Posted in #SatuHariSatuTarian

Tak Lagi Sama

Ketika mawar yang kutanam tak lagi kuncup, aku bahagia, karena ia telah tumbuh dengan mekarnya yang indah. Merekah ke segala arah. Hembus angin mengecupnya perlahan, aroma mawar menyebar pada tiap bagian taman, yang tak lain adalah aku.

Duri-duri itu menjaganya dari tiap-tiap tangan usil yang ingin sekadar memetik kemudian mengecup dan membuang ketika layu datang melengkapi tamatnya usia indah mawar, namun sekarang mawar sendirian, ia masih sanggup mekar dan bersemi, meski tak ada lagi duri yang turut serta menjaga hari. Mawar terkulai pasrah, di tangan siapa ia akan menghabisi masanya. Sebab, segala tak lagi sama, sejak duri pamit dari diri mawar. Atau, pantaskah aku menyebut duri berpamitan? Saat ia tak lagi ada tanpa meninggalkan sedikit pun pesan.

Mereka adalah air mata bahagia yang pernah membasahi pipiku. Masih bisa kurasakan bagaimana harunya kebahagiaan yang lengkap dengan basah itu. Hingga kini pipiku kerap sembab, karena pedih pun bahagia. Namun, bukan lagi mereka yang berperan sebagai air mata. Aku tak memaksa, untuk mereka menetap selamanya, menemaniku berbahagia. Aku tak sedikit pun bertanya, ke mana mereka pergi setelah tak lagi singgah di pipiku, meski dengan penuh kejujuran aku kehilangan, sangat merasa kehilangan. Kini basahku tak lagi sama, lambat laun ikhlas telah kupeluk untuk sebuah kepergian, tanpa sebelumnya kalian buat lambaian perpisahan.

Langkah melangkah, jalan menjauh, tinggalkan aku yang yakin dengan pijakan ini. Bak lidah-lidah kucing yang penuh perhatian, membersihkan tiap jengkal tubuh saudara yang meski tak sedarah, aku bisa saja berhenti menjilat, saat kutahu kebaikan sudah tak lagi dipeluk dengan benar. Aku berhenti, menghentikan perjalanan, memutar pandangan, dan juga mengganti arah mata angin. Kembali kupijak, langkah melangkah, jalan menjauh, meninggalkan kalian yang yakin dengan pijakan itu.

Putus dan terpisah, pisah dan terlepas, lepas dan terhempas. Jauh dan semakin jauh. Namun kita sama-sama dekat, dengan Tuhan, meski cara kita berbeda. Kau dengan segala yang kau anggap indah, aku dengan segala yang kuanggap benar. Indah dan benar sudah berbeda. Indah belum tentu benar. Tapi, sekali pun benar tak melulu indah, pada akhirnya kebenaran adalah manis adanya.

Kata mereka diam itu emas. Sayangnya aku tak suka dengan emas, maka aku memilih bicara, dengan berbagai pilihan bahasa; tubuh pun segala yang nyaman untuk tersampaikan. Kata mereka berjalan tanpa pamit adalah biasa. Sayangnya aku selalu berpamitan sedekat apa pun aku akan pindah, sebab datang dengan ketukan akan kuakhiri pergi dengan berpamitan.

Kalian yang tak lagi denganku dan merasa bahwa aku belum sempat pamit, adalah kalian yang meninggalkan aku tanpa lambaian perpisahan. Aku ingin sekali pamit untuk terakhir kalinya, dan benar-benar berpisah, tapi pintu itu telah tertutup. Berkali-kali coba kuketuk, namun tak ada jawaban berupa apa pun. Maka aku memutuskan pergi seutuhnya, untuk lanjut menikmati cerahnya langit Tuhan dibagian lain.

Selamat berpisah, Tuhan bilang kita akan jauh lebih baik jika tak lagi bersama, seperti dulu, saat kalian dan aku masih kerap berdosa.

Semua yang tak lagi sama, bukan berarti kelam. Aku bisa buktikan jika perpisahan pun awal dari akhir yang kelak kan membahagiakan.

#SatuHariSatuTarian
#PenariJemari
#TakLagiSama

Author:

Wanita pemilik mata, hati, dan jemari yang saling mengisi. #PenariJemari #Samarasa

One thought on “Tak Lagi Sama

Leave a comment