Posted in #PenariJemari, A-Z

Gegap Gempita

Dunianya kamu, duniamu dia
Utaranya kamu, utaramu dia
Analisis sebelum kalian patah

Piawai gempita meramu bahagia
Upaya gegap pun sama adanya
Lelah bahkan seolah tiada di antara
Ulas mengulas kurangnya apa
Hati satu dan dua saling bicara

Damai seketika berubah mencekam
Elang mengincar kelinci, kemudian menikam
Luap meluap amarah beruang
Ada yang kalah, ada yang menang
Pindah seketika pisah berpisah
Air mata gegap belum juga reda
Namun, tidak demikian dengan gempita

Posted in A-Z

Feuilleton

“Ini yang terakhir,” teriak Vera, dalam hati.

Masih sama, entah bagaimana dan dari mana, telinga Riza, berhasil mendengar.

“Kamu yakin?”

“Yakin apanya, Za?”

“Kamu bilang, ini yang terakhir?”

“Za… kamu dengar lagi?”

“Cukup jawab tanyaku, Ra.”

“Harapku, Za… tapi enggak tahu, kali ini berhasil atau gagal lagi.”

“Gimana mau berhasil kalau kamu masih di situ?”

“Kalau aku bisa pergi, aku enggak bakal masih di sini, Za.”

“Kalau kamu mau pergi, kamu enggak bakal masih di situ, Ra.”

“Za…”

“Kita enggak perlu debat, kok. Aku tahu, segalanya masih terawat.”

“Za…”

“Merawat yang sudah pindah, sampai lupa mengurus yang utama.”

“Za…”

“Ra, kali ini aku serius. Kamu ikut aku pergi, atau di sini sendiri?”

Vera memilih yang kedua. Semua berjalan biasa, sampai suatu malam, ia sadar pilihannya salah.

“Kamu yang pertama dan terakhir buat Riza, Ra… dan dia titip ini buat kamu.”

Dua tahun Riza, menyusun 235 halaman, hingga menjadi buku berjudul ‘Cita’.

Vera menyelaminya semalaman, dan berhasil menemukan pesan tersimpan.

“Ra, waktu kecil, aku punya dua cita, antara jadi psikolog, atau dokter hewan… tapi setelah aku kenal kamu? Citaku berubah seketika. Aku cuma mau kamu sembuh. Semoga ‘Cita’, bisa menemani. Meski aku tak lagi di sisi. Jangan pernah lupa, ya, Ra… aku sayang banget sama kamu.”