Posted in #PenariJemari

Adhirajasa

“Aku ngerasa payah banget deh, Zu,” ujar Nitu, malam itu.

Wajahnya pucat. Tubuhnya lemas. Bahkan suaranya samar. Jika bukan Zura, mungkin tak dapat utuh mendengar.

“Sesuatu yang berat baru melintas, ya?” tanya Zura.

“Kok kamu tau?”

“Hahaha… pertanyaan sama muka kamu sama lucunya, Nit.”

“Apa yang berat? Jangan nikmatin sendirian, bagi-bagi sama aku,” sambung Zura.

Nitu, bersandar di sandaran paling nyaman. Tak sadar, tiga jam sudah ia bercerita, tanpa jeda.

“Nit, masih ingat gak, waktu kamu masih berjuang di jalanan, ngendarain motor sendirian, ngelewatin jarak yang lumayan, kebanyakan orang udah nyenyak sama bantalnya. Masih ingat?”

“Kamu juga masih ingat ‘kan, gimana setengah matinya kamu usaha, bangkit dari jalur penuh duri?”

“Aku ingat banget, Nit, kamu berkali-kali jatuh, gak jarang kamu bilang pengin nyerah, tapi akhirnya? Kamu bangkit lagi. Malah kamu yang ngajarin aku buat gak pernah lupa bersyukur.”

“Aku gak minta kamu untuk terus kuat, aku juga gak larang kamu buat ngeluh. Kalau sakit dan lemah, ya gapapa. Kalau sedih, ngerasa luka, kamu berhak nangis.”

“Tapi kamu perlu tau, Nit, buat aku, kamu wanita paling tangguh. Dari sekian banyak contoh, cukup satu yang akan terus aku ingetin ke kamu.”

“Waktu itu, kamu lagi hancur-hancurnya. Tapi pas teman kamu datang, ngadu kalau dia lagi butuh pendengar, air muka kamu seketika berubah. Kamu jadi orang paling kuat sedunia. Bikin dia yang hampir nyerah, bisa pulang ke rumah dengan perasaan lega,” tutur Zura, bangga.

Lagi-lagi, Nitu, ‘selamat’ dalam pelukan Zura. Pria kiriman Tuhan, yang tak pernah sedikit pun ia ragukan.

Posted in #PenariJemari

Nirmala

Ma, kata mereka, Mama masih terlalu muda untuk ada di posisi sekarang. Aku? Hanya tertawa mendengarnya.

Meski jujur, aku pun rindu, Mama. Sosok teman, sahabat, yang senantiasa ikhlas mendengar keluh kesah.

Tak apa, Ma, aku baik-baik saja. Masih ada Tuhan, yang tak pernah lelah mendengar segala aduanku.

Satu hal yang paling kita syukuri dari keadaan Mama; saat ini, adalah karena wanita hebat kecintaan kita, bersih, suci, tak ternoda.

Di saat wanita seusia Mama, sibuk haha hihi dari pagi sampai malam, sebagian besar waktu Mama, justru habis untuk menikmati kebersamaan di rumah.

Ketika ibu rumah tangga lain asyik membicarakan kesehatan Mama, kita? Bersyukur. Siapa tahu itu jadi jalan penghapus dosa-dosa sebelumnya.

Dari dulu, sejak masih memakai seragam putih abu, aku selalu marah, jika ada yang ‘menyenggol’ Mama.

Tapi tenang, selama mereka tak melukai secara nyata, semua ‘kan baik saja, Ma.

Sebisa mungkin, tukar saja ‘kenakalan’ mereka dengan doa–meski tak jarang memaki dulu baru istighfar. Semoga segera sadar.

Kita percaya, upaya mereka sia-sia. Sebab, Mama adalah cahaya yang tak akan pernah bisa disembunyikan; segelap apa pun cercaan.

Posted in #PenariJemari

Nayanika

“Ma, sini sarapan,” panggil Papa, dari ruang televisi.

Kurang lebih empat tahun lalu, manusia-manusia terdekat Mama, baru sadar jika wanita tercintanya, Demensia.

Sebelumnya, yang terasa hanya kapal menuju pecah. Amarah tanpa sudah, sampai enggan pulang ke rumah.

Syukurnya, Tuhan beri terang. Gelap menghilang. Undur diri dari ketidakpekaan.

Menyesal? Buat apa buang waktu. Lebih baik berjuang. Masih ada ‘sisa’ kepercayaan.

“Sini duduk. Sarapan dulu,” kata Papa, sembari menuntun istrinya baca doa.

“Sini sayang, duduk, aku suapin, yaa. Bweeekkk,” gurau si bungsu.

Papa Mama tertawa. Meski bukan keluarga cemara, sekalipun punya banyak luka, syukurnya kami ‘lihai’ mencipta bahagia; atas restu Tuhan, pastinya.

Selang-seling. Mengaku, sebelum muncul pertanyaan, “Bukannya suka ribut?”

Tenang. Kami tak suka pura-pura. Sesuatu yang melelahkan–tak menghasilkan–untuk apa dikerjakan?

Sepiring berdua. Habis sudah. Mama kembali ke tempat di mana ia biasa duduk berdua dengan putra sulungnya.

Sementara Papa, masih dari bangku yang sama–seperti saat menyuapi istrinya. Ia menatap dalam diam.

Salah satu syukur kami. Meski Papa, bukan pria sempurna, kami yakin, ia manusia yang paling tulus mencintai Mama.

Posted in #PenariJemari

Candramawa

Senin, 15 Februari 2016. Hari masih dini. Candramawa titipan Tuhan, melahirkan. Satu betina, dua jantan.

Pertama kalinya merasa punya ‘cucu’, meski tetap enggan mengganti ‘Mammo’, jadi Omma, Nenek, atau apa pun.

Sebenarnya paham, jika jumlah yang semakin banyak, tak akan mendapat dukungan pihak luar.

Namun, sepasang manusia kecintaan, tak sekalipun menyarankan untuk membuang mereka.

Kita siap menghadapi lembar berikutnya sama-sama. Meringankan segala berat, meredakan tiap sesak.

“Kamu gak sayang orang tua.”

Tudingan luar biasa. Entah berapa kali sudah. Tak apa. Terpenting, Mama Papa, percaya jika bungsunya cinta mereka.

Candramawa titipan Tuhan, yang pertama sudah ‘pulang’. Namun, jantan sulungnya, Alhamdulillah, sampai hari ini tidak sendirian.

Punya teman, pasangan, adik, anak, hingga kerabat yang ‘menyebalkan’, tapi kerap ia sundul sayang.

Rumah jadi warna-warni; meski tanpa merah, hijau, biru, nila, ungu. Sebab, masih ada si abu, putih, oranye, dan hitam.

Iya. Ini sedang membicarakan hewan berkaki empat yang ada saja pembencinya.

Mengusir mereka dengan suara, air, bahkan lemparan batu; tanpa babibu.

Luar biasa manusia. Tak heran jika bicara dengan ‘anak-anak’, sering kali jauh lebih menyenangkan.

Seketika enggan meneruskan; lebih nyaman menyimpan.

Posted in #PenariJemari

Dersik

Larut malam. Listrik masih padam, meski hujan hampir selesai. Sesuatu yang awalnya mengagetkan, berubah menjadi ‘kebiasaan’.

“Kamu dengar?” tanya Nitu ke Zura.

“Dengar apa? Aku cuma dengar suara hatiku yang gak pernah berhenti bilang ‘Sayang kamu’,” jawabnya.

“Zu, aku gak bercanda, lho.”

“Sejak kapan aku bercanda, Nit? Kenyataannya ‘kan memang aku sayang kamu.”

“Tapi tadi maksud kamu dengar apa? Aku jadi penasaran,” tanya Zura.

“Makanya jangan nge-distract dooong,” kata Nitu.

“Iya, maaf… maaf. Dengar apa?”

“Aku dengar (lagi), pesan Mama pertama kali.”

“Maksudnya? Aku gak ngerti.”

“Dulu, waktu pertama kali Mama, pesan tentang kamu ke aku, bunyi angin persis kayak malam ini.”

“Nit, sebenarnya yang lebih jago bikin orang bersyukur karena merasa dicintai itu siapa sih? Kamu selalu nyalip aku ke posisi juara,” tutur Zura.

“Kita gak lagi lomba, Zu, tapi kerja sama, tujuannya ‘kan satu,” jawab Nitu, menutup percakapan; sebelum akhirnya mereka terlelap.

Posted in #PenariJemari

Senandika

Kepada wanita yang kutemui di cermin. Apa kabar? Sehatkah hati dan jiwamu? Sudah lama kita tak bicara jujur tentang banyak hal.

Tak jarang pula ku sadar, kau sembunyikan air mata saat sedang berbagi tawa di tengah mereka.

Aku khawatir tumpukan lukamu pecah. Berantakan. Tak termaafkan.

Mau sampai kapan?

Namun, aku juga paham, menanyakan ini padamu tak akan membuahkan jawaban.

Sebab, kau pun tak mengerti, apa yang sebenarnya terjadi.

Tak apa. Jangan dipaksa. Aku tak ingin kau mengada-ngada.

Meski tak mungkin, kuharap kau kuat ‘menikmati’ masa-masa ini.

Andai kubisa pindah ke sampingmu, pasti sudah kulakukan.

Sayangnya, aku hanya bisa memandangmu dari dalam sini. Kamu pun hanya bisa melihatku dari luar sana.

Jika kamu lupa, izinkan aku untuk mengingatkan. Lebih dari 27 tahun sudah, kamu mampu bertahan.

‘Sutradara’ hidupmu akan jauh lebih bangga, melihatmu mampu melewati hari ini dengan keyakinan.

Jika kau berhasil melalui lebih dari 9.000 hari, mengapa kali ini harus meragu?

Usap air matamu. Tersenyumlah bersamaku, karena segalamu benar-benar bahagia; bukan sekadar pura-pura.

Seperti apa yang selama ini kau sampaikan pada mereka yang sedang goyah…

“Tak apa lelah, asal jangan menyerah.”

Syukuri hidupmu… jalanmu… napasmu.