Posted in #PenariJemari, #SatuHariSatuTarian

Tumpah Ruah

Hai, kamu apa kabar? Lama sudah tak bercerita denganmu. Maaf, bukan ‘ku melupa, hanya saja jemariku terlalu letih mengeja rasa.

Kau tahu, hal pertama apa yang ingin kubagi denganmu? Luka. Haha. Izinkan sebentar ‘ku tertawa; kau benar, di dalam sana ada air mata.

Bagaimana tidak? Mawarku hanya terkenal durinya. Tamanku hanya terkenal sampahnya, dan tatapanku hanya terkenal angkuhnya.

Kau tahu benar ‘kan, tak ada yang layak kusombongkan. Kau juga tahu bagaimana batinku bertengkar; tentang satu dan lain hal yang merengek untuk diutamakan.

Banyak mata menilai semua ini kuasaku. Mereka bilang kepalaku keras lebih dari batu. Aku hanya bisa tertawa tanpa bahagia, mereka tahu apa tentang yang sebenarnya?

Saat mereka meminta kupertahankan semua. Saat mereka meminta kujaga yang ada. Namun, lagi-lagi aku dianggap biang keladinya. Haha.

Gemas, perih, luka, dan segala rasa yang tak bisa kutuliskan satu per satu.

Seperti kata-kata netizen di kolom komentar media sosial para artis. Seperti tamu yang seolah paling tahu bagaimana isi rumah Tuan dan Nyonya.

Ingin sekali rasanya ‘ku marah. Namun, gejolak itu reda setelah kutarik napas yang panjang. Tak pernah kucoba ubah cara pandang mereka, tapi mengapa mereka begitu semangat mengubah segala kita?

Kadang, mereka lupa satu hal, suasana hati seseorang tak selamanya tawa. Saat lelah sedang bertamu, kemudian mereka datang dengan segala persepsi; aku bisa apa selain mendengar dan menerima?

Pada akhirnya? Terserah. Kita tak bisa menyamaratakan mereka. Perihal mereka yang gemar menyamaratakan sesama? Itu hak yang semoga tak kuterapkan dalam rumah kita.

Senin, 19 Februari 2018 — Luka yang mempertemukan.

Posted in #PenariJemari, #SatuHariSatuTarian

Ajaibnya Dini Hari

Aku kerap terbangun di waktu ini
Kemudian meraba cerita-cerita lalu
Seperti saat pertama kalinya Ibu kontraksi
Berjuang untuk kelahiran gadis kecilnya; aku

Dan masih terbangun di waktu ini
Memang bukan hal yang baru
Saat telinga mendengar langkah kaki Bapak
Disusul suara air yang begitu syahdu

Aku terlalu cinta dengan dini hari
Waktu yang tepat untuk mengenal diri sendiri
Berbincang dengan Tuhan tentang kejujuran tiada dusta
Hingga menerbangkan doa untuk mereka yang kucinta

Teruntuk Ibu Bapak yang makin menua
Kalian adalah sepasang yang begitu menyebalkan dan mencuri perhatian
Sepasang yang mudah marah namun juga jenaka
Sepasang yang kuharap kembali bersama; di surga-Nya yang paling indah

Pak, Bu
Aku memang kerap mengeluh
Meski jelas kutahu ini semua tak ada apa-apanya jika dibanding pengorbanan kalian

Pak, Bu
Seberat apa pun skenario Tuhan
Aku yakin kita mampu lewati; selama masih bersama

Pak, Bu
Aku hanya butuh peluk, saat lelah mulai mampir
Agar langkah payah ini tak membuatku tergelincir

Dini hari hanya salah satu waktu, di mana aku dapat menceritakan segala kita, pada-Nya. Tanpa harus sedikitpun mengarang kata.

12 Oktober 2017 — Keluarga Gengsian

Posted in #PenariJemari, #SatuHariSatuTarian

Ingatan yang Tak Perlu Kusuarakan

Kata demi kata yang terus berdampingan dalam bait, memanja rasa dan tak jarang menjadi pemicu rindu tuk bangkit.

Tahukah kamu jika Tuhan menghadiahkan ingatan yang baik untukku? Terlebih tentang hal-hal yang membahagiakan dan baik bagi kesehatan jiwaku.

Kemudian membiarkanku melupa peristiwa yang sebenarnya memang tak perlu diingat. Seperti? Entahlah, aku tak bisa memberi contoh untuk lembar yang ini.

Sepenggal percakapan berisi janji yang selamanya kan melayang. Kemudian pesan berantai berhasil membuatku tersenyum; karena isinya yang berulang.

Hahahaha. Aku benar-benar tertawa, mengingat semua yang tak lagi perlu kusuarakan, kuceritakan. Cukup kukenang, kemudian kuajak ia berdansa dalam harmoni sederhana.

Kau tahu? Saat aku sedang menulis ini, tergambar jelas di mata dan pikiranku; bagaimana kau meributkan angka di belakang bajuku.

Ssssssssstt..

Sebentar lagi lahir terkaan orang-orang itu, tentang siapa kamu, apa yang sedang berusaha kembali kutuliskan, dan hal menarik lain yang bisa dimenangkan sesuka hati mereka.

Kemudian tiap-tiap kepala mengangguk dan bergumam, “Dugaan gue pasti benar.”

Hahahaha. Tak apa, tak akan berpengaruh jua.

Biar kuakhiri tulisan kali ini dengan bahasa planet, agar benar-benar samar dan semakin membuatku nyaman.

Sengbongsol adasimingsel namingdel, ya.

Rabu, 11 Oktober 2017 — CPTC

Posted in #PenariJemari, #SatuHariSatuTarian

Pamit

Saya suka terangnya; melahirkan harapan baru sebelum luruh karena asa yang putus.

Saya suka utuhnya; membuat rasa percaya jauh lebih kuat dari trauma yang entah sudah kali ke berapa.

Saya suka hadirnya; bukti jika yang tak terlihat beberapa saat, bukan berarti tak akan pernah bisa kembali mata menangkap.

Saya suka pamitnya; memberi waktu untuk kerabat menyapa semesta. Ia tahu jika di sini, saya juga rindu sabit.

Terima kasih, Purnama. Kau selalu punya cerita.

Jumat, 6 Oktober 2017 — Pamit

Posted in #PenariJemari, #SatuHariSatuTarian

Kelinci Kecil

Kelinci kecil berlarian di taman, bahagia sekali. Wajahnya begitu merona, tanda jika ia mulai menikmati dunianya yang baru.

Kemudian melintas kendaraan yang tak asing lagi baginya. Hap! Segeralah ia melompat dan masuk. Ternyata? Salah tujuan.

Ah, biar saja. Toh perjalanan masih bisa dilanjutkan. Begitu pikirnya. Hingga akhirnya ia sadar, tenaga cadangannya pun tertinggal.

Kali ini tak bisa lagi ia berdiam. Maka berlari ke pintu keluar adalah pilihan, mengambil segala yang masih bisa diselamatkan. Dan membuatnya melupakan sesuatu.

Ya! Tubuhnya hampir terjepit waktu yang sudah lelah menunggu.

Tunggu. Apa kau ingat bagaimana wajahnya jika sedang lelah? Tiba-tiba saja potret itu tergambar jelas di mata dan pikiranku!

Tapi, sudahlah. Kelinci kecil terus tumbuh dewasa. Taman bermain yang biasa ia datangi pun perlahan sirna; dari segala langkah dan ingatannya.

4 Oktober 2017 — BARK

Posted in #PenariJemari, #SatuHariSatuTarian

Ssssssssstt.. Coba Cek Masa Lalu!

Kadang, lo perlu nengok ke belakang. Nengok ke belakang gak melulu soal mantan, tapi juga soal masa kecil, remaja, sampai di titik lo sekarang.

Usia dewasa. Meski jiwa belom tentu ikutan dewasa. Hahahaha.

Santai, baca tulisan kayak gini gak boleh tegang. Ambil minum dulu gih, terus tarik napas, lepas pelan-pelan.

Mari kita mulai.

Kenapa tiba-tiba gue bahas masa lalu? Entah kenapa, belakangan ini gue resah, perasaan yang udah lama gak gue rasain, muncul lagi.

Dulu banget, gue pernah jadi orang yang aneh. Sampai ada satu teman gue yang blak-blak-an bilang “Nu, kenapa si lo aneh banget?”

Jujur, satu kalimat itu ngancurin hati gue, banget. Dibilang aneh, saat lo sendiri masih belom nemu jati diri lo.

Sampai sekarang gue inget itu, dan dia, ketemu gue yang udah nemuin jati diri, terus bilang “Sekarang Syanu jauh lebih asyik, ya.”

Namun, entah kenapa kalimat itu gak berpengaruh apa-apa buat gue. Memori gue justru nyimpen pernyataan lama dia.

Gak bagus sih emang, ngenang hal yang gak baik, tapi beneran, gue gak dendam.

Gue cuma gak ngerti gimana caranya ngelupain hal yang nyesek di dada gue.

Itu kenapa gue gak bisa buka pintu hati ke mereka yang dulu jelas-jelas mandang gue sebelah mata, dengar gue dengan telinga yang tertutup.

Balas dendam? Nope!

Gue cuma ngerasa, ada kepala dan hati lain, yang lebih pantes buat gue jadiin tempat berbagi, yang nerima gue dari awal, dari aneh, alay, sampai sekarang.

Dulu, jaman SMP, gue kayak lakik banget, mulai dari rambut dan segala penampilan.

Terus, masuk SMK, gaya rambut gue masih bondol, tapi entah kenapa ada aja yang nyoba bobol pertahanan hati gue.

Gue sadar, banyak banget yang udah gue sakitin dan kecewain hatinya, tapi ya, gimana? Hidup ‘kan pilihan, dan gak selamanya yang kita mau bisa kita dapat, ya ‘kan?

Setelah SMK, lakik jaman SMP mulai pada muncul nih, mulai nyelip, mau nyepik, tapi ya, boro-boro bisa modus, wong ditanggepin aja enggak.

Soalnya, ya, itu tadi, gue gak mau dekat sama orang yang ngincer fisik, itu bukan pertemanan yang natural.

Jadi buat apa buang-buang waktu? Kalau mereka yang nemenin gue dari jaman masih aneh dan alay sampai sekarang pun ada.

Maka dari itu gue suka nolak kalau diajak ketemu sama beberapa kelompok orang, gue gak bisa maksain diri gue ada di satu lingkup yang bikin gue gak nyaman.

Mutusin tali silaturahmi? Insya Allah enggak. Gue cuma mengurangi pertemuan yang gak terlalu perlu.

Pertemuan apa yang gak terlalu perlu?

Pertemuan yang kalau udah ketemu, mereka cuma mau tau lo sekarang kayak apa, udah sesukses apa, dan bla bla bla… 100 persen fisik dan masalah dunia doang.

Buat apa? Makin gede ‘kan pasti makin sibuk, jadi daripada nemuin yang gak perlu, mendingan nemuin mereka yang selama ini ada buat lo.

Mereka yang kalau ketemu lo nanyain a-z, dengar cerita manis dan pahit lo, dan proses lo menuju dewasa.

Terpenting, mereka gak pernah protes se-alay apa pun lo dulu.

Beberapa hari lalu, gue ngepoin media sosial media gue sendiri, dari awal gue mulai main medsos, dan? Gue sadar gue alay. Asli. A-L-A-Y.

Itu juga yang bikin gue jadi sadar, pas masih kerja penuh waktu, gue pernah ‘nyuekin’ teman dan sahabat gue.

Sengaja? Ya, enggaklah. Saking capeknya, jadi gitu.

Makanya sekarang gue ngerti, kenapa beberapa kepala kok berasa ngejauh? Ya, karena mereka sibuk.

Terlepas dari sengaja atau enggaknya mereka ngejauh, positif thinking-nya, ya, mereka lagi ngalamin fase yang pernah gue lewatin sebelumnya.

Gue lihat muka-muka mereka. Dari jaman gue masih alay banget, ketikan gue masih ‘Gy apz?’ yang artinya ‘Lagi ngapain?’.

Sampai sekarang gue udah 100 persen gak suka nyingkat tulisan.

Ada beberapa kepala yang setia banget di samping gue.

Mereka ada dari gue masih aneh, alay, remaja, sampai dewasa. Mereka ada saat gue ketawa, nangis, jatuh cinta, patah hati, move on, dan milih buat sendiri kayak sekarang.

Mereka ada. Sekalipun fisiknya jauh, doa mereka gak berhenti ngalir buat gue.

Tapi ada gak sih yang ngilang? Ya, namanya juga hidup. Datang dan pergi itu wajar. Ada ABCD yang hilang, Allah kirim EFGH buat nemenin gue.

Ada yang ngilang terus muncul lagi dan punya hubungan yang jauh lebih baik sama gue kayak sekarang.

Ada yang ngilang dan gak pernah balik lagi, karena gue sama dia saling gak mau nyari tau, gimana sih kabar kita satu sama lain? Hahahaha.

Allah Maha Adil. Selalu ada:

Tumbuh setelah patah;
Temu setelah hilang;
Peluk setelah lepas;
Selamat datang setelah selamat tinggal;
Bahagia setelah luka;
Hujan setelah kemarau;
Embun setelah debu;
Lembar baru setelah pamit.

Gue sadar, Allah Maha Baik. Satu keyakinan itu yang bikin akhirnya gue gak gampang nyerah.

Kalo ditanya pernah gak sih gue ngerasa pengin mati aja? Bodohnya gue harus ngaku, pernah.

Kenapa? Ya, karena gue ngerasa hidup gue paling nelangsa.

Terus gimana akhirnya gue bisa bertahan sampai sekarang?

Nah, bagian ini nih yang lucu.

Tuhan tuh selalu ngedeketin gue sama hal-hal yang bikin gue sadar kalo hidup gue belom boleh berakhir, gue belom boleh nyerah, dan belom waktunya gue mati.

Dengan cara? Tiba-tiba aja gitu gue dikasih lihat cerita hidup orang yang jauh lebih bikin nangis, tapi mereka kuat, dan tetap bersyukur.

Semudah itu gue bangkit lagi, malu udah ngeluh, ngingetin diri sendiri karena udah ‘cengeng’.

Abis itu, ya, ketawa lagi, maafin dan peluk sayang diri sendiri lagi.

Ya, walaupun bukan gak mungkin besok lusa gue down lagi, tapi seenggaknya, hari itu gue berhasil bertahan.

Gue yakin sih, semua hal yang bikin gue mampu bertahan, ya, karena campur tangan Allah.

Serusak-rusaknya orang, bohong ajalah kalo gak kepengin bahagia di surga mah.

Syukurnya Allah Maha Pemaaf. Bikin dosa hari ini, dikasih kesempatan buat berubah. Allah sabar banget nungguin kita sadar kalo Dia sayang banget sama kita.

Sekarang, gue malah ketawa-tawa sendiri. Ngetawain kebodohan gue di masa lalu.

Beberapa gue ceritain ke sahabat yang benar-benar gue percaya. Nangis karena hal-hal yang harusnya gak perlu sih gue lakuin.

Nyesel mah pasti, cuma kalo terus-terusan hidup dalam penyesalan? Kapan gue bisa makin tumbuh dan bersinar?

Duileh, sinar banget nih bahasanya. Meeeeeh ~

Gue juga percaya kalo tiap kepala, se-terbuka apa pun, pasti punya rahasia yang dia bagi cuma sama Tuhannya, karena emang cuma Tuhan yang nerima kita tanpa tapi.

Ssssssssstt.. udah ah, lain waktu kita cerita-cerita lagi.

Mudah-mudahan makin hari bisa jadi manusia yang makin baik dan terus memeluk kebenaran di jalan Allah.

See, yaa.

Posted in #PenariJemari, #SatuHariSatuTarian

Rahasia

Kau tak akan pernah tahu, apa yang terjadi. Sebab, segalaku menyembunyikannya dengan rapat dan rapi. Bagaimanapun kau mencari, tak akan kau dapati sebenar-benarnya jawaban hati.

Aku menari dengan anganku, berharap aku pergi lebih dulu. Bukan karena menyerah menjadi akhir lelah, tapi karena aku ingin nantinya kau baca semua.

Sebab, tulisan-tulisan yang sudah kubingkai, tak akan pernah sampai ke hadapan matamu, jika kau melayang sebelum aku; mendahuluiku.

Iya, pilihannya hanya dua; waktuku habis dan kau memeluk rahasia, atau kau tinggalkanku bersama dengan sesal yang tak akan pernah mengenal sudah.

Selasa, 26 September 2017 — MPL

Posted in #PenariJemari, #SatuHariSatuTarian, Puisi

Apa Jadinya …

Apa jadinya hidup tanpa rintangan? Rasanya tak akan pernah kita mengenal gagal. Sebab, Jika segala terasa mudah, untuk apa mengupayakan diri menjadi lebih baik lagi?

Apa jadinya semesta tanpa luka duka? Sepertinya kita tak akan menghargai bahagia. Tak pernah mengerti bagaimana rasanya berair mata. Dan, tak tahu cara mensyukuri berkah.

Apa jadinya akhir perjalanan tanpa neraka? Tiap kepala leluasa menari dengan begitu jahatnya, melantunkan caci dan maki hingga lekuk bibir tak lagi seperti semula. Dan, tak ada yang mendamba surga.

Apa jadinya skenario yang Tuhan tulis untukku tanpa adanya kamu? Ia akan menyamar bagai buku yang kehilangan selembar halaman, namun tetap menyematkan tamat; untuk menjadi teman saatku menutup cerita.

Minggu, 24 September 2017

Posted in #PenariJemari, #SatuHariSatuTarian, Puisi

Sayangnya, Jarum Jam Tak Bisa Berputar ke Arah Kiri

Berhenti berpura-pura, jangan tutupi lukamu yang jelas-jelas masih basah. Sebab, itu hanya akan membuatnya sembuh lebih lama.

Ingat bagaimana pertama kalinya dirimu menyapa semesta? Mungkin kau melupa, tapi ibumu? Tidak. Ia pasti mengingat segala dengan jelas; lahir sudah harapan barunya.

Bisa kau bayangkan berapa bulir keringat yang jatuh untukmu? Mungkin kau tak tahu, tapi ayahmu? Ia tahu benar untuk siapa ia bertahan; kamu, salah satu alasannya.

Entah sudah berapa langkah yang kau pijak. Ketahuilah, ada begitu banyak rindu yang tak bisa mereka suarakan dengan leluasa.

Bukan. Bukan karena mereka tak acuh pun tinggi hati. Namun, karena mereka ingin kau terus melaju dan tak menjadikan mereka sebagai penyebab hentinya langkahmu.

Nantinya, bagaimanapun kau tumbuh, menjadi seperti apa pun pribadimu, mereka akan selalu punya dekap untuk kepulanganmu.

Kau pun tak pernah lupa, bukan? Jika makin hari, usiamu semakin bertambah. Artinya? Semakin tua pula mereka.

Kulit yang mulai keriput. Rambut yang mulai memutih. Ingatan yang mulai melemah. Menjadi deretan bukti, jika mereka benar-benar sudah tak lagi muda.

Waktu semakin sedikit. Perpisahan kalian pun terasa kian dekat. Masihkah ingin membuat mereka bersedih?

Kalian bisa senantiasa memeluk semesta. Sebebas-bebasnya. Namun, jangan pernah lupa, jika tubuh-tubuh penuh cinta, selalu merindukan kepulanganmu.

Jangan pernah biarkan penyesalan hadir, saat kau mengabaikan jarum jam yang tak pernah berdiam. Ingat. Ia akan selalu bergerak ke arah kanan.

Sabtu, 23 September 2017 — 💚MP

Posted in #PenariJemari, #SatuHariSatuTarian, Puisi

Pulanglah, Kau Belum Terlambat

Isi kepala tak pernah sama
Mereka saling bicara
Menyuarakan lara dan bahagia
Sayangnya, bibir tak jua terbuka

Tatap mata tak selalu searah
Selatan dan utara
Berkelana hingga barat daya
Nyatanya, ia kembali pada titik semula

Kehidupan hati tak melulu luka duka
Ada harap dan bahagia
Patah dan gelisah
Akhirnya, indah yang hanya klise kan menjadi nyata

Pulanglah
Dadamu perlu degup wajarnya
Ratusan hari kau pergi
Ia tahu jika kakimu melangkah tanpa hati

Akhir pekan hampir tiba
Sudahkah kau berlabuh pada-Nya?

Jumat, 22 September 2017 — Pulanglah, Kau Belum Terlambat