Posted in Ketulusan Hati, Tentang Cinta

Detik Terakhir

Detik Terakhir

Rahasia yang tak bisa ditebak; hanya bisa dipersiapkan.

Semoga tak kalah dengan lelah, amarah, dan kerabatnya.

Berharap tak menyandang status durhaka, meski jauh dari sempurna.

Tulisan ini untuk kita yang masih dapat memeluk Ibu Bapak. Mari renungkan bersama.

Sabar

Seberapa baik kita melukiskan diri sebagai sosok yang penuh dengan kesabaran di hadapan banyak orang, bahkan hingga dunia maya?

Namun, se-sabar itu kah kita yang sebenarnya?

Sabar menghadapi orang tua yang kembali seperti anak-anak.

Sabar menghadapi orang tua yang perlu bantuan karena seiring bertambahnya usia, kemampuan mereka menjadi terbatas.

Sabar menemani orang tua yang bicaranya kerap diulang, sebab lupa jika hal itu sudah pernah disampaikan.

Sabar menanggapi orang tua, seperti sedang berhadapan dengan pasangan tercinta.

Tanya pada diri sendiri. Jawab tanpa melibatkan kebohongan pribadi.

Copot topeng ‘sabar’ yang selama ini terpasang di wajah. Sampai kapan berpura-pura?

Sekarang putar ingatan. Se-sabar apa orang tua pada kita di masa lampau?

Saat bibir belum mampu berkata, orang tua berusaha mencerna makna.

Saat tangis masih begitu mudah pecah, orang tua terjaga dari tidurnya, untuk apalagi jika bukan menenangkan kita.

Saat berulang kali menanyakan hal yang sama, tapi tetap mereka jawab dengan tawa.

“Bapak Ibu saya tak se-sabar itu. Dulu, waktu kecil, saya kerap di bla-bla-bla-bla,”

Bahkan kenyataan itu pun tak cukup kuat untuk menjadi alasan kita berhak kurang ajar pada mereka.

Bukan berarti ‘kasar’-nya mereka dulu, menjadi pembenaran untuk kita bersikap serta berkata kasar di masa tuanya.

Bayangkan, jika sikap dan kata kasar serta kekurang-ajaran kita, yang menyakiti hati orang tua, menjadi kenangan pahit selamanya?

Sebab, ternyata, setelah kita memaki, merasa paling benar sendiri, atau bahkan meminta untuk tak diganggu lagi, adalah saat di mana mereka benar-benar pergi ke pangkuan Ilahi.

Sanggup?

Jujur, saya tidak. Kalau itu sampai terjadi, mungkin penyesalan ‘kan menjadi sahabat sejati; sampai mati.

Ikhlas

Seberapa baik kita melukiskan diri sebagai sosok yang dekat dengan keikhlasan di hadapan banyak orang, bahkan hingga dunia maya?

Namun, se-ikhlas itu kah kita yang sebenarnya?

Ikhlas ketika harus menjadi tulang punggung keluarga.

Ikhlas meski tabungan terus bocor terpakai memenuhi kebutuhan orang tua.

Ikhlas kehilangan waktu istirahat karena ada manusia yang perlu dirawat.

Ikhlas mengesampingkan hobi, karena lebih memilih meluangkan waktu untuk berbagi cerita bersama mereka.

Tanya pada diri sendiri. Jawab tanpa melibatkan kebohongan pribadi.

Copot topeng ‘ikhlas’ yang selama ini terpasang di wajah. Sampai kapan berpura-pura?

Sekarang putar ingatan. Se-ikhlas apa orang tua pada kita di masa lampau?

Jerih payah seutuhnya tercurah untuk anak yang bahkan saat itu mereka belum tahu akan tumbuh se-soleh/soleha apa, se-sukses apa, se-baik apa.

Kehilangan waktu dengan pasangan (suami/istri), karena bagi mereka, kita adalah yang utama di atas segala urusan dunia.

Selalu memaafkan, sesering apa pun kita mencetak kesalahan, dan hubungan kembali seperti sedia kala; saat belum ternoda bercak luka.

“Bapak Ibu saya tak seperti itu. Bahkan, dari kecil, saya sudah bla-bla-bla-bla,”

Kenyataan itu, juga tak cukup pantas untuk dijadikan alasan, untuk kita menyepelekan serta menelantarkan mereka.

Sebab, tanpa doa mereka, hidup kita mungkin tak se-berwarna sekarang.

Renungkan.

Semoga cinta kita pada mereka penuh dengan kesabaran serta keikhlasan. Aamiin allahumma aamiin.

Posted in #SatuHariSatuTarian, Ketulusan Hati, Tentang Cinta

​Nek, Puput kangen.

Lucu ya, Nek. Seorang cucu kayak Puput bilang kangen sama Nenek. Huuu. Tapi, emang beneran kangen. Tiba-tiba aja Puput sendu pas kebayang Nenek lagi ketawa. Ngetawain lawakan yang ada di rumah ini.

Nenek apa kabar di sana? Maaf kalo gak tiap waktu kita mikirin Nenek. Maaf kalo doa yang dikirim masih terlalu sedikit. Maaf kalo cucu Nenek yang satu ini terlalu sibuk sama dunia, sampe lupa kalo ada Nenek yang senantiasa rindu doa-doa dari kita.

Nek, ada banyak kabar bahagia, lho. Ya, walaupun ada juga beberapa kabar kurang nyenengin. Puput yakin kalo nenek ada di sini, Nenek pasti happy banget deh pas tau kabar bahagianya. Tapi, Nenek juga pasti nangis kalo tau kabar kurang nyenenginnya tuh apa. Walaupun Puput sadar kalo sekarang pun Nenek pasti tau jelas; di sana.

Nek, Puput pelan-pelan udah mulai kerja pake hati, lho. Puput dapet kerjaan yang Puput suka. Tempatnya juga gak jauh. Puput pulangnya gak terlalu malem. Capeknya juga dibawa ketawa karena Puput kerja dibidang yang Puput suka. Mulainya dari bawah banget sih, Nek. Dari bawah bangeeet. Tapi, pelan-pelan naik kok, Nenek tenang aja. Kita sama-sama tau kalo ‘indah pada waktunya’ itu bukan kalimat klise dan ‘hasil yang gak pernah khianati proses’ juga kalimat nyata.

Masih jauh banget sih Nek buat bisa meluk cita-cita Puput, kadang Puput juga pingin udahan karena lelah. Tapi, Nenek tau kan? Puput gak bakal nyerah.

Nek, Puput kangen deh kalo kita lagi ngobrol berdua. Nenek nyeritain perasaan Nenek buat tiap-tiap anak Nenek. Terus Nenek nanya-nanya tentang Puput a, b, c, d. Terus kita ketawa berdua. Gak jarang juga sih kita diskusi. Ternyata, kalo Nenek udah gak di sini kayak sekarang, baru berasa ya, ocehan Nenek yang ‘itu-itu’ aja tuh ngangenin.

Puput kangen bunyi langkah kaki Nenek yang nyeret sendal. Langkah demi langkah. Sambil angkat daster Nenek yang kepanjangan.

Puput kangen linglungnya Nenek yang lupa bawa anduk kalo mau mandi, terus gak enak hati cuma buat bilang ‘Put, tolong ambilin anduk Nenek dong’ sampe akhirnya anduk ada di tangan Nenek, Nenek langsung nyengir. Lucu.

Puput kangen Nenek yang ngajarin Puput buat banyak minum air putih. Buat makan tepat waktu. Buat ngelakuin hal yang emang harus dilakuin.

Puput kangen Nenek yang suka ngeliat teh Sarseh, ketawa ngeliat kang Sule, terus ngikik kalo nonton sitkom. Akhirnya Puput sadar kalo Nenek itu ngegemesin.

Nek, bentar lagi bulan puasa, lho. Inget gak? Nenek suka bilang ‘Nenek kuat gak ya Put puasa nanti?’ Dan jawabannya bukan gak kuat, Nek. Tapi emang masanya udah abis. Tahun lalu ramadhan terakhir buat Nenek. Dan Puput bangga Nenek puasanya full. Keren.

Mudah-mudahan dengan dipanggilnya Nenek sama Allah, bisa bikin Puput, anak-anak Nenek, cucu-cicit Nenek, semua keluarga Nenek lebih rajin lagi ibadahnya ya, Nek. Karena kita sadar banget, seenggaknya, ada alasan yaitu Nenek yang selalu nunggu kiriman doa dari kita; dari sini.

Nek, makasih ya, udah mau jadi salah satu penyebab kangen yang Puput rasain. Maaf karena Puput gak sempet bilang sayang langsung di kuping Nenek. Maaf buat semua perasaan gak enak hati yang pernah Puput buat ke Nenek.

Duh, jadi netes kan air matanya. Hehehehe. Baik-baik di sana ya, Nek. Terpenting, Nenek udah gak sakit lagi.

Satu kalimat terakhir; love you so, Nek. Al-Fatihah. ♡

#PenariJemari #KangenNenek

Posted in #SatuHariSatuTarian, Ketulusan Hati, Tentang Cinta, Untukku

Tak Semudah Bicara, tapi Aku Tak Ingin Menyerah

Pertama, gue cuma mau kasih tahu, jangan baca tulisan ini kalau kalian sensitif. Jangan baper. Sudah, gitu, saja.

Oke?

Kalau ada yang bilang, memilih buat gak pacaran lagi itu sama sekali gak gampang?

Awalnya iya. Banget, malah. Gue yang dulunya gak bisa ke mana-mana sendirian, gue yang dulunya gak percaya diri buat ada di keramaian sendirian, selalu merasa ‘butuh’ seseorang buat support gue secara nyata, secara fisik.

Dulu gak pernah kepikiran buat ambil jalan yang sekarang gue pilih, sama sekali gak kepikiran.

Bahkan, gue pernah punya keinginan buat asyik dan menikmati hidup dengan cara jalan-jalan sejauh yang gue mau, dengan baju yang super minim, berjemur di pantai, biar makin ke barat-baratan.

Syukurnya, gak tahu dengan cara apa, Allah nge-block niat hamsyong gue yang satu itu.

Mulai dari beberapa hubungan yang coba gue bangun selalu berakhir dengan jalan buntu. Belum lagi beberapa orang yang gue pilih sebagai pasangan gue, memilih buat ‘mainin’ hati gue dengan cara mereka masing-masing. Sampai akhirnya, gue sama pasangan terakhir gue menyerah buat memperjuangkan hal yang sebenarnya memang lebih baik untuk gak pernah dimulai.

Kalau ditanya, apa gue menyesal? Iya. Gue menyesal, kecuali satu hal, gue gak menyesal kenal mereka, karena sebenarnya mereka manusia baik.

Mungkin terkesan kejam, tapi sebenarnya mereka baik. Cuma, Allah memang gak menulis nama mereka buat jadi jodoh gue, jadi jalan ceritanya dibikin tragis.

Berat? Awalnya, iya. Banget, malah.

Menangis? Iya, gue mengaku, gue menangis.

Lebay? Pada masanya gue merasa itu wajar, tapi pas sudah seutuhnya bangkit, gue akui, gue lebay. Haha.

Semua berawal dari keinginan gue buat berhijab, sudah pernah gue bahas sebelumnya, kenapa akhirnya gue memutuskan buat berhijab; kewajiban muslikah yang gue jalani lumayan telaaaaat.

Namun, mendingan telat si daripada enggak sama sekali.

Terus, apa gue langsung jadi cewek sempurna setelah berhijab? Enggak dengan sekejap mata!

Bahkan, sampai sekarang dan sampai kapan pun, gue tahu, gue gak akan sempurna.

Oke, balik lagi ke topik utama. Kenapa gak mau pacaran lagi? Sederhana, sih, karena dalam Islam, memang gak ada yang namanya pacaran.

Terus, kenapa sebelumnya pacar-pacaran? Ya, karena hatinya belum terketuk secara langsung. Haha, alasan. Mencetak dosa mah mencetak dosa saja!

Iya, gue akui. Gue memang tempatnya dosa, kok, tapi gak ada salahnya ‘kan mencoba renang buat naik ke permukaan? Biar gak selamanya tenggelam dalam dosa.

*Geli sendiri gue nulisnya asli, ngebayangin seorang gue bisa ngomong kayak gini, tua!* Haha.

Gampang gak, sih, buat memilih gak pacar-pacaran lagi? Sama sekali gak gampang. Asli! Soalnya kalau lagi kumpul keluarga, selalu ditanya, “Pacarnya mana?”, dan kalau lagi kumpul sama anak-anak, mereka selalu gandeng pasangannya masing-masing.

Beberapa laki-laki juga coba buat mulai menggocek hati gue, dan jujur, gue hampir kena gocek. Syukurnya, gue bisa bertahan, dan gak jadi jatuh.

Gue sengaja makin sering berbagi tulisan kayak gini, biar makin banyak yang tahu, jadi lebih gampang buat bertahan.

Dengan gue mengumbar pilihan hidup gue, jadi gue juga merasa lebih mudah buat bertahan. Salah satu alasannya, ya, karena sudah banyak yang tahu tentang pilihan gue yang satu ini. Gitu.

Enggak gampang buat terus sendiri, sampai akhirnya nanti gue bertemu sama jodoh gue.

Banyak asumsi orang yang mulai menghakimi. Mulai dari gue yang berlagak alim, gue dituding masih terjebak nostalgia, sampai yang paling gila? Katanya gue sudah menutup pintu buat laki-laki!

Sakit hati gak? Awalnya, sih, iya. Secara gue bukan tersangka, gue gak merugikan hidup mereka, tapi gue dihakimi.

Namun, ternyata, membalas tudingan nyinyir kuadrat kayak gitu, paling ampuh memang pakai ‘senyuman’ manis.

Sama satu lagi, mesti melatih hati buat bodoh amat sama penilaian orang di luar sana.

Selama orang rumah support pilihan gue, dan gue yakin sama pilihan gue ini, gue bakal jalan terus. InsyaAllah.

Teman seumuran gue sudah pada banyak yang menikah, lo.

Ya, terus? Ya, alhamdulillah, jodoh mereka datang lebih dulu. Selalu senang kalau bisa hadir di pernikahan. Apalagi kalau bisa menyaksikan akad.

Terus? Gue jadi pengin cepat nikah? Nikah sih pengin, tapi cepat-cepat, ya, gak perlu.

Gue gak mau nikah cuma karena teman seumuran gue sudah pada nikah. Gue gak mau nikah cuma karena masalah usia. Gue gak mau nikah cuma karena alasan-alasan receh yang ada di tengah kebanyakan masyarakat Indonesia.

Gue mau nikah kalau nanti jodoh gue datang, terus langsung minta restu ke orang tua gue. Gue mau nikah sama laki-laki yang keluarganya menerima gue, karena menurut gue, nikah itu dimulai dari dua keluarga yang saling menerima, kemudian saling sayang, dan akhirnya saling peduli.

Terus, mau sampai kapan gue sendiri? Ya, sampai ada yang datang buat ‘meminta’ gue ke mama papa gue lah.

Terus, kalo gak pernah ada laki-laki yang mau kayak gitu? Ya, gak perlu takut. Kalau laki-laki itu gak mau kayak gitu, artinya dia masih butuh waktu buat main-main, dan bukan gue partner main-main dia, karena waktu main-main gue sudah abis! Haha.

Gue masih cetek ilmu. Cetek banget. Masih suka ngeles kalau diajakin menimba ilmu sama kakak perempuan gue. Masih banyak kurang. Masih sengbongsol adengsengbongdol.

Namun, kakak perempuan kayak Kak Onie, bikin gue bisa belajar banyak. InsyaAllah, dia sosok istri yang salihah. Gue bersyukur atas pilihan abang untuk yang satu ini.

Dwi Oktaviani juga. Kakak kelas yang dulunya garing abis, sering gue ledek habis-habisan, sempat menghilang beberapa tahun. Sampai akhirnya, dia muncul lagi dengan pribadi yang baru, yang jauh lebih manis. InsyaAllah, hatinya makin baik. Dia salah satu yang mengajak gue buat terus semangat istikamah. Meskipun sering gue bales dengan berbagai macam alasan, dia gak capek buat terus mengajak. Bahkan, gue juga selamat dari gocekan pria terakhir, karena sharing sama dia. Alhamdulillah.

Intinya, pertanyaan, “Mana pacar, mana calon, kapan nikah, kapan nyusul”, enggak akan bikin gue stres plus depresi, sampai akhirnya memilih buat pacaran lagi. InsyaAllah. Bantu doa, supaya gue kuat jalan di atas pilihan gue.

Gak mau menambah dosa buat papa, gak mau mama papa menanggung dosa yang gue bikin secara suka-suka dan sengaja.

Bikin mereka bangga dan bahagia tiap saat saja gue belum bisa, masa gue harus menambah dosa mereka, buat membahagiakan pria yang bukan mahram, bukan suami gue?

So, sorry, kalau banyak hati yang tersinggung. Gue gak sama sekali maksud buat menyinggung. Jujur, berdiri di atas pilihan ini sama sekali gak gampang.

Zaman sekarang, memilih buat kayak gini justru lebih sering diserang. Dibilang munafik, dan lain-lain, tapi sekali lagi, yang penting Allah rida. Itu saja.

Mengamini segala doa baik yang bisa diterbangkan, karena gue percaya, Allah selalu kasih yang terbaik di waktu yang paling tepat. Aamiin.

Sekian dan terima tatapan damai; tanpa maksud saling menjatuhkan.

#PenariJemari

Posted in #PosCintaTribu7e, #SatuHariSatuTarian, Ketulusan Hati, Tentang Cinta

Sedang Bahagiakah Kau Di Sana?

Surat hari terakhir, untuk Bosse; Alm. Om Em.

Sosok yang belum pernah kutemui, bahkan melihat fotonya pun belum. Parahnya lagi, aku bahkan baru tahu jika Alm. Om Em itu Bosse. Salah satu penebar cinta melalu #30HariMenulisSuratCinta.

Om Em, sebenarnya tahun ini adalah tahun ketigaku ingin mengikuti #30HariMenulisSuratCinta, sejak minggu kedua di bulan Januari lalu, aku sudah menanti kemunculan Bosse di timeline. Namun, Bosse tak muncul jua.

Hingga akhirnya kuputuskan untuk membuka laman PosCinta, dan di sana, kutemukan kabar duka yang sudah lama ada. Aku baru tahu jika kau sudah tiada, kau sudah lebih dulu pulang, dan entah mengapa, aku yang belum pernah bertemu denganmu, bahkan bisa kukatakan jika aku tidak mengenalmu dengan pasti, merasakan duka itu.

Aku kehilangan #30HariMenulisSuratCinta, aku kehilangan kesempatan untuk menebarkan kata cinta lewat jemariku, aku kehilangan celotehmu, Bosse. Aku merindukan bunyi bel sepedamu saat hendak mengantarkan surat-surat kita.

Bosse, tahun ini #30HariMenulisSuratCinta absen dulu, tapi, sahabatmu tak melewatkan tahun dengan begitu saja, mereka mengajak kita tenggelam dalam cinta lewat #PosCintaTribu7e dan aku bahagia, Bosse. Aku bahagia karena kaulah penerima surat-surat kita di hari ini.

Bosse, berbahagialah di sana, sebab di dunia semakin banyak perpecahan, semakin banyak kejahatan yang dihalalkan untuk kepuasan mereka yang selama ini hidupnya tidak bahagia. Bosse, di dunia semakin banyak kata yang tak bisa dipercaya, semakin banyak waktu yang terlewati dengan dusta media, pun sekitar kita.

Bosse, apa yang bisa kuberi untukmu selain lantunan doa? Mudah-mudahan, kebiasaanmu di dunia yang gemar menebarkan cinta, membawa langkahmu ringan ke surga. Bosse, mungkin tahun ini ku tak bisa banyak berkata, tapi dilain waktu, atau mungkin #30HariMenulisSuratCinta yang akan datang, kan kutuliskan kembali surat untukmu. Aku janji!

Sore ini kusudahi, aku ingin kau kembali menikmati waktu di taman surga, yang Allah janjikan penuh dengan bahagia.

Terima kasih sudah pernah ada untuk kita semua.

Dariku, penari jemari yang bersyukur pernah mengenalmu, meski hanya lewat Kriiing! Pos! Pos!

#PosCintaTribu7e
#PenariJemari
#UntukAlmOmEm
#Bosse

Posted in #PosCintaTribu7e, #SatuHariSatuTarian, Ketulusan Hati, Tentang Cinta

Penguat Segala

Surat hari keenam, kutujukan untuk Dia, Sang Maha Segala.

Sosok yang selalu ada, sosok yang selalu menerima pulangku, meski kaki telah begitu jauh melangkah. Maha Pemaaf, Maha Pengampun, dan Maha Segala.

Aku bukan manusia tanpa dosa, sebab aku pasti pernah melakukan kesalahan, entah dengan lisan pun perbuatan, entah sengaja pun di alam bawah sadar.

Tuhan, banyak dari mereka berkata, jika ingin berbincang denganmu, cukuplah berdua, tak perlu lewat banyak kata, atau apa pun macam lainnya. Namun, aku selalu ingin mengajak jariku menari untuk-Mu. Sebab, tanpa izin-Mu, aku tak mungkin mempunyai jemari yang kini kerap kali kugunakan berbagi; cerita pun rasa.

Terima kasih, karena Kau menempatkanku pada rumah yang tepat, rumah yang senantiasa menerima segalaku, rumah yang selalu rindu suaraku, rumah yang mencintaiku utuh dan penuh.

Terima kasih karena Kau memberiku begitu banyak pelajaran, mulai dari bertemu teman yang sesungguhnya, hingga bertemu dengan mereka yang luar biasa mahir bersandiwara.

Aku banyak belajar, bagaimana caranya bertahan, bagaimana rasanya dipermainkan, dan bagaimana caranya tetap mencintai-Mu, meski semesta mulai sesak dengan kejahatan.

Tuhan, aku yakin dan percaya, jika Kau adalah Segala; bagi dunia dan akhirat. Tak ada satu pun mahluk yang bisa mengalahkan kuasa-Mu.

Maaf jika suratku terasa sedikit gagap, pikiranku sedang terbagi, antara satu dan lain hal, kurasa tak perlu kujabarkan, sebab Kau melihatku selalu.

Tuhan, jangan pernah lepas tanganku dari genggam-Mu, biarkan aku berjalan ke arah yang sudah kunikmati alurnya, langkah yang insyaAllah Kau ridai.

Tuhan, aku hanya ingin mengutarakan seberapa kupercaya Engkau. Kupercaya Kau akan memeluk segalaku, dan apa pun yang kutitipkan lewat doa.

Tuhan, kumohon terangkan hati mereka yang sedang dipenuhi kabut gelap. Kumohon tuntun mereka untuk kembali ke jalan-Mu. Kumohon sadarkan mereka untuk menghentikan langkah yang tak perlu.

Aku tak pernah takut pada apa pun, sebab aku punya Kau; Tuhanku.

Tuhan, terima kasih karena memberiku kesempatan kembali pada-Mu. Terima kasih karena Kau masih senantiasa memelukku yang kerap kali berpetualang di luar jalur-Mu.

Tuhan, terima kasih banyak.

Salam sayang, dari salah satu hamba-Mu yang insyaAllah senantiasa bersyukur.

#PosCintaTribu7e
#PenariJemari
#TeruntukSegala
#Tuhan
#Allah

Posted in #PosCintaTribu7e, #SatuHariSatuTarian, Ketulusan Hati, Tentang Cinta

Untuk yang Selalu Ada pun yang Telah Tiada

Surat cinta hari kelima, ingin kutujukan kepada mereka yang selalu ada pun yang telah tiada. Menemaniku dalam segala lara, menjadi penyebab tawa, penerima pun pemberi peluk paling manja, tak peduli warna, tak peduli rasnya. Surat mama hari ini, untuk kalian; anak-anak kesayangan mama.

Untuk Putih, betina pertama yang senantiasa ada di rumah, bukan menetap, ia hanya singgah, menjadi induk paling kuat, mengerti kapan harus memperlihatkan taringnya. Kemudian kutemukan ia tak bernyawa, entah karena apa, yang jelas, kala itu ia sedang hamil, dan kulihat bercak darah dari sana, tempat ia ingin melahirkan anak-anaknya. Putih memang sudah tak muda lagi, sayangnya, kutemukan ia yang memang tak kupelihara, setelah tubuhnya kaku dan dingin, akhirnya kita hanya bisa saling berpamitan, tanpa sempat meninggalkan pesan.

Putih, terima kasih karena kamu mengajarkan mama satu hal; untuk jadi ibu yang baik dan bertanggung jawab dengan anak-anak. Bahagia di sana ya, sayang.

Kemudian untuk Grey, jantan yang suaranya sangat jarang kudengar, kudapat dari papa yang membawanya ke rumah. Bukan kucing istimewa, tapi bisa membuat isi rumah seketika jatuh cinta. Karena gelagatnya yang manja, dan matanya yang memandang dengan penuh cinta. Grey harus pamit, siang itu adalah cerah yang terlalu mendung untuk hatiku. aku ke luar rumah, bersiap menjemput adik sepupu pulang dari sekolahnya, karena sang ibu sedang kurang sehat. Saat kumundurkan motor, kulihat Grey sedang rebah di atas tanah,

“Grey, kamu ngapain di situ? Tidur sini aja, yuk.”

Kemudian, seorang pencari gelas plastik bekas bersuara,

“Mati, ketabrak barusan.”

Entah apa yang kurasakan, yang kutahu, tubuhku gemetar. Kubalikan tubuh Grey, tak ingin rasanya kuingat bagaimana keadaan terakhir ia siang itu, namun segalanya jelas terekam. Setelah kutanyakan ciri mobil yang baru saja menyapa Grey hingga hilang nyawa, kujalankan motor ke depan perumahan, kutemukan mobil yang serupa dengan ciri, dan kubertanya pada si pengendara,

“Pak, maaf saya mau nanya, tadi bapak lewat jalan yang di sana? (Sambil kutunjukkan arah rumahku).”
“Iya mbak, ada apa?”
“Maaf pak, ada yang lihat bapak nabrak kucing saya.”
“Masa?”
“Iya, pak. Bisa ikut saya sebentar? Saya cuma minta tolong bapak buat kuburin kucing saya.”

Dan si bapak bersedia ikut, saat ia melihat Grey, ia langsung minta maaf, ia bukan kabur, namun ia memang tak mengetahui jika telah menabrak Grey, karena suara mobilnya terlalu bising, ketika si bapak meminta maaf, tangis yang sedari tadi coba kutahan, akhirnya pecah juga. Sakit sekali rasanya, saat harus kehilangan Grey yang baru dua minggu menetap. Tapi mau bagaimana lagi? Waktu penitipan dari Allah sudah habis, dan aku harus bisa mengikhlaskannya.

Grey, kita memang hanya bersama dalam dua pekan, namun hadirmu sudah telanjur melekat pada hati dan ingatan, terima kasih karena sempat memberi warna pada rumah dan hati mama, mama suka senyum kamu, sayang.

Camera 360
Grey

Kali ini untuk Reby, kucing yang kuambil dari sebuah perumahan kosong. Kucing yang ramah dan penyayang. Kucing pertama yang akhirnya membuat mama mengizinkan aku  memelihara hewan berkaki empat ini di rumah. Awalnya, mama tak pernah suka ada kucing yang masuk ke dalam rumah, tapi Reby pandai mengambil hati mamaku, hingga akhirnya alergi mama terhadap bulu pun perlahan mereda, ia tak pernah lagi terlihat bersin-bersin saat dekat dengan kucing, meski sesekali, saat kondisi badannya kurang baik, alergi itu muncul lagi, tapi justru mama yang tidak mengizinkan aku untuk meletakkan mereka di luar rumah, kasian katanya; dingin.

Setelah delapan bulan menetap di rumah, Reby akhirnya pamit juga. Ia kalah dengan sakitnya yang entah apa, aku telat menemukan petshop terdekat dari rumah, ia kehilangan nyawa saat diperjalanan, malam itu aku sudah sampai di depan petshop yang akhirnya berhasil kutemukan, namun sayang, sapaanku tak mendapatkan jawaban, tak ada seorang pun yang keluar, meski di pintu masih terpampang tulisan ‘buka’.

Segera kutengok Reby, yang ternyata sudah berpulang. Lagi-lagi mama harus kehilangan anak yang begitu mama sayang. Pedih, karena tak sempat mengusahakan kesembuhan, namun apa yang bisa mama lakukan selain mengikhlaskan?

Reby, terima kasih karena sudah membuat nenek kamu ikut sayang dengan kucing-kucing mama, terima kasih karena sudah menjadi anak yang baik, penurut, dan cerdas, terima kasih karena kamu sudah begitu banyak mencipta bahagia untuk mama, mama sayang banget sama kamu.

Camera 360
Reby

Sejak itu, banyak kucing yang datang, untuk sesaat menetap, kemudian pamit undur diri. Karena banyak hal. Beberapa dari mereka masih terlalu kecil, dan tak bisa bertahan tanpa induknya, satu di antaranya harus pergi karena lagi-lagi tertabrak di depan rumah tetanggaku, dan sampai hari ini aku tak tahu siapa pelakunya, beberapa dari mereka sakit dan tak sempat meraih kesembuhan.

Untuk Titam, induk dari ketiga kucing paling sehat di rumah, karena Titam berhasil memberikan ASI eksklusif untuk ketiga anaknya selama tiga bulan, kemudian harus pamit undur diri saat ketiga anaknya baru berusia empat bulan lebih dua minggu, satu hari sebelum lebaran beberapa waktu lalu.

Camera 360
Titam

Nak, kenapa kamu gak pulang selama dua hari? Dan kenapa kamu baru kembali terlihat saat sudah tak bernyawa? Dan kenapa kamu harus segara dimakamkan saat mama sedang tak di rumah? Nak, apa kamu tahu jika kehilanganmu ada sesak tiada dua? Mama kehilangan saat sama sekali tak menyiapkan mental. Nak, kamu ada anak, betina, induk yang paling mama sayang. Paling bisa menjaga diri, namun kita tahu jika tak ada satu pun yang dapat menghindari takdir kematian. Mama cuma mau bilang makasih, karena kau selesaikan tugasmu; merawat ketiga anakmu yang saat ini sungguh lucu. Sebelum akhirnya kau pergi, karena tugas duniamu sudah usai. Mama sayang banget banget banget sama kamu, Titam.

Bibu, kucing tanpa pengelihatan, kutemukan di salah satu perumahan, ia sedang asik rebah di tengah jalan, kemudian ada motor yang lewat, dengan kecepatan yang lumayan tinggi, hampir saja Bibu terserempet. Tapi, karena pengelihatannya tak berfungsi, Bibu hanya bisa celingak-celinguk.

screenshot_3
Bibu

Bu, kita hanya bersama dalam sekejap waktu, namun kamu mengajarkan mama bagaimana caranya menikmati kehidupan meski sekitar menilai kita terbatas. Selamat jalan sayang, mudah-mudahan kamu bahagia, dan mama yakin kamu bahagia, mama yakin kamu bisa lihat kita dari sana, mama sayang kamu, Nak.

Kemudian, patah benar-benar kembali kurasakan, saat anak-anak terserang virus yang entah apa namanya, mereka sakit berurutan, dengan gejala yang sama, kemudian pamit satu persatu dari hadapan.

Lucky, kucing kecil yang jahilnya luar biasa, lincahnya tiada dua, makannya kuat sekali, dia terlalu manis untuk kulupa, dia terlalu cantik untuk kusesali kehadirannya. Lucky, kamu yang pertama menyerah dari serangan virus itu, kamu yang pertama pamit di pelukan mama, kamu yang pertama kembali membuat mama merasa kehilangan, Nak.

screenshot_2
Lucky

Terima kasih karena kamu selalu membuat mama bahagia saat kau sedang asik bermain sendiri, saat kau usil dengan saudaramu, saat kamu mama gendong, dan dengan sigap kamu tarik kacamata mama hingga copot dari muka. Kamu terlalu menggemaskan sayang, mungkin di alam sana, butuh pelawak seperti kamu, mama ikhlas, sebab melihatmu menahan sakit jauh lebih merobek luka hati mama, mama sayang kamu, Lucky.

Ogi, sahabat Lucky paling sabar, jantan paling penyayang, yang tiap pagi menanti mama di depan pintu kamar, menyapa mama yang baru saja bangun dari tidur, meminta untuk sebentar didekap. Manjanya kamu tak pernah bisa mama lupa sayang, kamu terlalu melekat di sini; di hati mama.

screenshot_1
Ogi

Ogi, terima kasih karena sudah menjadi anak yang baik, saudara yang pengalah, sosok yang penyayang, pemijit yang handal menggantikan Titam. Tak apa jika kau pun pamit menyusul Lucky, mungkin kau tak tega membiarkan ia pergi sendiri, satu hal yang pasti, mama sayang kamu berkali-kali.

Untuk Pupi, betina yang luar biasa bawel, pintar, lincah. Terima kasih karena kamu sudah memaksa untuk mama pelihara, setelah sempat mama tolak karena alasan terlalu banyak kucing di rumah, tapi suaramu yang kala itu masih sangat kecil, dan tatapmu yang begitu menggemaskan, berhasil membuat mama tak tega, dan akhirnya kita bersama.

bql9axzcmaal8xs
Pupi

Terima kasih karena kamu selalu tahu kapan waktunya pulang setelah asik main seharian, terima kasih karena kamu menjadi anak perempuan yang genit namun tetap mahal, terima kasih karena kamu sudah membuat Sunny merasa begitu disayang. Terima kasih untuk banyak hal, Nak. Mama tak sanggup melihat kondisi terakhirmu, mama ingin sakitmu segera berakhir, dan Allah jawab itu dengan membawa serta sakit dan nyawamu. Tak apa ya sayang, susul Lucky dan Ogi, berbahagialah di sana, mama akan selalu sayang kamu.

Dalia, kucing yang tiba-tiba rebah di teras rumah, kemudian masuk tanpa permisi, dan tak pernah pergi lagi. Kucing yang ramah saat bermain, namun berubah sangar kalau sudah di depan piring makan. Dalia, mama sedih karena kau memilih hilang saat sakit, sebelum akhirnya mama temukan saat kau sudah kaku. Mama sedih karena tak bisa menemani detik-detik terakhirmu. Tapi, mama bersyukur karena sakitmu selesai, Nak. Mama sayang kamu yang manja tapi galak, mama sayang kamu yang suka menyundul wajah mama dengan ujung kepala. Mama sayang kamu, Dalia.

screenshot_6
Dalia

Untuk Asley, kucing yang membuntuti jalan Uyut, kucing pertama yang nenek mama bawa ke rumah, kucing yang makannya selalu lahap, kucing yang kuar biasa bisa menunjukan caranya menebar kasih sayang.

screenshot_5
Asley

Asley, terima kasih karena kamu selalu ada di dekat mama hingga saat-saat terakhirmu, terima kasih karena kamu masih berusaha berjuang sebelum akhirnya menyerah. Terima kasih karena kamu sudah menjadi anak baik, saudara yang senantiasa bersedia jika satu dari mereka mengajak bercanda. Terima kasih karena sudah melukis tawa di wajah mama, dan membuat mama jatuh cinta, mama sayang kamu, Nak.

Untuk Sunny, anak kucing yang kakinya patah di sebelah kiri depan, kemudian kakinya bengkak di sebelah kiri belakang, lalu lehernya bengkak dan akhirnya pecah dan mengeluarkan banyak nanah. Kamu begitu kuat melawan infeksi tulang itu, Nak. Hingga akhirnya kau bisa berjalan meski tak sempurna.

screenshot_8
Sunny

Sunny, maaf jika mama tak selalu bersedia saat kau meminta untuk dipangku, maaf jika perhatian mama terbagi karena terlalu banyak kepala yang harus mama usap di rumah. Sunny, terima kasih karena kamu sudah kuat, sudah berjuang, sudah bersedia mama rawat semampu mama. Terima kasih karena kamu anak baik, yang membuat mama dan nenek jatuh cinta. Sunny, di malam kepergianmu, langit yang awalnya terang, mendadak mendung dan menurunkan hujan lebat, hampir dari semua kepergian anak mama disertai hujan, namun kepergianmu yang paling basah. Allah memberi mama air mata langit, agar mama tak menangis seorang diri. Mama sayang kamu, Nak. Pejuang paling tangguh.

Otjel, kucing kecil yang hampir tertabrak motor, awalnya hanya ingin mama simpan kamu di pinggir jalan, tapi apa? Dengan ringan langkah kamu naik ke motor mama, maksudnya apa, Nak? Mau ikut pulang ke rumah?

screenshot_7
Otjel

Sejak hari itu kamu resmi jadi anggota keluarga, kamu licah, lucu, menggemaskan, baik, ramah, doyan makan, jahil, dan tak bisa diam. Hingga akhirnya pagi itu kamu tak lagi mau makan, kamu tak lagi lincah, bahkan terlalu pendiam. Rupanya kepergian banyak dari kakakmu membuatmu pun lemah dalam bertahan, dan akhirnya mama harus merelakan kamu turut pamit pulang.

Otjel, terima kasih sudah menjadi pendengar setia bahasa planet kakekmu ya, sayang. Terima kasih sudah begitu nyaman di pangkuan mama, terima kasih karena kamu pelukis tawa yang handal di kediaman. Mama berat melepaskan, tapi mama tak sanggup melihat lemahmu terlalu panjang, selamat jalan sayang, mama cinta kamu.

Setelah itu, ada beberapa kucing kecil yang datang dan pergi, hingga akhirnya yang terakhir adalah tiga bersaudara dengan tiga warna, satu persatu pamit, karena sakit, kecelakaan, dan kembali sakit. Mereka belum sempat kuberi nama.

Kemudian Chiko, kucing kecil yang mama bawa pulang, tak lama ia ada di rumah, ia terserang sakit mata yang luar biasa, dan menyebabkan ia harus kehilangan pengelihatannya, total. Ia hanya berjalan mengandalkan kumis dan pendengaran serta penciumannya saja. Dia benar-benar survivor bagi saya.

Chiko, maaf jika mama tak sempat mengusahakan kesembuhan untuk kamu, kamu adalah salah satu kucing kesayangan nenek kamu, kepergian kamu yang tiba, membuat isi rumah mengelus dada, sakit, Nak. Harus kehilangan lagi, dan lagi.

screenshot_4
Chiko

Chiko, terima kasih karena kamu telah mengajarkan mama bagaimana caranya sabar, dan bertahan semampu kamu, semaksimal yang kamu bisa, hingga akhirnya Allah bilang ‘cukup’ dan kau kembali pada-Nya. Mama sayang kamu, Nak. Maaf jika selama ini kami tak maksimal merawatmu. Bahagia di sana, mudah-mudahan kamu bertemu kembali dengan Otjel ya, sayang.

Dan yang paling akhir adalah kepergian Honey. Induk dari salah satu kucing rumah yang masih bertahan dan begitu menggemaskan. Honey bukan kucing peliharaanku, tapi mendadak rutin main ke rumah setelah usai melahirkan untuk yang terakhir kalinya.

Camera 360
Honey

Honey, terima kasih karena sudah menitipkan Sigi di sini, di rumah ini, terima kasih karena sudah mempercayai mama, terima kasih karena suaramu pernah mewarnai telinga orang rumah, terima kasih untuk banyak hal yang membuat mama begitu merasa dibutuhkan kehadirannya. Mama sayang kamu, meski kamu bukan anggota resmi keluarga ini, kamu tetap saja mencuri hati kami.

Banyak sudah yang datang, dan banyak pula yang kembali pulang. Allah menitipkan, dalam jangka waktu yang beragam. Ada yang lama, ada pula yang hanya sekejap pandang.

Untuk kalian yang selalu ada; namun telah tiada. Terima kasih karena membuat mama jatuh cinta, membuat mama merasa tak sendirian, membuat mama bahagia, membuat mama merasa kehilangan, dan membuat mama terus belajar tentang keikhlasan.

Selamat jalan sayang, berkumpulah kembali di sana, bermainlah dengan bahagia, jangan lupa sesekali untuk menengok mama di sini, dan saudara-saudara kalian yang masih ada, mama sayang kalian, dan senantiasa rindu. Ah, lagi-lagi, pagi yang syahdu memang mudah melahirkan rindu.

Dan untuk yang bersedia membaca hingga akhir surat yang panjang ini, mohon doanya untuk:

IMG20160603181503.jpg
Ayang
IMG20170123070518.jpg
Apu
IMG20161127152803.jpg
Senya; Anak Titam
img20170126062432
Gianta; Anak Titam
IMG20160710185004.jpg
Tutu; Anak Titam
IMG20170120064904.jpg
Sigi; Anak Honey
Screenshot_10.jpg
Peauty
IMG20170204115740.jpg
Tutu dan Keempat Anaknya

Agar senantiasa sehat dan bisa berbagi cinta dan kasih sayang di rumah ini. Mereka salah satu pembawa rezeki bagi kami, dan mereka adalah sosok yang membuat saya kuat, pelipur bagi segala lara, penyemangat, teman di segala waktu. Mereka manja dan menggemaskan, mereka bisa jadi bos yang menyebalkan, sekaligus jadi anak-anak baik yang penurut. Saya sangat menyayangi mereka, yang masih ada, pun yang telah tiada.

Tulisan hati seorang mama, untuk anak-anaknya.

#PosCintaTribu7e
#PenariJemari
#UntukAnakAnakMama
#SalamSayang
#KucingKecintaan

Posted in #30HariMenulisSuratCinta, #PosCintaTribu7e, #SatuHariSatuTarian, Ketulusan Hati, Tentang Cinta

Pengendara Ojek Online Paling Ngganteng!

1
Fans!

Peringatan sebelum membaca surat ini; jangan baper. Karena baper itu gak enak, yang enak itu lemper isi ayam buat sarapan!

Kali ini gue tulis surat buat pria kesayangan gue nomor dua; setelah Papa. Pria kelahiran Jakarta 28 tahun lalu. Pria yang paling sabar si kalo menurut gue, pria paling ikhlas tentang banyak hal, mulai dari hal remeh kayak makanan, sampai hal yang paling sensitif; uang.

Surat hari ketiga ini buat lo, Mas.

Gue cuma mau bilang makasih, makasih karena udah jadi partner dalam banyak hal, mulai dari nyobain makanan baru, nonton film yang gue suka, beli cemilan favorit gue, sampai hal-hal yang gak pernah gue minta, tapi lo tau gue mau, gak lama kemudian lo pasti dapetin itu buat gue.

Lo juga gak malu, beli celana rumahan buat cewek, yang lo kasih ke gue sama mama, lo gak pernah malu beli alat makan pun minum, buat orang rumah, lo juga paling suka beliin gue hijab, dari pas gue belom berhijab, sampai akhirnya sekarang Alhamdulillah udah. Semua hijab yang gue punya ya dari lo, sama dari kak Oni dan tante-tante. Belom ada yang gue beli sendiri. Alhamdulillah, banyak yang support, mudah-mudahan pahalanya juga ngalir ya ke kalian.

Dan, yang paling hebat, lo juga gak malu kalo gue minta tolong beli pembalut, itu poin plus si buat gue, karena gue yakin gak semua cowok bersedia untuk itu, apalagi beliin itu buat adiknya sendiri.

Lo orang paling naïf, tapi belakangan gue belajar dari lo, kalo uang emang perlu ditabung, tapi kalo orang yang dekat dan kita sayang butuh, ya ada baiknya untuk itu dulu, nabung bisa nanti lagi.

Kalo ada yang bilang ‘Mas, kamu kalo gak nabung kapan mau nikah?’ lo selalu jawab ‘Gak usah takut, selama uangnya dipakai buat yang benar, insya Allah nanti begitu mau nikah ya ada rezekinya, Allah kan Maha Tahu.’

Naïf banget, aslik! Tapi ya gimana? Gue percaya itu sekarang, kalo lagi ngerasa susah dan mentok, Allah selalu kasih jalan, asal satu, jangan pernah ngejauh, jangan pernah berhenti bersyukur, dan jangan pernah ninggalin jalan yang Allah cinta.

Gue juga salut, karena lo yang tadinya pegawai bank, akhirnya milih resign. Awalnya karena ngerasa capek, kerja kontrak terus, gak ada kepastian, tiap kontrak abis, lo selalu stres bakal diperpanjang atau enggak, lo stres ‘Gimana kalo gak diperpanjang dan gak langsung dapet kerjaan gantinya’ tapi Alhamdulillahnya itu pemikiran lo yang dulu.

Sampai akhirnya, support dari Abang, dan gue. Bikin keputusan lo bulat buat ninggalin kerjaan di bank, karena satu dan lain hal yang gak perlu gue jelasin, walaupun terakhir, sebelum lo resmi cabut, lo ditawarin perpanjangan kontrak lagi, tapi lo lebih milih banting setir abis-abisan.

Lo lebih milih jadi pengendara ojek online, yang (awalnya) penghasilannya menyedihkan, gak tetap, dan dapetnya capek doang. Tapi, Allah kan gak pernah tidur, dia tau niat baik lo, dia tau lo kerja buat apa, dia tau tujuan lo mau bahagiain siapa, ya Alhamdulillah dikasih jalan.

Mama, papa, tante, plus om minta tolong sama gue buat bantu nabungin penghasilan lo, biar gak seratus persen abis buat kebutuhan rumah. Dan buat yang satu itu, tenang aja, sebagai bendahara, insya Allah gue amanah, kalo ada lebih ya gue tau mesti dilariin ke mana, kalo gak ada lebih ya kita masih bisa ketawa dan cerita bareng kok.

Makan apa aja gak masalah, yang penting bersyukur masih bisa bareng sama mama papa yang sering nyebelin, tapi gak bisa bohong kalo mereka juga ngangenin, apalagi kalo lagi dateng manjanya, hahahaha.

Intinya, lo gak perlu malu sama atribut kerja lo, Mas. Karena selama yang lo kerjain itu halal, ya gak masalah. Di mata Allah, bukan bos kok yang ada di barisan depan buat masuk surga. Intinya, sekarang yang penting kita pelan-pelan hijrah, bareng-bareng. Masih panjang banget perjalanan, jadi jangan sampai di sia-siain lagi ya waktunya.

Jijik gak si kalo gue bilang gue ngerasa beruntung punya Mas kayak lo? Hahahahaha. Jijik ih! Geliiii. Hahahaha.

Howiyak, satu lagi. Terakhir kita ngobrol banyak di motor, lo nyeletuk ‘Kapan ya kita nikah, Put?’

Terus gue kaget. Kagetnya bukan karena mikirin kapan jodoh gue dateng, tapi kaget ‘Kok tumben ini anak mikirin beginian?’ Hahahaha.

Tenang aja mas, kalo lo hijrahnya gak setengah-setengah, gak pernah jauh lagi dari Allah, dan lain-lain, insya Allah rezeki jodoh lo bakal sampai tepat waktu, intinyaaa, jangan gusar. Doa aja terus, sambil usaha nemuin anak gadis orang yang mau lo halal-in. Tenang, gue mah sabar, Mas. Gue gak buru-buru. Pokoknya nanti, jodoh siapa pun yang dateng duluan, itu yang nikah duluan, ya. Tapi, gue tetap maunya si lo duluan. Hahahaha.

Sering-sering puasa, biar gak marah-marah. Lo kalo lagi puasa jauh lebih sabar, hahahaha. Karena keseringan judes plus marah-marah, bikin kebaikan yang tadinya udah mau nyampe di hidup lo, jadi putar arah, dan jalan dari awal lagi, gak nyampe-nyampe. Hahahaha.

Terakhir, geli si, tapi ya harus diakui kalo gue sayang sama lo. Tengkyuh karena udah jadi Mas paling bawel sekaligus rese.

Satu lagi, percaya deh, kalo lo itu Pengendara Ojek Online Paling Ngganteng!

Tapi boong! Bwek!

#PosCintaTribu7e
#PenariJemari
#PengendaraOjekOnlinePalingNgganteng
#Mas

Posted in #PosCintaTribu7e, #SatuHariSatuTarian, Ketulusan Hati, Tentang Cinta

Pria Pertama

screenshot_1
Ulang Tahun Pernikahan ke 29

Dari awal Januari, sudah kubuat daftar siapa-siapa saja yang akan mendapatkan surat cinta dariku; tahun ini. Tapi, begitu tahu jika Bosse sudah bahagia di surga, daftar itu tiba-tiba hangus, kukira tak akan lagi ada #30HariMenulisSuratCinta.

Hingga sore ini, aku masih saja bingung, harus menuliskan surat cinta untuk siapa, namun aku tak ingin menyiakan tujuh hari ke depan, dan akhirnya terbayang wajah pria tercinta, saat ia sedang marah, kesal, lelah, bahagia, haru, hingga saat tersulit; kala kubuat ia menangis.

Surat pertama ini untukmu, Pa.

Sengaja kutulis semua karena lisanku tak pernah sanggup menyuarakan segala yang peka dengan hati. Aku terlalu mudah menangis, aku terlalu ringkih untuk menyampaikan maksud baikku, Pa.

Aku kerap melarangmu menyantap cemilanku, bukan karena kikir atau alasan kotor lainnya, aku hanya tak ingin gula darahmu lepas dari kontrol dan kembali melihatmu terbaring sakit. Lebih baik kulihat kecewamu karena tak ada satu pun dari kita yang mengunyah manis, dari pada harus menuruti keinginanmu, dan menyaksikan tubuhmu merasakan segala lemah.

Biar nanti, sesekali kubuatkan kue, atau apa pun yang kau suka, tapi ingat. SE – SE – KA – LI. Bukan tiap kali kau minta. Hahahaha.

Pa, kita tahu benar jika kau bukan pria yang terlahir romantis, kau kerap kali bersuara lantang. Bukan, bukan karena kau sosok yang gemar berpelukan dengan emosi, melainkan karena tradisi keluarga. Aku paham itu setelah berulang kali ada di tengah keluargamu. Dan, tak satu pun dari mereka bisa berbisik, mereka kerap bicara lantang, tertawa, dan mengakhiri pertemuan dengan bernyanyi serta menari; kumaklumi, karena Opa memang berdarah Pakistan-India, bukan?

Pa, dulu, waktu aku masih belia, jika mama sedang marah, kau bukan memadamkan apinya, namun justru menyiramnya dengan bahan bakar, sehingga rumah yang awalnya damai, seketika menjadi penuh kecemasan. Aku, mas, dan abang menyaksikan bagaimana kalian saling berteriak, seumur hidup, akan kujadikan itu sebuah pengalaman, tak akan kuulangi di dalam rumah tanggaku kelak, karena kutahu benar bagaimana sakitnya hati seorang anak, melihat orangtuanya bertengkar.

Tapi, sekarang semua sudah kupahami, Pa. apa-apa penyebabnya, kenapa kau dan mama gemar memupuk benci dalam cinta. Kusyukuri karena semua itu hanya masa lalu. Entah bagaimana awalnya, keluarga kita justru tumbuh sabar dan insya Allah saling mencinta di jalan Allah, insya Allah.

Kau dengan segala kesabaranmu, kuyakin jika 1001 pria di dunia ini yang memiliki kesabaran yang setara denganmu, kau hebat, Pa. Akan jauh lebih hebat, jika kelak kau bisa seratus persen mengendalikan emosimu, dan marah dengan cara yang ramah. Agar tensi darahmu tak perlu meninggi, agar kau senantiasa sehat, agar kita terus bisa bersama.

Ah, benar saja kan, aku tak pernah kuat membahas hal macam ini, sudah sekuat tenaga kuatur napas, kutahan air yang ingin sekali terjun bebas dari mata. Namun? Gagal jua akhirnya. Aku masih di kantor, Pa. tak mungkin rasanya menangis di depan mereka yang tak tahu penyebabnya.

Aku memang gadis kecilmu yang mudah menangis, aku memang si bungsu yang perasaannya terlalu sensitif.

Pa, entah kapan kubisa menyuarakan kalimat ini di telingamu,

‘Puput sayang banget sama papa”

Tapi, kuyakin jika Allah tahu itu; jelas.

Pa, terima kasih karena terus ada untuk mama, terus sabar menghadapi segala situasi yang kuyakin tak semua kepala rumah tangga bisa lewati, terus rutin membersihkan kotoran kucing di rumah, karena kau memperhatikan kesehatanku sebagai anak perempuanmu. Terima kasih karena kau tak pernah merasa pekerjaan rumah adalah pekerjaan istri dan anak perempuan saja, terima kasih karena telah menjadi cinta pertamaku, dan menjadi panutan.

Maaf jika kusempat menambah daftar dosa-dosamu, maaf jika kutelat menutup rapat aurat, maaf jika dulu kusempat sulit diingatkan untuk beribadah, dan maaf untuk segala yang tak bisa kusebutkan.

Pa, kita (mama, mas, abang, kak Oni, dan aku) akan terus berusaha membuatmu bahagia, dengan cara kita. Kau akan bisa merasakan cinta kita, hanya dengan satu cara, menerima kami sebagai kami, bukan seperti mereka, karena kami bukan mereka.

Pa, tetaplah ada di sini, di hatiku, sebab kau akan selalu menjadi pria pertama kecintaanku.

Sssssssssttt.. kuakhiri surat ini ya, Pa. Masih ada yang harus kurapihkan sore ini, sampai jumpa di lantunan kata cinta berikutnya.

Salam sayang,

Anak perempuanmu satu-satunya; Puput.

#PosCintaTribu7e
#PenariJemari
#PriaPertama
#Papa

Posted in #SatuHariSatuTarian, Ketulusan Hati, Tentang Cinta

Duka yang Dekat

Semuanya berawal dari bedanya sikapmu di hari Minggu, 16 Oktober 2016 kemarin. Biasanya kau selalu bahagia tiap kali menatap ikan sebagai lauk di meja makan, namun hari itu murung lebih menguasai raut wajahmu. Aku dan papa pun bingung, tentang apa yang sebenarnya sedang kau rasakan. Karena kau memilih kembali rebah di tempat tidurmu setelah makan hanya beberapa suap. Aku dan papa saling tatap, tak lama dari itu, papa menanyakan kenapa kau tak menghabiskan makananmu seperti biasanya, dan kau hanya menjawab jika tubuhmu terasa begitu lemas.

Hari kian malam, dan kau semakin tenggelam dalam sakit yang belum kita sadari bagaimana rasanya. Kamu yang biasanya gemar tersenyum, malam itu terus mengernyitkan kening, namun kau juga kesulitan untuk terlelap meski kantuk begitu melekat padamu. Maaf jika kita tak bisa lebih cepat menyadari jika yang kau rasakan bukan hanya pusing kepala biasa.

Hingga akhirnya papa membangunkan aku dan mas tepat pukul satu dini hari, karena kau beberapa kali muntah, dan tubuhmu semakin lunglai. Lagi-lagi, tak seperti biasanya, karena kau tak menjawab pertanyaanku dan mas, tentang apa yang kau rasakan. Kamu hanya diam, awalnya kupikir kau marah dengan salah satu dari kami, namun ternyata diam itu ada karena kau tak sanggup bercerita. Aku dan mas hanya bisa memberimu penghangat badan, dan kembali memintamu istirahat agar lekas pulih.

Namun kekhawatiranku belum berakhir, kantukku lenyap seketika, kuraih ponsel dan mulai mengetik huruf demi huruf untuk menceritakan hal yang baru saja terjadi pada adik perempuan mama. Singkat cerita, anak perempuanmu tiba di rumah kita pukul tiga dini hari, ia segera menghampirimu, dan kau masih mengenalinya, Alhamdulillah; ucapku dalam hati.

Beberapa hari sebelumnya kau memang selalu menanyakan anak-anakmu yang lain, bahkan malamnya pun kau sebut nama anak bungsumu, dan menanyakan rute untuk menuju rumahnya.

Tante Rita segera mengganti pakaianmu yang basah karena keringat dan air lainnya, memakaikanmu popok, dia begitu cekatan, mengajariku satu hal lagi tentang bagaimana caranya memperlakukan orangtua yang sedang sakit. Aku salut. Aku semakin yakin jika anak-anakmu memang bisa diandalkan dalam segala bidang, insya Allah.

Pukul tujuh pagi, kau masih sempat menyantap bubur buatanku, kita kembali bercerita dan bersyukur karena kondisimu membaik. Namun, saat tante Rita sedang memasak makanan untuk kita santap siang, kondisimu kembali menurun, bahkan sangat menurun, kau sudah tak dapat merespon sapaan dari kita, meski suara begitu dekat di telingamu. Hingga akhirnya anak-anakmu sepakat membawamu ke rumah sakit, dan kau langsung dilarikan ke IGD.

Ini pertama kalinya untukku, Nek. Pertama kalinya melihatmu jelas di hadapan mataku, rebah dan lemah. Bohong jika aku tak berair mata, namun aku pun tak boleh egois untuk terus bersedih, sebab sekelilingku perlu untuk saling dikuatkan.

Beberapa hal yang menimpa pasien lainnya di IGD semakin membuatku takut, aku takut jika duka yang mereka peluk tak lama kemudian akan memeluk keluarga kita, namun lagi-lagi aku harus percaya jika Allah punya cerita sendiri untuk kita, yang tak akan sama dengan cerita mereka.

Gula darahmu tinggi bukan main; 563. Maaf untuk kelalaian kami, Nek. Maaf jika kami lepas kontrol hingga gula darahmu melonjak dan melemahkan tubuhmu. Entahlah, yang kutahu hari itu, aku hanya ingin kau bertahan dan kembali tertawa bersama.

Singkat cerita, kau harus pindah rumah sakit, karena ada beberapa alat yang kau perlukan dan tidak tersedia di rumah sakit sebelumnya. Banyak proses yang harus kau lalui, dan banyak pula hasil pemeriksaanmu yang tak dokter jelaskan pada kami, mereka terlalu sibuk wara-wiri hingga tak sempat menemui kami, keluarga yang sedang menanti perkembangan kesehatanmu. Izinkan aku kecewa untuk hal itu.

Di ICCU,

“Nek, ini Puput.” Jelasku.

Kau hanya mengangguk, aku bersyukur kau masih mengenaliku, kau menatapku tajam dan tak kunjung lepas, aku tahu jika ada banyak kata yang ingin kau ucap, namun tak sanggup kau suarakan. Selanjutnya aku hanya bisa berbisik di telingamu, kalimat yang berisi harap, kalimat yang kuharap bisa menyemangatimu. Kuusap air mata yang hampir jatuh dari mata kananmu, aku tak ingin kau menangis dalam baringanmu itu.

Kurang lebih tiga hari setelah kau mendapatkan penanganan intens di ICCU, akhirnya kau dapat dipindahkan ke ruang perawatan, syukurku lagi-lagi. Hingga aku, mama, papa, mas, abang, kak Onie, dan mama kak Onie kembali datang untuk menjengukmu. Kondisimu semakin membaik, meski tangan dan kakimu membengkak karena infuse yang terus menemani tubuhmu. Aku ingat jelas segala yang terjadi hari itu. Mulai dari keluhanmu tentang bagian belakang tubuhmu yang sakit karena berhari-hari terbaring, sampai sapaan sederhana untuk tiap-tiap kami yang menatapmu.

Hari itu aku mengerti mengapa kau sangat menyayangi mas, karena harus kuakui jika mas satu-satunya cucu yang menyadari jika ada beberapa bagian tubuhmu yang perlu dibersihkan, bahkan ia lebih peka dari perawat-perawat yang biasa menanganimu. Aku belajar lagi dari mas, bagaimana cara untuk seratus persen memberi perhatian yang tulus.

Kabar baik demi kabar baik terus datang ke telinga kita, Nek. Tentang kesehatanmu yang berangsur pulih. Kau yang semula makan melalui selang, mulai bisa kembali menyantap bubur dan minum susu melalui mulut. Bohong jika kita tak bersyukur dalam kegembiraan. Namun, sayangnya kabar baik itu tak bertahan lama, karena tepat pukul setengah enam sore di hari Selasa, 25 Oktober 2016, tante Rita menelepon papa dan menceritakan keadaanmu yang kembali menurun, kau kembali tak sadarkan diri. Dan membuat dokter meminta keluarga untuk ikhlas pada apa pun yang terjadi nantinya.

Tak ada firasat apa pun, malam itu aku tertidur pada jam yang sama, namun kembali terbangun karena perutku sakit. Aku kesulitan untuk kembali tidur, mataku tak juga kembali bersedia merapat, hingga akhirnya om Alqod mengirim kabar yang entah harus kusebut apa.

“Put, nenek sudah …”

Pemberitahuan itu muncul di layar ponselku, dag-dig-dug. Badanku gemetar, menerka kata apa yang ada selanjutnya. Mau tak mau, dengan rasa yang tak bisa kujelaskan, kubuka pesan itu.

“Put, nenek sudah tidak ada.”

Innalillahi wa innailaihi rodji’uun. Badanku semakin gemetar, pandanganku gelap dalam beberapa detik, namun aku tak bisa diam saja, aku harus memberi tahu mama, papa, dan mas yang sedang tertidur. Dan, aku memilih untuk membangunkan papa terlebih dahulu, dan segera memberi kabar pada siapa saja keluarga yang bisa kukabari.

Mau tak mau aku dan papa juga harus membangunkan RT yang sedang istirahat, karena kabar itu datang tepat pukul satu. Rabu, 26 Oktober 2016 dini hari. Aku, papa, mas, dan mama duduk di depan rumah, menanti kedatanganmu sambil berharap jika kabar duka itu hanyalah lelucon dalam mimpiku saja. Namun sayangnya semua itu nyata, hingga akhirnya kau tiba di rumah kita.

Biar ingatanku merekam cerita tentangmu yang tak dapat kubagikan pada semesta. Dan, sampai pada waktunya untuk memandikan juga mengkafanimu. Ini pertama kali untukku. Pertama kali, Nek. Gugup. Gemetar. Karena jujur aku bingung harus berbuat apa, semua yang kutahu sebelumnya seolah buyar ketika sudah menatap rebahmu.

Namun, aku tak ingin kalah dengan rasa yang entah apa namanya ini, Nek. Aku tak ingin menyiakan kesempatan terakhir yang masih Allah beri, untuk ikut mengurusmu di waktu terakhir itu. Bersyukurnya aku karena aku cucu perempuanmu, Nek.

Beruntungnya aku karena abang menikahi kak Onie, karena mama kak Onie begitu membantu kita di hari kepulanganmu, Nek. Wajar jika anak-anakmu lunglai, wajar jika mereka berduka, wajar jika mereka kehilanganmu, Nek. Dan, saat seperti itu kita butuh sosok yang dapat menguatkan dan menyadarkan jika kau tak dapat menunggu lama, sebisa mungkin kita segera menyelesaikan perjalananmu di bumi ini, Nek.

Bukan kalimat hiburan, tapi ini kenyataan, tentang wajahmu yang terlihat tenang, tentang parasmu yang terlihat damai. Aku yakin jika ini yang terbaik dari Allah untukmu, Nek. Untuk menyudahi sakitmu, untuk meringankan langkahmu, untuk segala yang detik ini kita belum tahu, namun nanti pasti dapat kita pahami.

Kini, yang kau inginkan bukan lagi menyantap ikan asin dengan lalap, bukan lagi menyantap segala jenis ikan, bukan lagi menenggak susu, bukan lagi menikmati sayur asam, dan segala jenis makanan khas Sunda.

Kini, yang kau butuhkan bukan lagi handuk untuk mandi, bukan lagi dipakaikan daster saat sebelah sisi menyangkut, bukan lagi dipotongkan kuku, bukan lagi diajak berbincang, bukan lagi hal-hal lain yang biasanya kau ceritakan padaku, tentang rindumu pada anak dan cucumu.

Kini, yang kau ingin dan butuhkan hanyalah doa, dari anak-anak dan cucu-cucumu. Hanya kerukunan dari anak-anak dan cucu-cucumu. Untuk menerangi jalanmu, untuk meringankan langkahmu, untuk bahagianya kamu di sana.

Mama, Tante Rita, Tante Rika, Om Alqod, Om Alis ada di dekatmu, Nek. Mereka anak yang baik, insya Allah. Begitu juga dengan anak-anakmu yang lainnya. Anak-anakmu mengajariku banyak hal, mudah-mudahan ilmu baik yang kudapat bisa kugunakan dalam hidupku. Tentang bagaimana cinta anak untuk orangtuanya.

Nek, aku tahu benar jika perjalananmu masih sangat panjang, terlebih kita yang masih di sini. Jadi, selamat jalan ya, Nek. Mudah-mudahan kau kembali bertemu dengan kakek. Dengan yakin kukatakan jika kau adalah wanita yang kuat, mudah-mudahan doa yang tiada putus dapat menguatkan perjalanan panjangmu, di sana. Hingga insya Allah kau tiba di surga Allah yang Maha Indah.

Jangan lupa untuk terus tersenyum ya, Nek. Karena cepat atau lambat kita pun kan menyusulmu, meski entah kapan.

Salam sayang dari cucu perempuanmu, yang biasa kau panggil ‘Put’ dan lagi-lagi kukatakan jika aku mulai merindukan suaramu yang sedang memanggilku itu.

Lansia tercinta, alasan kita untuk Insya Allah terus bersatu dalam cinta.

 

#PenariJemari
#DukaYangDekat
#LansiaTercinta
#Nenek

Posted in #SatuHariSatuTarian, Ketulusan Hati, Tentang Cinta

Belajar Tentang Mencintai

Saya bukan perempuan yang terlahir dengan sikap lembut, sebab saya terbiasa bermain bola dengan abang saya, dan menunggu giliran main sega setelah mas saya. Masa kecil saya bisa dibilang jauh dari boneka, saya lebih dekat dengan bola dan lari-larian. Abang memilih saya sebagai partner-nya untuk bermain playstasion. Sedangkan suara mas hampir selalu menjawab celotehan saya lewat walkie-talkie kesayangan kami.

Secara tidak sengaja, mempunyai dua kakak laki-laki membentuk pribadi saya menjadi cuek, dingin, namun juga mudah tersentuh dilain waktu. Harus diakui jika mas dan abang pun termasuk lelaki yang tak ragu untuk menangis saat hati mereka benar-benar tersentuh. Mulai dari mama, papa, mas, dan abang, saya sudah pernah menyaksikan langsung bagaimana masing-masing dari mereka menangis. Rasanya ingin terus berubah baik, agar suatu saat saya bisa melihat tangisan mereka adalah tanda kebahagiaan kita bersama.

Awalnya, saya selalu menyeleksi pria lewat penampilan fisiknya, kalau saya tidak tertarik, maka pintu hati tak sedikitpun terbuka. Tapi, semakin lama saya menyadari secara perlahan, jika yang berwajah tampan belum tentu bisa menuntun saya ke surga, sementara lelaki yang mencintai Tuhan, insya Allah mampu menggenggam saya dan membimbing agar kelak langkah kaki kita terus bersama hingga mencapai surga Allah.

Saya bukan perempuan sempurna yang tak punya cela, jika Allah mau, Ia bisa saja menjabarkan aib saya dalam hitungan detik, namun Allah Maha Baik, Ia menjaga segala aib saya, dan secara tidak langsung membuat saya ingin terus menjaga aib orang lain yang sengaja pun tidak, pernah saya ketahui.

Terdengar berlebihan atau mungkin picisan, saat saya yang dulunya terkesan urakan, dan juga pernah berpacaran, menikmati masa sekolah dengan memuja sosok kekasih hati, seketika memutuskan untuk tidak lagi meratapi kesendirian. Bukan, bukan karena saya anti terhadap pernikahan, melainkan karena cara saya mencapai hari nan suci itu yang sedikit saya ubah. Tidak lagi dengan menjajaki hubungan secara perlahan, kemudian menangisi keadaan saat saya dan lelaki itu harus berpisah. Dengan niat yang insya Allah tidak dibuat-buat, saya hanya bisa terus memantaskan diri untuk lelaki yang sedang dan terus saya minta dalam doa langsung pada Sang Maha Segala. Sebab, saya yakin hanya Dia satu-satunya tempat berharap.

Bermimpi untuk bisa mempunyai keluarga yang penuh dengan kasih kepada Allah, saling menjaga hati satu sama lain, saling mengingatkan jika di tengah-tengah terjadi kekeliruan, saling menerima kurang dengan sabar, saling mengingatkan untuk tidak mendikte kekurangan orang lain, saling mensyukuri lebih yang Allah berikan, dan segala saling dalam kebaikan. Sampai hari ini semua itu masih menjadi mimpi untuk saya, namun sepenuhnya saya yakin kelak dapat terbangun dan menjalankan hari yang serupa dengan mimpi indah saya itu.

Saya selalu bilang jika saya tidak mau tergesa-gesa, sebab menikmati waktu dengan terus menjadi yang terbaik dalam skenario Tuhan adalah seindah-indahnya detik kehidupan.

Bersyukur saya dikelilingi mereka yang tak pernah lelah mengingatkan jika ada kematian yang harus saya persiapkan di tengah sibuknya kita mencapai cita di kehidupan dunia. Kerap kita mengesampingkan akhirat, berpikir masih ada hari esok, seolah melupa jika bisa saja Tuhan menghentikan napas kita di detik berikutnya.

Belajar mencintai akan terasa rumit saat kita mencoba menaruh perasaan pada manusia, namun menjadi begitu mudah dan damai saat kita memulainya dengan mencintai Tuhan. Banyak yang menertawakan diri saya, katanya tahu apa saya? Ke mana saja saya selama ini? Berapa banyak dosa yang sudah saya cetak? Lantas saya mau bersikap seolah paling benar? Tentu saja tidak, tapi seharusnya kita tahu, jika tinta hitam pun dapat dibersihkan jika ada niat yang utuh dan tulus. Lantas, mengapa masih sibuk dengan keburukan orang lain di masa lalu, saat orang tersebut sedang menikmati masa sekarangnya dengan terus memperbaiki keadaan?

Cukup untuk menutup Jumat malam. Salam damai dari saya, perempuan yang masih suka emosi, masih mudah marah, masih kerap melupa untuk tersenyum, dan masih penuh dengan kurang. Tapi, insya Allah kedepannya kita bisa sama-sama menjadi lebih baik lagi. Aamiin.

#PenariJemari
#SatuHariSatuTarian
#HidupdanMati
#PerihalCinta
#MengikisPenyakitHati