Posted in Cerita Pendek

Kalut Hampir Mencekik

Pagi tadi ponsel ibuku bergetar dan membuahkan satu panggilan tak terjawab, karena tak sempat terangkat.

Kemudian getaran kembali menimbulkan suara, karena letaknya di atas meja, kali ini ia menjawab telepon dari nomor yang tak dikenal.

Entah bagaimana percakapan awal ibu dan si penelepon misterius itu, aku yang sedang di kamar, kurang mendengar jelas pembicaraan awal mereka.

Kemudian suara ibuku bergetar, aku mendengar hela napas yang panjang dan berat dari sana; dari suara ibu.

“Astaghfirullah, Revan,” Ibu lemas, panik luar biasa.

Aku bergegas keluar kamar dan menemukan sepasang mata berkaca-kaca, dengan segala ketakutan dan rasa khawatir yang luar biasa.

Melihat ibu yang semakin tak bisa menguasai diri, aku segera mengambil ponsel dari genggamannya, dan bicara pada orang di seberang sana; yang sempat ibu katakan bahwa telepon itu dari kepolisian.

“Selamat siang, Pak, bisa di bantu?” Aku mencoba tenang meskipun napasku tak beraturan.

“Siang, betul saudara Revan ini keluarga, Ibu? Saya bicara dengan siapa ini?” Seorang laki-laki dengan suara berat menjawab di ujung telepon.

“Saya dengan ibunya, Revan, Pak, saya Rida, ada yang bisa dibantu, Pak?” Aku mengaku sebagai ibu, karena ibu tak lagi sanggup bicara, pikirannya kacau; terlihat dari matanya.

“Iya, Bu, saya dari kepolisian, anak ibu yang bernama Revan, sudah dalam penanganan kami, ia tertangkap karena kasus narkoba, dengan bukti ganja yang disimpan dalam bungkus mi instan, ia mengaku dijebak oleh rekannya, dan sekarang sedang kami periksa kebenarannya, kalau boleh saya tahu keseharian anak ibu seperti apa?”

“Anak saya kerja pagi pulang malam, hanya itu kegiatannya, Pak.”

“Tolong jawab jujur, Bu, apa selama ini ibu pernah mendengar bahwa anak ibu menggunakan narkoba?”

“Saya jawab jujur tanpa mengada-ada, tidak pernah mencium gelagat anak saya menggunakan narkoba, Pak.” Aku menjawab dengan lantang dan tegas, menekankan bahwa kakakku, Revan, memang jauh dari hal seperti itu.

Cukup lama aku berbincang pada pria pertama sampai akhirnya ia membuatku mulai luar biasa kebingungan.

“Ibu mau anak ibu kami proses atau damai? Karena satu dari empat tersangka berhasil melarikan diri, dua rekan dari anak ibu sudah di beri jaminan dari keluarganya, dan ini tinggal anak ibu, bagaimana?”

“Saya belum pernah berurusan dengan kepolisian, bisa dijelaskan maksud dari proses dan damai?” Aku mulai ragu, berpikir bahwa aku sedang berusaha ditipu.

Namun, hati kecilku tetap khawatir jika, Revan, benar-benar dijebak, khawatir ia benar-benar sedang dalam masalah.

Lagi-lagi aku berusaha tenang, meski badanku semakin gemetar, napasku semakin tak karuan.

“Kalau mau di proses anak ibu bisa terkena hukuman 5 tahun penjara, tapi kalau ibu mau damai, kita bisa bantu, dua rekannya sudah dibawa pulang oleh keluarganya dengan kesepakatan jaminan sebesar 25 juta rupiah, dan mereka memberikan 10 juta di awal, agar anaknya dapat pulang, bagaimana, Bu?”

Aku terdiam mendengar nominal yang jangankan memiliki, sekadar memegang milik orang lain pun aku tak pernah.

Ibuku tertegun, tubuhnya tersandar pada dinding kamar, ia semakin lemas, dan aku mulai geram.

“Bu, bagaimana? Ibu bicara dengan atasan saya saja, ya.”

“Baik, Pak.”

Kemudian pria kedua sudah memperdengarkan suara berat dengan hentakan-hentakan di telingaku, dan lagi-lagi aku berusaha tenang.

“Anak ibu sudah kami tangkap, sebelumnya saya pastikan benar saya bicara dengan ibu dari, Revan? Ibu sedang di mana? Dengan siapa saja?”

“Betul, Pak, saya ibunya, saya hanya berdua di rumah dengan adiknya, Revan, tidak ada orang lain.”

“Bagus, sekarang ibu terbuka pada saya, berapa ibu sanggup memberikan jaminan agar anak ibu bisa kita serahkan kembali pulang ke rumah?”

“Jujur saja kalau nominal sebesar itu saya tidak ada, Pak.”

“Ibu jangan bertele-tele, terbuka saja sanggupnya berapa, saya bukan mau memeras ibu, saya hanya membantu, ibu pikir kasus narkoba bisa di bantu seperti ini? Anak jenderal sekalipun tidak bisa di bebaskan begitu saja.”

“Saya sanggup Rp5 juta, Pak.”

“Baik, Rp5 juta, bisa ibu transfer sekarang?”

“Saya perlu waktu 30 menit untuk sampai di ATM terdekat, Pak.”

“Ibu jangan bohong, jangan menipu saya, kita tidak punya banyak waktu, bisa ibu jalan sekarang, teleponnya jangan dimatikan, saya bisa dengar jika ibu ceritakan ini pada pihak ketiga, saya tunggu 10 menit untuk ibu sampai di ATM, dan nanti saya beritahu ke mana ibu harus mentransfer uang jaminan untuk anak ibu ini.”

“Baik, Pak, baik, saya berangkat sekarang.”

Aku menghampiri ibu yang sedang kalut, aku berusaha mencari jalan keluar, aku duduk di samping ibu yang kian lemas.

Telepon sudah kumatikan, bahkan ponsel ibu pun aku non-aktifkan, aku tidak menuruti perintah pria yang mengaku bernama Sucipto itu, untuk membiarkan telepon dalam keadaan tersambung.

“Bu, aku kok ragu ya? Aku gak percaya mas ditangkap, aku gak percaya ini benar, Bu.”

“Kakak kamu dijebak, sudah, ibu telepon tantemu dulu untuk pinjam uang jaminan.”

Aku segera merebut ponsel dari tangan ibu, dan menghentikannya mengambil keputusan kala ia dalam keadaan luar biasa kalut.

“Aku telepon kantor Mas dulu ya, Bu, mastiin ini benar apa enggak, aku gak percaya Mas ditangkap.”

“Jangan kelamaan, nanti kakakmu habis dipukuli.” Ibu takut, sangat takut jika buah hatinya benar-benar dalam bahaya.

Aku segera menelepon supervisor di kantor kakakku yang kebetulan sempat kukenal baik. Namun, tidak terjawab. Kemudian segera kukirimkan pesan singkat pada supervisornya yang bernama Tuti itu.

“Mbak Tuti, ini aku adiknya Revan, boleh minta tolong?”

“Boleh.”

Tak kubalas pesan singkatnya, segera kutelepon kembali mbak Tuti, dan kali ini terjawab.

“Assalamu’alaikum, mbak, ini aku Kesya, adiknya Revan, aku ada perlu mau telepon ke kantor mas Revan, tapi ‘kan mbak Tuti sudah gak tugas di sana, maksudnya aku mau minta tolong mbak Tuti informasiin nomor telepon yang bisa aku hubungi, mbak, bisa?”

“Wa’alaikumussalam, iya Kesya, aku sudah gak tugas di sana, oh gitu? Ya sudah, nanti aku kirim ke kamu nomor supervisor yang sekarang, ya.”

“Iya, mbak, saya tunggu ya, mbak, makasih banyak.”

Tak lama kemudian pesan singkat dari mbak Tuti sampai, dan aku segera menelepon supervisor kakakku yang bernama Tari.

“Assalamualaikum, dengan mbak, Tari?”

“Wa’alaikumsalam, iya betul, dari mana?”

“Saya Kesya, mbak, adiknya Revan, mau mastiin aja, apa hari ini Revan masuk kantor?”

“Revan Rinaldi? Iya, ada kok, tapi kalau mau bicara sama dia, telepon lagi saja kira-kira lima menit, soalnya dia juga lagi online sama nasabah sekarang, apa ada pesan?”

‘Alhamdulillah’, ucapku dalam hati, bersyukur bahwa ternyata berita tadi tidak benar, tapi ibuku belum juga tenang.

“Iya, mbak, Revan Rinaldi, gini mbak, tadi ada telepon dari oknum tidak bertanggung jawab, telepon ke ibu saya, bilang kalau mas Revan ditangkap polisi, saya sama ibu panik, jadi telepon ke mbak buat mastiin kalau mas Revan, gak kenapa-napa dan baik-baik aja di kantor.”

“Astaghfirullah, beneran? Enggak kok, gak benar, Revan ada di kantor, gak kenapa-napa.”

“Syukur kalo gitu, saya sama ibu jadi lumayan tenang, itu dulu deh, mbak, makasih ya infonya, maaf ganggu waktu kerjanya, mbak.”

Aku menutup telepon setelah mbak Tari selesai bicara dan membalas salam yang aku ucapkan.

Tenang, lega, tetapi masih sedikit gemetar, sementara ibu masih sibuk menerka siapa yang meneleponnya tadi, dan mengapa orang itu tahu bahwa kakakku bernama Revan.

Aku berusaha menenangkan ibu, dan ibu berhasil tenang setelah mendengar langsung suara anaknya yang memang baik-baik saja.

Aku kembali ke kamar, rebah, dan berpikir, siapa mereka yang berhasil membuat ibuku kalut, hingga napasnya tak beraturan, air matanya hampir menetes, dan jantungnya berdegup lebih dari sekadar kencang.

Aku marah, geram, kalau saja penipuan itu berhasil membuat ibu tercekik, aku tak akan tinggal diam.

Tapi di balik itu, aku bersyukur, kakakku baik-baik saja, ibuku sudah mulai pulih kembali, meski masih menerka-nerka mereka yang tega berbuat itu.

Aku hanya bersyukur, Tuhan menenangkanku dalam kalut yang mencekik ibu, hingga kami bisa melewati satu jam yang begitu tak terduga pagi tadi. Semoga.

Posted in #PenariJemari, Puisi

Diamku Ramai

Aku ingin bercerita, sedikit, tentang rasa yang tak pernah bisa dimengerti, kecuali kelak kita rasakan sendiri.

Bagaimana menangis dan tak tahu apa penyebabnya. Merindu dan tak mampu bicara; bukan karena takut tak terbalas, melainkan takut mementahkan harapan yang sedang dimasak matang-matang.

Bagaimana ingin memeluk ia yang tak mungkin lagi tergapai.

Bagaimana ingin kembali pada tempat yang sudah dengan sengaja kita batasi tembok besar.

Entah apa maksud tulisanku malam ini. Hatiku kacau dibunuh semu. Batinku bertengkar. Aku rebah dan berdarah.

Posted in #PenariJemari, Cerita Pendek

Tentang Sepasang Manusia

Entah mulai dari mana, yang jelas aku ingin bercerita. Tentang sepasang manusia yang kucinta. Semakin hari, semakin tak ingin pisah dengan mereka.

Seorang wanita yang nyaman kupanggil mama, pun seorang pria yang senang kupanggil papa.

Hal yang paling tak kusuka dari diriku sendiri adalah ketika secara sengaja atau tidak, kubuat mata mereka basah; merambat pada wajah yang tak lagi muda, lengkap dengan perasaan lebam.

Mungkin lewat kata-kata, atau perbuatan yang mengecewakan. Jika hal itu terjadi, jauh di dalam sana, pada bagian hati paling tak terjamah, aku menangis sejadi-jadinya.

Begitu bahagia kala mereka tersenyum, bahkan sampai tertawa; saat aku melemparkan sebuah lelucon sederhana.

Namun, menghangatkan suasana, memecah keheningan yang kerap datang tiba-tiba di tengah pertemuan.

Kemudian hatiku berbincang dengan Tuhan, agar kebahagiaan ini tak tergerus waktu.

Wanita kecintaanku memang tak sempurna, pun pria yang kucinta dengan begitu luar biasa.

Namun, mereka sempurna ketika bersama, dan itu sebabnya aku tak ingin janji suci yang mereka resmikan 27 tahun lalu, patah di tengah perjalanan.

Salah satu alasanku untuk terus berusaha menjaga segala apa yang kupunya adalah agar mereka tahu, betapa aku menjaga semua karena aku butuh dan sayang mereka. Mereka, bukan salah satu, tapi keduanya.

Kini kepala lima sudah usia mereka, itu artinya setengah abad sudah di dunia; tak lagi muda, tapi syukur, Tuhan beri sehat pada tubuh-tubuh kecintaanku itu.

Bagaimana dengan aku? Apa berhasil sudah membuat mereka bangga? Entahlah, yang jelas, selama ini aku tak pernah berniat memangku tangan dan duduk-duduk saja.

Ada pembicaraan yang kurahasiakan, hanya antara aku dan Tuhan, tentang sebuah perjalanan menuju apa yang kucita-citakan.

Perjalanan yang berkali-kali sudah membuatku terjatuh, dilengkapi beribu caci dan makian, serta segala bentuk yang coba mematahkan.

Tapi lagi-lagi kupercaya, Tuhan selalu ada, memelukku dari segala arah, menjagaku setiap waktu-Nya.

Secara jelas kumeminta pada-Nya, untuk izinkan sepasang manusia kecintaanku tetap ada, hingga aku sampai.

Agar kelak mereka yang memelukku erat, menjadi pemilik dada yang kubasahi tangis haru.

Agar kening dan wajah mereka dapat kukecup penuh kasih; kubahagiakan.

Aku tak lagi bicara semoga, ini tentang sebuah doa dan usaha, yang terus mencari jalan untuk menemukan restu Tuhan.

Sebuah kalimat penutup,

“Tuhan, terima kasih telah menulis skenario untuk kehidupanku, terima kasih telah menyutradarianya dengan luar biasa sabar, penuh kasih. Terima kasih karena Kau, telah berikan sepasang pemeran utama yang begitu mudah kucinta, dan tak mungkin kubenci keberadaannya.”

Tulisan yang terurai begitu saja, dari seorang anak perempuan yang tetap ingin jadi gadis kecil mama dan papa.

Posted in Puisi

Mengenai Kenangan

Satu dua kali aku merajut dan tertusuk jarum, hingga tertanam benang yang kian lama kian menyayat permukaan kedalaman, tepat pada saat telunjuk yang secara tidak sadar sedang menunjuk perlahan pada kenangan.

Harapan yang kubangun dan terpaksa kuterbangkan kemudian, sesaat sebelum semuanya bisa menjadi kenyataan.

Kosong. Tak ada lagi jemari yang kerap mengisi kekosongan sela-sela jemariku. Hampa.

Tak ada lagi hari-hari yang sedemikian rutin kugunakan untuk berbagi segala tanpa takut dicela.

Segala berat yang dulu seakan tak mampu kuangkat, nyatanya kini sudah baik-baik saja.

Butuh waktu memang. Butuh waktu untuk menyaksikan matahari terbit setelah musim hujan lama menetap.

Membaca dan mengulang rasa. Kadang aku melakukannya. Entah dengan membuka surat-surat dari masa lalu, atau sekadar membaca ulang percakapan ringan nan mengundang tawa di masa itu.

Semua kulakukan karena aku ingin tahu, sudahkah diriku berdamai dengan masa lalu.

Kenyataannya aku bisa memeluk masa laluku dalam damai. Ketika tak ada lagi air mata saat diri sedang berdampingan dengan kenangan.

Aku sudah tertawa, bahagia, bahkan tak jarang aku dan mereka saling melempar doa terbaik; bagi satu dan lainnya.

Kini masih ada satu nama yang selalu ingin kuingat, selalu memenuhi waktu luangku untuk merindu, selalu dapat mengisi pikiranku, sekalipun sudah terisi penuh.

Ia selalu punya tempat yang tiba-tiba lapang untuk sebuah rasa.

Aku hanya berharap kali ini pun dapat bangkit sempurna, tertawa bersama ia saat bercerita tentang kita.

Kita yang dulu bahagia bersama, selanjutnya, semoga kita bahagia saat saling mendoa.