang bisa kita petik dari pelajaran berharga milik Mommi?

Bukan untuk takut menikah; sebab tak semua pria pencipta luka.

Bukan untuk menghardik kanal YouTube milik Arif, sebab di sana, banyak pihak yang berdakwah, dan tak terlibat dalam peristiwa.

Bukan untuk menyamaratakan pria lain yang memiliki tampilan serupa dengan Arif, sebab belum tentu mereka sembunyikan hal yang sama.

Semoga cerita yang Mommi bagikan, bisa membuatnya lega, bisa menguatkan pribadinya.

Semoga dukungan yang terlahir untuknya, bisa terus menjadi pelembut hati.

Kita bukan hakim. Belajar dari kisah ini, seharusnya bisa membuat kita berjuang, untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi.

Baik di depan sesama, dan tak berubah saat hanya sedang berdua dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Aamiin allahumma aamiin.

Terakhir, Mommi, terima kasih telah berbagi. Kisahmu berarti. Ikhlas hari ini, insya Allah, bahagia ‘kan Allah kirim untuk mengganti perih.

Posted in Hati yang Patah

Ketika Tanggung Jawab Menanti di Tengah Patah Hati

Manusia mana yang ingin hatinya sengaja patah? Entah. Namun, yang jelas kalaupun ada, itu bukan aku. Enggan rasanya terluka; menangisi lara.

Tetapi mau bagaimana lagi? Rasa sudah berkuasa.

Sebentar. Para Hakim kehidupan, mohon jangan lanjutkan. Tahu rasanya di-adili saat air mata hendak membuncah? Bayangkan. Kumohon jangan ciptakan keadaan demikian.

Pagi tadi, dua mata ini kembali memandang sosok yang hampir sebulan luntang-lantung di jalan. Iya, dia salah satu kesayangan.

Pergi begitu saja, lari dari rumah, Ahad, 29 September lalu. Marah? Iya. Tapi mau marah sama siapa?

Sebab, ia lari di atas kakinya sendiri. Hingga akhirnya tak kunjung kembali. Sampai detik ini.

Lho, tadi katanya sudah kembali memandang, tapi mengapa ia tak kunjung pulang?

Ya, karena larinya justru semakin kencang, saat aku berusaha memeluk datang. Kecewa tergambar dari tatap, lengkap dengan kekhawatiran yang memuncak.

Tak tahu apa. Aku tak bisa baca pikiran. Semua sekadar penilaian. Satu yang jelas, kalau sudah sayang, aku ingin dia pulang; hingga lupa, ia hanya titipan.

Lemas, sesak, tak berdaya. Ingin rasanya mengurung diri. Namun, apakah tanggung jawab bisa mengerti? Sepatah apa pun hati, ia tetap menuntut tuk diselesaikan.

Akhirnya diri pergi. Singgah sebentar ke tempatnya terakhir lari. Hasilnya? Masih sama. Ia tak terlihat lagi.

Tunggu, sebenarnya sedang menulis apa aku ini?

Sudah. Biar kusudahi saja. Namun, sebelumnya, aku ingin sampaikan kepadamu yang membaca hingga akhir; mohon jangan kesal, karena aku pun tak paham.

Sekian.

Posted in #SatuHariSatuTarian, Hati yang Patah

Mereka Tak Pernah Meminta untuk Dicintai. Tapi, Bisakah untuk Sedikit Menghargai?

Sulit memang, mengajak manusia tuk mencintai hewan. Jika mereka belum jatuh hati dengan caranya sendiri. Manusia kerap mengatakan kalimat yang mungkin baginya sederhana, namun begitu luka untuk kami; yang mencintai mereka (hewan-hewan tak berdosa).

Alasannya beragam. Karena perilaku hewan yang tak pernah bisa ditebak. Entah saat mereka mencari makan dengan kesan mencuri. Merusak tanaman tanpa sengaja saat asik bermain. Atau yang paling sederhana namun juara, adalah saat mereka buang air tidak pada tempatnya.

Hati saya patah; bahkan hancur. Saat mendengar seorang ibu dengan mudahnya berkata “Saya paling gak suka sama kucing, pokoknya kalau ada yang datang ke rumah, sudah pasti langsung saya usir!” di depan saya, yang jelas-jelas dia tahu, saat itu saya sedang membeli makanan untuk kucing-kucing di rumah.

Atau saat seorang pedagang sayur mengacungkan pisaunya tinggi-tinggi, sesaat setelah seekor kucing mencuri ikan dagangannya. Ia berteriak dengan penuh rasa marah. Yang sama-sama kita tahu, jika marahnya tak akan pernah membuat kucing tersebut berjalan mundur dan mengembalikan ikan buruannya.

Pun, perlakuan-perlakuan lainnya, yang bagi saya sangat tidak manusiawi.

Ya, seperti yang saya katakan di awal. Sulit memang, mengajak manusia tuk mencintai hewan. Jika mereka belum jatuh hati dengan caranya sendiri.

Kami pun tidak memaksa kalian untuk ikut menyayangi hewan-hewan tak berdosa ini. Tapi, bisakah sedikit saja menghargai pola pikir kami yang menganggap mereka sudah seperti keluarga sendiri?

Entahlah. Semoga, suatu hari nanti, saya bisa punya satu tempat yang layak untuk hewan-hewan tak berdosa yang kurang beruntung. Pun memenuhi kebutuhan mereka tanpa tapi. Sehingga saya tak lagi perlu membuat kalian merasa terganggu, dengan kebersamaan kami.

Sekian dan sedang merasakan kehilangan. Kembali berbahagia di sana, ya. Jalu.

Posted in #SatuHariSatuTarian, Hati yang Patah

Tolong Hentikan

Marah, emosi, sedih, sakit, kecewa, bingung, geram, dan segala rasa yang seketika membuat wajahku basah karena begitu saja menitikan air mata.

Bagaimana aku tidak marah, saat melihat semakin marak kasus pelecehan seksual terhadap perempuan di negara ini? Dewasa pun mereka yang masih balita telah menjadi korban. Tak sanggup rasanya membayangkan bagaimana pilunya para pahlawan wanita yang rela mempertaruhkan nyawanya demi merdeka, namun kini? Semakin banyak pelaku kejahatan seksual terhadap perempuan. Tak sampai hati kubayangkan sakitnya mereka yang menjadi korban dan masih saja harus disalahkan.

Wajar saja katanya, perempuan itu memakai busana minim bahan, atau tingkahnya menggoda, dan terus saja mencari celah agar korban tetap bisa disalahkan. Lantas sampai kapan menyudutkan korban dan menganggap wajar kejahatan pelaku? Sampai para pelaku merasa dibela dan bebas mengulangi kebiadabannya di kemudian hari? Atau sampai anggota keluarga para pembenci merasakannya sendiri? Jangan sampai itu terjadi!

Bagaimana tidak emosi jika berita seperti ini hadir hampir tiap minggu, bahkan setiap hari, dengan nama-nama baru pelaku pun korban. Mengapa hal seperti ini begitu mudah menyebar dan dicontoh? Perempuan memang perlu menjaga dirinya, tapi tak bisakah lelaki pun menjaga pandangan dan nafsunya? Kenapa harus selalu perempuan yang dirugikan dalam kasus ini?

Tubuh saya selalu bergetar tiap kali mendengar, membaca, atau mengetahui berita-berita semacam ini, lemas rasanya. Satu banding satu saja sudah begitu pedih dan menyakitkan, lantas mengapa kini menjadi satu banding belasan bahkan puluhan? Rasanya tak lagi bisa kumengerti apa isi otak dari para pelaku, mengapa mereka bisa berlaku kejam dengan begitu kompak? Apa mereka tidak memiliki sosok perempuan yang mereka sayang? Ibu? Kakak? Adik? Atau apa pun itu sebutannya.

Mau sampai kapan hukum negara kita bisa dibeli dengan rupiah? Mau berapa banyak lagi keluarga yang akan pulang dengan rasa kecewa karena tidak mendapatkan keadilan? Sampai kapan pemegang senjata api bebas bermain api? Sampai kapan?

Namun aku juga bingung harus bagaimana menghentikan semua ini? Para pelaku pendatang baru seolah tidak takut dengan hukuman yang diberikan, apalagi jika pelakunya masih di bawah umur dan tidak ditahan, rasanya justru makin banyak pelaku di bawah umur yang akan bermunculan. Lantas, ini salah siapa? Atau, kenapa kita sibuk mencari ini kesalahan siapa dari pada mencari pemecahan dari masalah ini? Semakin banyak media menyebarkan berita A, sadar pun tidak, beberapa waktu kemudian semakin banyak pula hal serupa dengan berita A terjadi lagi dan lagi. Miris. Hatiku teriris.

Aku geram. Ingin rasanya mencekik leher para pelaku, namun aku bukan Tuhan yang bisa menghentikan kehidupan mereka. Sampai detik ini aku hanya bisa bermain dengan air mata tiap kali menyaksikan berita serupa. Ingin rasanya segera terbang menuju tempat di mana para korban berada, untuk sekadar memeluk dan meyakinkan jika mereka tak akan melewati semua ini seorang diri. Ingin rasanya kutatap wajah mereka yang masih saja sibuk menyudutkan korban, kemudian kubisikan tepat di telinganya; untuk berhenti menghakimi diri yang sejujurnya sedang amat sangat berduka.

Berharap Tuhan melindungi kita dari hal serupa, menjaga lisan kita untuk tidak lebih membuat hati para korban sakit, memeluk korban dengan tulus, dan genggam tangannya untuk bersama mencari keadilan. Jika tidak dimulai dari sekarang, lantas mau kapan lagi? Menunggu hingga hal seperti ini dialami orang terkasih yang kita miliki? Tak perlu bukan?

Jika belum bisa membantu, maka berhentilah menghakimi. Mereka yang benar-benar hakim saja terkadang masih bisa salah memutuskan, apalagi kita? Tapi, percayalah jika hakim yang sesungguhnya akan mempertimbangkan kehidupan kita di masa yang abadi dari apa yang selama ini kita lakukan saat diri masih bernapas. Mengerti?

Tolong jangan pernah takut dan malu untuk bicara, ceritakan apa yang kau alami, bicara dengan lugas, meski hatimu bergetar, kuatkan segalamu hingga mereka yang menyakitimu dapat mempertanggung-jawabkan perbuatannya. Percayalah, kami bersamamu, dan kami tak akan menghakimimu, sedikitpun.

Korban adalah korban, bukan pelaku. Pelaku tetaplah pelaku, mereka harus bertanggung jawab atas kekeliruan yang telah berhasil memilukan hati para korban.

#PenariJemari
#SatuHariSatuTarian
#TentangKeadilan