Posted in Ketulusan Hati, Tentang Cinta

Detik Terakhir

Detik Terakhir

Rahasia yang tak bisa ditebak; hanya bisa dipersiapkan.

Semoga tak kalah dengan lelah, amarah, dan kerabatnya.

Berharap tak menyandang status durhaka, meski jauh dari sempurna.

Tulisan ini untuk kita yang masih dapat memeluk Ibu Bapak. Mari renungkan bersama.

Sabar

Seberapa baik kita melukiskan diri sebagai sosok yang penuh dengan kesabaran di hadapan banyak orang, bahkan hingga dunia maya?

Namun, se-sabar itu kah kita yang sebenarnya?

Sabar menghadapi orang tua yang kembali seperti anak-anak.

Sabar menghadapi orang tua yang perlu bantuan karena seiring bertambahnya usia, kemampuan mereka menjadi terbatas.

Sabar menemani orang tua yang bicaranya kerap diulang, sebab lupa jika hal itu sudah pernah disampaikan.

Sabar menanggapi orang tua, seperti sedang berhadapan dengan pasangan tercinta.

Tanya pada diri sendiri. Jawab tanpa melibatkan kebohongan pribadi.

Copot topeng ‘sabar’ yang selama ini terpasang di wajah. Sampai kapan berpura-pura?

Sekarang putar ingatan. Se-sabar apa orang tua pada kita di masa lampau?

Saat bibir belum mampu berkata, orang tua berusaha mencerna makna.

Saat tangis masih begitu mudah pecah, orang tua terjaga dari tidurnya, untuk apalagi jika bukan menenangkan kita.

Saat berulang kali menanyakan hal yang sama, tapi tetap mereka jawab dengan tawa.

“Bapak Ibu saya tak se-sabar itu. Dulu, waktu kecil, saya kerap di bla-bla-bla-bla,”

Bahkan kenyataan itu pun tak cukup kuat untuk menjadi alasan kita berhak kurang ajar pada mereka.

Bukan berarti ‘kasar’-nya mereka dulu, menjadi pembenaran untuk kita bersikap serta berkata kasar di masa tuanya.

Bayangkan, jika sikap dan kata kasar serta kekurang-ajaran kita, yang menyakiti hati orang tua, menjadi kenangan pahit selamanya?

Sebab, ternyata, setelah kita memaki, merasa paling benar sendiri, atau bahkan meminta untuk tak diganggu lagi, adalah saat di mana mereka benar-benar pergi ke pangkuan Ilahi.

Sanggup?

Jujur, saya tidak. Kalau itu sampai terjadi, mungkin penyesalan ‘kan menjadi sahabat sejati; sampai mati.

Ikhlas

Seberapa baik kita melukiskan diri sebagai sosok yang dekat dengan keikhlasan di hadapan banyak orang, bahkan hingga dunia maya?

Namun, se-ikhlas itu kah kita yang sebenarnya?

Ikhlas ketika harus menjadi tulang punggung keluarga.

Ikhlas meski tabungan terus bocor terpakai memenuhi kebutuhan orang tua.

Ikhlas kehilangan waktu istirahat karena ada manusia yang perlu dirawat.

Ikhlas mengesampingkan hobi, karena lebih memilih meluangkan waktu untuk berbagi cerita bersama mereka.

Tanya pada diri sendiri. Jawab tanpa melibatkan kebohongan pribadi.

Copot topeng ‘ikhlas’ yang selama ini terpasang di wajah. Sampai kapan berpura-pura?

Sekarang putar ingatan. Se-ikhlas apa orang tua pada kita di masa lampau?

Jerih payah seutuhnya tercurah untuk anak yang bahkan saat itu mereka belum tahu akan tumbuh se-soleh/soleha apa, se-sukses apa, se-baik apa.

Kehilangan waktu dengan pasangan (suami/istri), karena bagi mereka, kita adalah yang utama di atas segala urusan dunia.

Selalu memaafkan, sesering apa pun kita mencetak kesalahan, dan hubungan kembali seperti sedia kala; saat belum ternoda bercak luka.

“Bapak Ibu saya tak seperti itu. Bahkan, dari kecil, saya sudah bla-bla-bla-bla,”

Kenyataan itu, juga tak cukup pantas untuk dijadikan alasan, untuk kita menyepelekan serta menelantarkan mereka.

Sebab, tanpa doa mereka, hidup kita mungkin tak se-berwarna sekarang.

Renungkan.

Semoga cinta kita pada mereka penuh dengan kesabaran serta keikhlasan. Aamiin allahumma aamiin.

Author:

Wanita pemilik mata, hati, dan jemari yang saling mengisi. #PenariJemari #Samarasa

One thought on “Detik Terakhir

Leave a comment