Posted in A-Z

Nuriah

Nitu Delusya tak punya pilihan; selain menghabiskan usia untuk terus berdamai dengan keadaan. Nitu sadar betul, hanya dirinya yang mampu menerima utuh; meski sepanjang jalan harus berkali-kali jatuh.

Usia adalah hal yang ia harap dapat panjang. Namun, di lain sisi, Nitu juga ingin masanya segera usai. Sebab, ia lelah menangis; tetapi lagi-lagi ia sadar, pulang pun belum tentu ke tempat yang tenang.

Ramai. Harinya senantiasa ramai. Namun, jauh di dalam sana, ia terbiasa menikmati sepi; sendiri. Sesekali ricuh mengganggu. Nitu berusaha menjelaskan kepada satu, tetapi ia tak mampu menggambarkannya dengan jelas. Telinga pilihannya pun tak kuasa menangkap paham yang selaras.

Ingar bingar bertahun-tahun merayu. Nitu tetap tak mau. Ia berlari dan mengunci diri. Sejak kecil ia terbiasa menghadapi tuduh, fitnah, dan gibah; sendirian. Sampai akhirnya lelah, mengubah tangisan menjadi senyuman.

Ada tanya yang ia jawab dengan gamblang. Ada kepala yang ia jambak, lantaran menyiapkan hinaan sebagai tujuan. Ada raga yang ia tendang, karena begitu jalang.

Hampir selesai ataupun masih panjang perjalanan, Nitu akan senantiasa berdansa dengan keadaan. Sebab, menyerah, tak ‘kan jadi pilihan. Kelam, tak ‘kan pernah berhasil menang.