Posted in Ketulusan Hati

Aku ingin berterima kasih.

Aku ingin berterima kasih, pada mereka yang awalnya mungkin tak kusadari, jika secara tidak langsung telah membuatku menjadi seperti sekarang.

Kepada kalian teman semasa aku masih berseragam putih merah, terima kasih, karena telah membuatku merasa begitu dicinta, karena telah mengantar kepindahanku dengan peluk nan hangat dan tangis yang begitu mengharukan. Terima kasih karena tak kunjung melupakanku, dan tak pernah lelah mengajak untuk bertemu meski aku kerap tidak bisa ikut serta. Terima kasih karena tetap bisa berbagi tawa bahkan membahas hal paling tidak masuk akal; bersama.

Kepada kalian laki-laki yang kutemui semasa aku masih berseragam putih biru, terima kasih, karena telah membuatku dapat membedakan mana kasih yang tulus, dan mana yang bukan. Terima kasih karena memandangku dengan sebelah mata, kemudian memanggilku tanpa henti sejak penampilanku berubah manis. Tanpa kalian, mungkin aku akan dengan mudah salah jatuh cinta. Terima kasih, karena tanpa kalian, mungkin aku akan mudah percaya jika mendengar kata cinta yang sebenarnya hanya ketertarikan fisik semata.

Kepada kalian keluarga semasa aku berseragam putih abu, terima kasih, karena tanpa kalian, mungkin hari ini aku masih egois, mungkin aku masih menuntut untuk selalu didengar tanpa pernah mau mendengar, mungkin aku masih merasa paling benar sendiri. Terima kasih, karena dengan kalian aku pernah bertengkar hebat, pernah begitu benci, tapi tanpa pertengkaran dan rasa benci atas salah paham di masa lalu, kita tak akan bisa sampai sedekat dan melekat seperti sekarang. Terima kasih karena kalian tetap begitu mudah dirindukan.

Kepadamu, lelaki pertama yang membuatku jatuh hati, terima kasih, karenamu aku mau belajar untuk tak lagi mengulangi kesalahan, aku belajar untuk bisa menghargai dan mengasihi tubuh yang ada dekat denganku. Terima kasih, karenamu aku dapat mengerti jika apa yang aku harap tak selalu harus kudapat. Terima kasih, karenamu aku dapat mengerti arti kata saling. Sepasang adalah kita, bukan hanya selalu tentang aku, atau bukan hanya selalu tentang kamu.

Kepadamu, lelaki yang tak pernah marah denganku, lelaki yang menuntunku bersikap seperti yang kau mau tanpa sedikit pun mengubahku, tanpa pernah menuntutku jadi orang lain. Terima kasih, karenamu aku begitu merasa dicinta, begitu merasa satu-satunya, begitu merasakan kasih yang tulus. Terima kasih, karenamu aku belajar untuk tak lagi menyia-nyiakan waktu, untuk tak lagi hidup dalam ragu. Terima kasih, karenamu aku belajar mengikhlaskan, mengikhlaskanmu yang telah bahagia dengan masa sekarang, dan lagi-lagi aku ingin kau tahu jika aku bahagia atas kebahagiaanmu kini. Sungguh.

Kepadamu, lelaki yang pertama kali menduakanku, lelaki yang hampir mengubahku menjadi sosok yang benar-benar bukan aku. Terima kasih, karena kau mundur begitu cepat, dan membuatku menjadi lebih mudah sadar jika perpisahan kita adalah cara Tuhan menyelamatkanku. Terima kasih, karenamu aku mengerti rasanya dipermainkan. Dan, karenamu aku mengerti bagaimana cara tulus memaafkan setelah dikecewakan.

Kepadamu, sosok yang kulepas dan kusakiti, terima kasih, karenamu aku dapat merasakan kasih yang tulus, kasih yang begitu luar biasa, kasih yang ingin kumiliki namun tak dapat kupeluk. Terima kasih, karenamu aku ingin bersahabat dengan masa lalu sembari memperbaiki diri untuk masa depan. Terima kasih, karena telah mengizinkanku mencintaimu untuk kemudian pamit dari hatimu. Terima kasih, karena telah memaafkanku.

Kepadamu, tubuh yang paling lama aku ragukan. Terima kasih, karena telah membuatku berani mengungkapkan perasaan daripada harus tenggelam selamanya dalam rasa penasaran. Terima kasih, karena kau telah begitu lama berjuang, meski akhirnya kau pergi dan menyerah, setidaknya kita pernah saling cinta di waktu yang berbeda. Terima kasih, karenamu aku belajar mengikhlaskan lebih dalam lagi. Terima kasih, karenamu kearogananku luntur seketika waktu, karena aku sadar bahwa tak selamanya aku dapat mengatur segala yang kumau.

Untuk sosok yang begitu baik denganku, menganggapku seperti keluarga, dan memberi perhatian tulus padaku pun keluargaku. Terima kasih, karenamu aku dapat merasakan bagaimana rasanya mempunyai saudara tak sedarah. Terima kasih, karenamu aku tahu rasanya dipeluk. Kemudian kau menghilang, pergi, tanpa penjelasan. Apaku salah? Entah. Tapi, terima kasih, karenamu aku jadi jauh lebih menyayangi keluargaku. Pergilah, aku tak akan menanyakan apa penyebabnya, pergilah, aku tak akan menerka-nerka, aku hanya selalu berdoa untuk hidupmu. Berbahagialah, tanpa aku, karena kini kau menjauh, dan aku tak akan memintamu untuk kembali mendekat, tapi, kembalilah kapan pun kau mau, pelukanku akan selalu terbuka, karena membencimu, sedetik pun aku tak pernah. Menyalahkanmu, sedikit pun aku tak mau.

Untuk sosok yang (pernah) begitu dekat kemudian merenggang, menjauh, dan kini terasa hilang. Terima kasih, karena kalian aku mengerti bagaimana rasanya dilupakan, diacuhkan, disingkirkan. Terima kasih, karena kalian aku tahu caranya berdoa tanpa mengharap balas. Terima kasih, karena kalian aku berhenti bercerita dengan sembarang telinga. Bukan, bukan karena kalian tak ingin mendengar, melainkan karena aku yang tak ingin (hanya) didengar, aku juga ingin mendengar, namun kalian tak pernah bersuara, dan aku memilih berhenti bercerita, kemudian melanjutkan perjalanan, dengan atau tanpa kalian. Teruskan hidup kalian, doaku tak akan mengenal habis, bahagiaku melihat kalian bahagia; meski dari kejauhan.

Terima kasih, pada kalian yang mau meluangkan waktu begitu banyak untuk mengomentari hidupku. Tanpa kata-kata pahit dan pedas dari kalian, aku akan lemah. Terima kasih, karena kalian begitu membuatku rendah, sehingga aku menyatu dengan tanah, dekat dengan Tuhanku saat diriku mencium dasarku berpijak. Tanpa kalian rendahkan, mungkin aku sedang terombang-ambing angin bernama arogan. Mungkin aku sedang tenggelam, terbawa ombak yang kemudian menyeretku tanpa pernah mengizinkanku untuk kembali pulang menemui mereka yang kukasihi.

Aku hanya ingin berterima kasih, benar-benar tulus berterima kasih, karena kalian, hidupku penuh dengan pelajaran, tanpa kalian, mungkin aku hanyalah seorang hidup berjiwa mati. Terima kasih. Terima kasih. Terima kasih.

Posted in Cerita Pendek

Tentang apa yang gue yakini.

Gak tau kenapa tiba-tiba gue pengin banget nulis tentang apa yang mau gue bahas di postingan gue kali ini. Bukan buat ngode, bukan buat apa-apa, ini cuma tentang rasa gue yang percaya banget kalo Tuhan udah nyiapin yang terindah buat hidup gue, dalam hal apa pun. Termasuk pendamping hidup.

Bisa dibilang gue orang yang romantis, entah sengaja atau enggak, gue selalu mau ngebuat orang yang gue sayang ngerasa spesial. Gue orang yang perasaan banget, gampang nangis, gampang luka hatinya, tapi gampang juga buat tenang lagi, mikir luas lagi, mikir positif lagi, dan akhirnya bisa maafin siapa-siapa yang nyakitin gue. Gampangnya, gue mikir kalo gue pasti juga pernah nyakitin orang secara gak sengaja, dan gue tau gimana rasanya pengin dimaafin setelah ngelakuin salah, makanya gue mencoba untuk selalu bisa maafin siapa pun. Kalo pun gak langsung, gue berusaha untuk bisa maafin mereka di masa nanti.

Gue juga orang yang sayang banget sama kucing, dari kecil. Waktu kecil, gue anggep kucing gue itu teman, sekarang? Gue anggep kucing gue kayak anak gue sendiri. Gue ngebahasain mereka buat manggil gue mama, awalnya tetangga plus keluarga gue ketawa, nganggepnya gue gila kali, yaaa. Tapi, lama-lama mereka juga jadi sayang sama anak-anak gue.

Gue suka banget sama anak kecil, gue suka banget kelepasan teriak, gue suka ketawa berlebihan, gue suka nangis, gue suka ngelakuin hal yang sebenarnya gak gue suka. Bingung? Kalian gak perlu bingung. Lepasin aja bacanya. Enakin.

Balik lagi tentang pendamping hidup, dulu, awal mula pacaran, gue nyari mereka yang menurut mata gue ganteng, manis, atau minimal menarik (iya, buat gue mantan gue itu kalo gak ganteng, manis, ya menarik). Tapi, sekarang gak gitu lagi, gue lebih mentingin hati, pribadinya, dan gimana gue sama dia bisa terus saling dalam kebaikan apa pun.

Sekarang, jujur aja, hati gue kosong, belum ada satu pun yang bikin gue deg-deg-an (lagi), tapi rasanya gak sepi kayak sebelum-sebelumnya. Iya, gue emang beneran belum mau mulai, bukan karena belum kelar sama yang terakhir, tapi karena emang belum mau aja. Titik.

Ada laki-laki yang maksa buat dekat, sampai maksa buat ngajak jalan, maksa buat nemenin dia, dan gue juga kekeuh buat bilang gak bisa. Dari dulu, gue gak bakal mau jalan kalo gue gak nyaman, gak bakal pergi kalo emang gue gak mau. Kaki gue ngelangkah ya karena gue mau, bukan karena keterpaksaan. Satu dua langkah mungkin pernah karena terpaksa, tapi itu gak akan gue jadiin kebiasaan.

Ada laki-laki yang baiknya ampuuun, tapi ya balik lagi, gue belum mau mulai (lagi). Masalah entar gue nyesel atau enggak kehilangan mereka, ya gimana nanti, yang pasti gue gak bakal mulai kalo gue belum mau.

Gue juga bukan tipe orang yang hobi ngegantungin hati orang lain, kalo dari awal gue emang gak bisa, gue jelasin dengan bahasa paling sopan kalo gue gak bisa. Gue gak akan bersikap seolah manis biar gak kehilangan mereka, padahal gue tau kalo gue gak bisa lanjut sama mereka. Gue orang yang to the point banget.

Gue orang yang gak bisa main gila. Kalo udah sayang sama orang, mau masalah segede apa juga, gak bakal gue ceritain ke laki-laki lain. Gue gak mau ngasih celah buat mereka yang ngarep hubungan gue retak. Itu kenapa, gue juga berharap pendamping gue nanti gak hobi cerita ke perempuan lain, pun ke banyak temannya kalo dia lagi ada masalah sama gue. Cukup diobrolin berdua. Selesain berduan. Kan jatuh cintanya berdua. Pahitnya ya telen berdua juga. Karena makin banyak telinga yang dengar, makin banyak kepala yang ngasih opini, makin banyak suara yang ngeluarin pendapat, makin ribet, makin bikin masalah lebar, lebih lebar dari daun kelor. Jauuuh.

Tentang cintanya gue sama kucing, gue sering sedih kalo lagi cerita tentang gimana kucing gue yang sakit atau kenapa kek, ditanggepinnya ‘lebay, biasa aja kali, kucing doang, gak usah segitunya, bla bla bla … bla bla bla’ sedih banget. Tapi, abis itu gue sadar, gue juga pasti pernah nyepelein orang lain yang lagi cerita tentang kecintaannya. Gak ada yang salah kok. Karena gue yakin, pendamping hidup gue nanti adalah dia yang gak akan pernah mau nyepelin apa-apa yang gue cinta, meskipun kecintaan gue buat dia itu biasa aja, dia akan tetap ngerti gimana gue sayang banget sama apa yang gue cinta, jadi dia belajar buat nanggepin cerita gue pakai sudut pandangnya sebagai gue.

Gimana gue yang suka teriak, suka gila, suka berekspresi aneh, suka cengeng, gue yakin Tuhan siapin pendamping yang telinganya kuat dengar gue teriak, dia bakal ketawa tiap gue teriak, kalo gue udah selesai teriak, baru dia bilang ‘kamu lebih manis kalo ngomong dengan suara biasa, kalo teriak kayak tadi jadi lucu gemesin’ dia bisa milih bahasa paling manis buat gue dengar, dia mau gue gak terlalu sering teriak tanpa ngelarang gue teriak. Intinya, akan ada laki-laki yang nerima gue ya segimananya gue. Kalo ada yang aneh dari gue, dia bukan marah atau gimana, dia bakal punya caranya sendiri buat bikin gue meleleh, sadar diri dan benahin diri pelan-pelan.

Ya, tulisan gue kali ini cuma mau ngasih tau, kalo gue emang perasa, gampang sakit hati kalo ada yang salah ngomong, tapi kalo udah tenang, ya biasa lagi, gak masalah kalo banyak yang nyepelein hidup gue, gak masalah kalo banyak yang mandang sebelah mata, atau apa pun yang nganggep hal penting buat gue itu gak penting buat mereka. Toh, nantinya gue akan hidup di sekeliling mereka yang menghargai apa yang menurut gue penting, dan senantiasa gue peluk apa-apa kepentingan mereka.

Asli, ini tulisan paling apa adanya, paling gak gue pikirin gimana keluarnya, paling iseng sembari nunggu ngantuk.

Gue rasa cukup, apa yang gue tunggu udah dateng, gue pamit pejamin mata dulu. Gnight!

Posted in Ketulusan Hati

Teruntuk Mas

Hey, Mas! Laki-laki yang kadang bawelnya nyebelin banget. Juteknya bikin gue pengin ngeluarin taring.

Ketawanya berisik. Celetukannya asal, tapi justru bikin hati nyeees. Paling susah diajak ngobrol, karena terlalu intim sama gadget.

Tanggal 21 Juli di hidup lo, udah terulang untuk yang ke-27 kali, lho. Makin berumur, alias tua.

Banyak banget yang bikin gue bersyukur atas lo. Mungkin bagi banyak orang, punya kakak yang sukses materi dan bisa punya segala-gala itu nyenengin.

Tapi buat gue, punya mas yang insya Allah, selalu belajar buat terus jadi lebih baik adalah kebahagiaan yang luar biasa.

Lo gak perlu tau seberapa sering gue nyebut nama lo dalam doa, dan lo gak perlu tau apa aja isinya.

Lo juga gak perlu tau, seberapa sayang gue sama lo. Lo cuma perlu tau satu hal, gue gak pernah lelah buat bersyukur, karena udah terlahir sebagai perempuan bungsu dari dua kakak laki-laki.

Lo kakak tertua yang gak pernah marah kalo gue ajak ngomong gimanapun.

Kakak yang gak pernah nuntut gue buat sopan. Kakak yang jauh lebih rajin, dibanding gue.

Mas, gak usah takut kalo ditanya kapan nikah. Gak usah takut kalo ditanya mana calon istrinya.

Gak usah takut sama omongan orang yang kadang lepas kontrol. Anggap aja mereka kesulitan pilih bahasa yang baik.

Lo cukup jalanin hidup lo, segimana bahagianya lo.

Asal selalu di jalan Allah, gue bakal jadi pendukung paling keras kepala buat selalu ngebela lo, dari penilaian picisan manusia yang termakan zaman.

Entah kenapa, gue yakin banget, kalo lo sama abang bakal jadi suami yang baik, yang bisa nuntun keluarga kalian ke surga. Aamiin.

Bisa jadi orang tua yang bimbing anak-anak kalian di jalan Allah.

Bisa jadi anak yang genggam tangan mama papa ke surga nanti.

Bisa jadi kakak yang gak pernah capek buat ngingetin gue biar makin salihah. Aamiin.

Mas, gue ikhlas kehilangan apa juga di hidup gue. Teman atau apa pun yang milih buat pergi, ngilang dari hidup gue.

Asal gue masih bisa bilang ke mereka, kalo lo adalah orang baik yang ke depannya akan terus jadi lebih baik.

Gue gak pernah ragu buat terus ada buat lo, dan ikhlasin mereka yang ngerasa gak sejalan sama kita. Insya Allah. Aamiin.

Mas, gue sayang sama lo yang sayang banget sama mama papa, yang sayang sama gue plus bang dio, yang gak pernah beda-bedain orang, gak pernah beda-bedain tamu.

Kalo ada satu yang bisa gue harap, ya, cuma gimana lo bisa ngurangin kebiasaan lo terlalu fokus ke gadget.

Waktu gak ada yang tau, bisa jadi selang menit bahkan detik, orang yang lo cuekin karena gadget, udah gak bisa lagi lo ajak ngobrol.

Udah gak bisa lagi lo dengar embusan napasnya. Udah gak bisa lagi manggil-manggil lo.

Gadget itu benda mati.

Dia gak boleh sukses bikin lo nyuekin mahluk hidup, sampai akhirnya mati, cuma karena lo terlalu asik bercengkrama dengan benda mati.

Udah ah. Happy birthday, Mas! Gue sayang sama lo.