Posted in Puisi

Sesak dalam Lega

Aku menangis
Sejadi-jadinya air terjun dari mata
Tak kenal henti
Perih

Detik sebelumnya kunikmati luka mereka
Kubiarkan meresap dalam dada
Sembari memaki segala yang kuanggap salah
Tak apa

Detik berikutnya senyum kembali terbit
Dari dalam hati
Bukan sekadar topeng diri
Tapi benar kendaraan menuju pulih

Entah
Dulu sulit rasanya tuk menangis
Kini berbeda
Justru sangat mudah

Kubiarkan
Bahkan kubantu hingga titik didih tertinggi
Sesak… sesak… sesaaakkk
Begitu teriakan yang telingaku dengar dari batin

Syukurnya ada yang menyaut
Berasal dari kepala
Menguatkan
Meyakinkan

Semua berawal dari percaya
Janji luka tempo hari
Ketika mampu bangkit lagi
Meski sesak masih tersisa, setidaknya lega pun kurasa

Posted in Ketulusan Hati, Tentang Cinta

Detik Terakhir

Detik Terakhir

Rahasia yang tak bisa ditebak; hanya bisa dipersiapkan.

Semoga tak kalah dengan lelah, amarah, dan kerabatnya.

Berharap tak menyandang status durhaka, meski jauh dari sempurna.

Tulisan ini untuk kita yang masih dapat memeluk Ibu Bapak. Mari renungkan bersama.

Sabar

Seberapa baik kita melukiskan diri sebagai sosok yang penuh dengan kesabaran di hadapan banyak orang, bahkan hingga dunia maya?

Namun, se-sabar itu kah kita yang sebenarnya?

Sabar menghadapi orang tua yang kembali seperti anak-anak.

Sabar menghadapi orang tua yang perlu bantuan karena seiring bertambahnya usia, kemampuan mereka menjadi terbatas.

Sabar menemani orang tua yang bicaranya kerap diulang, sebab lupa jika hal itu sudah pernah disampaikan.

Sabar menanggapi orang tua, seperti sedang berhadapan dengan pasangan tercinta.

Tanya pada diri sendiri. Jawab tanpa melibatkan kebohongan pribadi.

Copot topeng ‘sabar’ yang selama ini terpasang di wajah. Sampai kapan berpura-pura?

Sekarang putar ingatan. Se-sabar apa orang tua pada kita di masa lampau?

Saat bibir belum mampu berkata, orang tua berusaha mencerna makna.

Saat tangis masih begitu mudah pecah, orang tua terjaga dari tidurnya, untuk apalagi jika bukan menenangkan kita.

Saat berulang kali menanyakan hal yang sama, tapi tetap mereka jawab dengan tawa.

“Bapak Ibu saya tak se-sabar itu. Dulu, waktu kecil, saya kerap di bla-bla-bla-bla,”

Bahkan kenyataan itu pun tak cukup kuat untuk menjadi alasan kita berhak kurang ajar pada mereka.

Bukan berarti ‘kasar’-nya mereka dulu, menjadi pembenaran untuk kita bersikap serta berkata kasar di masa tuanya.

Bayangkan, jika sikap dan kata kasar serta kekurang-ajaran kita, yang menyakiti hati orang tua, menjadi kenangan pahit selamanya?

Sebab, ternyata, setelah kita memaki, merasa paling benar sendiri, atau bahkan meminta untuk tak diganggu lagi, adalah saat di mana mereka benar-benar pergi ke pangkuan Ilahi.

Sanggup?

Jujur, saya tidak. Kalau itu sampai terjadi, mungkin penyesalan ‘kan menjadi sahabat sejati; sampai mati.

Ikhlas

Seberapa baik kita melukiskan diri sebagai sosok yang dekat dengan keikhlasan di hadapan banyak orang, bahkan hingga dunia maya?

Namun, se-ikhlas itu kah kita yang sebenarnya?

Ikhlas ketika harus menjadi tulang punggung keluarga.

Ikhlas meski tabungan terus bocor terpakai memenuhi kebutuhan orang tua.

Ikhlas kehilangan waktu istirahat karena ada manusia yang perlu dirawat.

Ikhlas mengesampingkan hobi, karena lebih memilih meluangkan waktu untuk berbagi cerita bersama mereka.

Tanya pada diri sendiri. Jawab tanpa melibatkan kebohongan pribadi.

Copot topeng ‘ikhlas’ yang selama ini terpasang di wajah. Sampai kapan berpura-pura?

Sekarang putar ingatan. Se-ikhlas apa orang tua pada kita di masa lampau?

Jerih payah seutuhnya tercurah untuk anak yang bahkan saat itu mereka belum tahu akan tumbuh se-soleh/soleha apa, se-sukses apa, se-baik apa.

Kehilangan waktu dengan pasangan (suami/istri), karena bagi mereka, kita adalah yang utama di atas segala urusan dunia.

Selalu memaafkan, sesering apa pun kita mencetak kesalahan, dan hubungan kembali seperti sedia kala; saat belum ternoda bercak luka.

“Bapak Ibu saya tak seperti itu. Bahkan, dari kecil, saya sudah bla-bla-bla-bla,”

Kenyataan itu, juga tak cukup pantas untuk dijadikan alasan, untuk kita menyepelekan serta menelantarkan mereka.

Sebab, tanpa doa mereka, hidup kita mungkin tak se-berwarna sekarang.

Renungkan.

Semoga cinta kita pada mereka penuh dengan kesabaran serta keikhlasan. Aamiin allahumma aamiin.

Posted in Hati yang Patah

Luka Menggerus Jagat Maya Lewat Kisah Layangan Putus

Sejak beberapa hari lalu, kisah Layangan Putus, terus meramaikan jagat maya. Berawal dari media sosial Facebook, hingga akhirnya merambah ke Twitter. Sederhananya, cerita yang dibagikan oleh Mommi ASF itu, membuat para pembaca turut merasakan luka.

Berbagai asumsi pun lahir. Perbedaan pendapat terus menyeruak. Kelompok A merasa benar dengan pendapatnya, begitupun dengan sekumpulan manusia B.

Kisah ini menyeret tiga nama, si empunya cerita; Mommi ASF, sang mantan suami yang ia sebut ‘Mas Arif’, dan wanita kedua yang dinikahinya tanpa sepengetahuan istri pertama.

Sampai di sini, luka sudah terasa? Tahan dulu. Cerita masih panjang. Telusuri perlahan, jangan undur diri di tengah jalan, agar tak salah paham.

Februari 2018 menjadi bulan penuh tanya bagi Mommi, karena pria yang menikahinya tahun 2011 lalu, menghilang tanpa kabar.

Bukan sehari dua hari, melainkan 12 hari. Beragam pikiran terus memenuhi kepala Mommi. Sebab, baik pesan maupun teleponnya, tak juga mendapat respons.

Hebatnya, tak ada sedikitpun prasangka buruk. Mommi percaya, pria yang juga merupakan ayah dari kelima anaknya itu, adalah sosok yang baik.

Arif, kata Mommi, mengerti benar jika menyentuh lawan jenis adalah haram.

Bahkan, pria yang dicintainya itu tahu benar, jika menundukkan pandangan dari wanita non mahrom adalah kewajiban.

Tetapi Mommi tak bisa sembunyikan resah, ia terus bertanya, ke mana pria yang saat itu masih menjadi suaminya?

Hari berlalu, akhirnya Arif kembali.

Mommi menjemput Arif di bandara. Mereka berada dalam mobil yang sama, hingga akhirnya tiba di rumah.

Keempat anaknya—si bungsu meninggal saat dilahirkan, empat bulan lalu—pun menyambut sang ayah dengan pelukan rindu.

Sayangnya, Mommi belum mendapatkan kejelasan secara utuh, tentang ke mana menghilangnya Arif selama 12 hari?

“Kamu dari mana?” ia mengulangi pertanyaan itu terus-menerus.

Merasa belum damai, Mommi memberanikan diri untuk memeriksa gawai milik Arif. Lantas, apa yang ia temui di sana?

Pematah.

Gawai yang disembunyikan di atas rak buku itu, menyimpan ratusan foto Arif, dengan wanita lain.

Tumpah.

Air mata Mommi tak lagi dapat terbendung.

Kecemasannya selama 12 hari, dibayar dengan kemesraan yang begitu menyakitkan.

Iya, ternyata selama 12 bulan itu, Arif berbulan madu dengan istri kedua yang ia nikahi tanpa sepengetahuan Mommi.

Pedihnya lagi, mereka mendatangi tempat yang selama ini Arif tahu, Mommi ingin sekali datangi.

Tagihan listrik, biaya les, dan lain sebagainya yang sulit untuk dilunasi, hanya sebagian beban.

Sebab ternyata, pria yang selama ini ia berikan rasa percaya, telah meracik luka sedemikian rupa.

“Berbagai kekhawatiran melintas di pikiran. Seperti layangan putus, rasanya badan ini pengin oleng, mengikuti ke mana angin bertiup,” tutur Mommi.

Singkat cerita, meski Mommi tak mengungkap sosok nyata yang ada di balik ceritanya, para pembaca kisah Layangan Putus, menyeret tiga nama.

Tiga nama yang mereka dapatkan, dari hasil penelusuran sendiri.

Si pria adalah pemilik kanal YouTube lumayan terkenal;
Mommi ASF sendiri; serta
Wanita yang hadir di tengah pernikahan mereka.

Benar atau tidaknya, kalian bisa cari tahu sendiri. Kalian bisa menilai sendiri. Berdirilah di atas asumsi masing-masing.

Satu hal yang jelas. Mommi yang memaksa bangun dari lamunannya, tersadar jika ia tak sendiri.

“Astaghfirullah wa atubu ilaih,” ucapnya.

Mommi sadar. Ada sosok yang tak akan pernah meninggalkannya. Tempatnya bersandar, meminta, dan memohon; Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Ada pula empat ‘malaikat’ tak bersayap, yang Allah titipkan padanya. Maka, sesakit apa pun luka, Mommi bangkit.

Kini, meski telah resmi bercerai, serta tak lagi terikat sebagai istri, Mommi masih terus menyelipkan nama Arif dalam doa; untuk kesehatan hingga kelancarannya dalam segala urusan.

“Bukan saatnya memaki. Sampai kapanpun, aku tak boleh bermusuhan. Dia adalah ayah anak-anakku,” tulisnya.

Hidup dan mati, hanya ia pasrahkan pada Allah, pemilik alam semesta.

Apa yang bisa kita petik dari pelajaran berharga milik Mommi?

Bukan untuk takut menikah; sebab tak semua pria pencipta luka.

Bukan untuk menghardik kanal YouTube milik Arif, sebab di sana, banyak pihak yang berdakwah, dan tak terlibat dalam peristiwa.

Bukan untuk menyamaratakan pria lain yang memiliki tampilan serupa dengan Arif, sebab belum tentu mereka sembunyikan hal yang sama.

Semoga cerita yang Mommi bagikan, bisa membuatnya lega, bisa menguatkan pribadinya.

Semoga dukungan yang terlahir untuknya, bisa terus menjadi pelembut hati.

Kita bukan hakim. Belajar dari kisah ini, seharusnya bisa membuat kita berjuang, untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi.

Baik di depan sesama, dan tak berubah saat hanya sedang berdua dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Aamiin allahumma aamiin.

Terakhir, Mommi, terima kasih telah berbagi. Kisahmu berarti. Ikhlas hari ini, insya Allah, bahagia ‘kan Allah kirim untuk mengganti perih.