Posted in A-Z

Kasatmata

Sayangnya tidak…

Ia memang tak berdarah, tetapi lukanya luar biasa.

Hanya kepala-kepala berhati yang menyadari. Sisanya menganggap baik-baik saja.

Bayangkan, ia menemui banyak gambaran, dan hampir semuanya rusak.

Penyebabnya memang berbeda. Namun, akibatnya senada.

Sadar batas makin dekat, ia yang tak ingin jalan di tempat pun mulai belajar meramu.

Tiap kali air mata ingin berkuasa, ia bergegas menjadikan tawa sebagai selimut luka.

Berhasil. Sekitarnya mengira ia benar-benar bahagia; saat kenyataannya, ia bersahabat baik dengan duka.

Posted in A-Z

Jenjam

Bagaimana kita bisa selamanya bersama, jika jelas-jelas dunia hanya sementara?

Aku cuma mau jujur.

Meski perpisahan itu pasti, tetapi tetap tak mudah tuk dihadapi.

Kapan? Siapa yang ‘kan meninggalkan, dan siapa saja yang ‘kan ditinggalkan?

Hanya waktu yang mampu menjawab berbagai tanya itu.

Sampai masanya tiba, tangis berhasil menyesakkan dada; linglung ‘ku dibuatnya.

Di hadapan mata, raga manusia tercinta tak lagi bernyawa; sementara di kepala? Memori justru asyik berdansa.

Namun, bagaimanapun… aku dan semua tak punya kuasa tuk menahanmu.

Maka pulanglah.

Harapku, semoga doa yang mengudara dari berbagai arah, bisa menjadi pengantar untukmu sampai ke tempat terbaik.

Dunia cuma perlu tahu. Jika kini tiap-tiap kebaikanmu adalah penenang bagiku; anakmu yang masih harus melanjutkan hidup.

Posted in A-Z

Ihsanat

“Ini bukan hal yang mudah buat kamu. Aku tahu, Nit. Itu yang bikin aku makin kagum sama kamu. Berat, sulit, perih, luka, duka, mereka nyerang kamu bareng-bareng, tapi kamu berhasil bertahan dan menang.”

“Hampir kalah, Zu. Kamu ‘kan tahu, aku hampir nyerah. Semenjak aku enggak bisa cerita sama ibu, kamu jadi orang pertama yang bikin aku bangkit dan berjuang lagi. Menangnya aku hari ini, enggak lepas dari dukungan kamu.”

Saling untuk satu sama lain. Zura satu-satunya pria yang membuat Nitu, merasa tak perlu menutupi wajah saat tengah menangis sejadi-jadinya; sekaligus mampu mengembalikan senyumnya, tanpa butuh waktu lama.

Ada sakit yang begitu besar, berkali-kali berupaya menghabisi Nitu. Syukurnya, Zura, peka.

“Nit, beberapa tahun lalu, aku hampir habis. Tiba-tiba Tuhan kirim kamu ke hidup aku, padahal waktu itu hidup kamu juga penuh liku, tapi kamu berhasil bikin aku kuat lagi.”

“Aku enggak akan maksa kamu buat langsung bangun, Nit. Waktu aku jatuh, aku juga perlu waktu untuk duduk, sebelum akhirnya bisa berdiri dan jalan lagi. Jadi, yang perlu kamu simpan baik-baik dalam ingatan adalah aku, akan selalu di sini, di samping kamu.”

Tangis dan tawa bergantian, tetapi mereka tak saling meninggalkan; bukan lantaran ketelanjuran, Nitu dan Zura tumbuh bersama rasa yang nyata adanya.

Posted in A-Z

Hastawara

Kepala dua menepati janji. Angkutan umum dan kereta api. “Sebentar lagi”, hingga akhirnya benar-benar menemui.

Meski untuk sempurna masih kurang enam hari, tetapi dua tertanam baik di hati; bahkan terawat sampai detik ini.

Bola menuju bola. Dengan sadar dua mata utara menatap dua mata selatan. Jatuh dan terus berpandangan.

Waktu yang sebelumnya berjalan lambat, tiba-tiba berputar cepat. Rasanya baru tiba. Nyatanya harus segera pisah.

Kembali menyusun rencana, padahal dua dan tiga masih duduk berdampingan.

Syukur pun berbuah. Episode berikutnya, sempurna ditambah enam; setelah dikali tiga. Bunga tumbuh sehat ke akar-akarnya.

Tahun yang berganti, menjadi saksi kelabu merebut kursi. Merah muda kering dan hampir mati.

Kembali sehat, kembali kuat; kemudian sakit lagi. Jika sebelumnya kanan mengiris kiri, kali itu giliran kiri yang mematahkan kanan.

Susah payah tiga berupaya ikhlas, lima malah kembali; menawarkan tawa, lengkap dengan jaminan penyembuh luka.

Tiga percaya lima, karena itulah, kini ia kembali berkawan dengan duka.

Posted in #PenariJemari, A-Z

Gegap Gempita

Dunianya kamu, duniamu dia
Utaranya kamu, utaramu dia
Analisis sebelum kalian patah

Piawai gempita meramu bahagia
Upaya gegap pun sama adanya
Lelah bahkan seolah tiada di antara
Ulas mengulas kurangnya apa
Hati satu dan dua saling bicara

Damai seketika berubah mencekam
Elang mengincar kelinci, kemudian menikam
Luap meluap amarah beruang
Ada yang kalah, ada yang menang
Pindah seketika pisah berpisah
Air mata gegap belum juga reda
Namun, tidak demikian dengan gempita

Posted in A-Z

Feuilleton

“Ini yang terakhir,” teriak Vera, dalam hati.

Masih sama, entah bagaimana dan dari mana, telinga Riza, berhasil mendengar.

“Kamu yakin?”

“Yakin apanya, Za?”

“Kamu bilang, ini yang terakhir?”

“Za… kamu dengar lagi?”

“Cukup jawab tanyaku, Ra.”

“Harapku, Za… tapi enggak tahu, kali ini berhasil atau gagal lagi.”

“Gimana mau berhasil kalau kamu masih di situ?”

“Kalau aku bisa pergi, aku enggak bakal masih di sini, Za.”

“Kalau kamu mau pergi, kamu enggak bakal masih di situ, Ra.”

“Za…”

“Kita enggak perlu debat, kok. Aku tahu, segalanya masih terawat.”

“Za…”

“Merawat yang sudah pindah, sampai lupa mengurus yang utama.”

“Za…”

“Ra, kali ini aku serius. Kamu ikut aku pergi, atau di sini sendiri?”

Vera memilih yang kedua. Semua berjalan biasa, sampai suatu malam, ia sadar pilihannya salah.

“Kamu yang pertama dan terakhir buat Riza, Ra… dan dia titip ini buat kamu.”

Dua tahun Riza, menyusun 235 halaman, hingga menjadi buku berjudul ‘Cita’.

Vera menyelaminya semalaman, dan berhasil menemukan pesan tersimpan.

“Ra, waktu kecil, aku punya dua cita, antara jadi psikolog, atau dokter hewan… tapi setelah aku kenal kamu? Citaku berubah seketika. Aku cuma mau kamu sembuh. Semoga ‘Cita’, bisa menemani. Meski aku tak lagi di sisi. Jangan pernah lupa, ya, Ra… aku sayang banget sama kamu.”

Posted in A-Z

Enggan

Jangan tanya kenapa saya enggan berjalan ke sana.

Kau tahu, saya menemukan begitu banyak sakit di sini.

Pelakunya adalah mereka yang akan saya temui di sana.

Cukup gila sudah, saya hampir tewas di sini.

Jangan bilang akan ada satu dua yang berbeda di sana.

Saya tidak akan lagi bisa percaya, segala sesak cukup di sini.

Kalaupun lanjut jalan, saya tetap enggan mengarah ke sana.

Posted in A-Z

Dikara

Urutannya memang begitu, empat yang ada di sisi tiga. Namun, cerita melompat ke sembilan belas, dan selama menetap selalu berbalas.

Beberapa kali tiga menekankan, “Sebahagia apa pun kita sekarang, akhirnya akan tetap sama.”

Penekanan berulang yang meruntuhkan rencana. Sembilan belas tampak tertawa, padahal patahnya seketika menghancurkan menara.

“Hanya doa.”

“Apa isinya?”

“Biar jadi rahasia.”

Satu-satunya yang bisa membuat sembilan belas merasa tuntas hanya jika Dikara, menemani empat dan tiga; selamanya.

Posted in A-Z

Cerita

Milik huruf ketiga.

Sembilan tahun, hampir. Bulan kedua sampai di pekan ketiga. Belum pukul delapan malam, jreng mengakhiri dua petikan. Tepuk nyamuk; ia bertahan.

Delapan tahun, hampir. Lewat dua hari setelah pekan ketiga di bulan pertama. Awalnya berdampingan, kemudian berpisah; kiri di sini, kanan di sana.

Dua puluh dua hari sebelumnya, ada selamanya. Kata yang punya makna, tetapi gagal juara.

Bulan lima yang penuh warna, mati di tangan bulan sembilan; si pencipta luka.

Sembilan belas baik-baik saja; turut bahagia, usai tiga tertawa.

Posted in A-Z

Biadab

Pernah menjadi korban
kemudian saksi
bahkan tumpu

Lewatkan saja bagian pertama
beralih ke yang kedua
saat menyaksikan tubuh tak bersalah
mati dianiaya

Lalu yang ketiga
adalah ketika mendengar kesah

Syukurnya senyum itu masih ada
pencerita berhasil sembuh
meski lajurnya terjal
sungguh

Para pelaku memang biadab

Menjadi yang pertama
kedua pun ketiga, sama
sama-sama perih
mendidih

Berapa lama pun waktu
tak akan cukup
luka duka itu ikut tumbuh
menyelip lembar pilu

Teranyar tentang remaja
dilecehkan dan disiksa

Mendadak kembali ke titik puncak
amarah menyala
tak bisa berkata-kata

Satu-satunya penenang adalah yakin
Allah Maha Adil

Sekuat apa pun melanjutkan
seluas apa pun kuasa kehidupan
garis akhir punya kepastian
setelah kematian
segala kebiadaban ‘kan dapat balasan